Teori Model Humanistik: Gagasan dan Kritik Terhadap Maslow dan Rogers dan Aplikasinya di Bidang Pendidikan

  • Whatsapp
banner 468x60

Drs. Fransiskus Sili, SMK Negeri 5 Manado.

Psikologi Humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis. Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik  keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistic. Aliran humanistik muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Aliran ini sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia.  Dua tokoh penting dalam aliran humanistik, Maslow dan Rogers dan teori mereka yang relevan dengan Psikologi Belajar. di samping beberapa catatan kritis atasnya,  dan diakhiri dengan implikasi dan aplikasi psikologi humanistik dalam dunia pendidikan.

 

Pendahuluan

Psikologi Humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis.

Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik  keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistic.

Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.

Aliran humanistik muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam  psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif yang terkandung dalam diri manusia.  Apa saja dampaknya di bidang pendidikan?

Hal inilah yang mendorong saya memilih pokok untuk didalami. Dalam kertas karya ini akan dijelaskan mulai dari dua tokoh penting dalam aliran humanistik dan teorinya yang relevan dengan Psikologi Belajar. Terhadap dua tokoh ini, Maslow dan Rogers, saya coba mengangkat gagasan teori mereka, di samping beberapa catatan kritis atasnya, dan diakhiri dengan implikasi dan aplikasi psikologi humanistik dalam dunia pendidikan.

 

I. Psikologi Humanistik

Fokus perhatian utama dari Tradisi Humanistik, sebagaimana yang mulai terungkap di atas, terletak pada perkembangan potensi dan kreativitas individu. Perhatiannya tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Teori-teori tersebut biasanya bercorak holistic, disposisional, fenomena logis, eksistensial dan optimistik. Para psikolog yang menganut model ini mengklaim bahwa kepribadian seseorang hanya bisa dimengerti kalau orang masuk ke dalam “dunia pribadi” dan “gambaran diri” yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan: entah orang merasa diri terutama sebagai “obyek” atau sebagai “subyek” yang berperan sebagai “actor”. Tujuan utama para pendidik adalah membantu  peserta didik untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada meraka(Wasty, 1998:136). Berikut ini akan tampilkan beberapa contoh teori dalam tradisi humanistic. Saya membatasi diri untuk hanya menyebut beberapa nama dari kelompok teori model Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Self-Theory, dan evaluasi kritis atasnya.

Awal Timbulnya Psikologi Humanistik

Pada akhir tahun 1940-an, muncullah suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konselor, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang, dan kemudian dikenal sebagai psikologi humanistik, eksestransial, perseptual atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari sudut si pelaku (behaver), dan bukan dari pengamat atau observer (Wasty, 136).

Psikologi Humanistik saat ini menjadi satu-satunya penjelasan bagi tradisi intelektual kuno, sebuah tradisi yang berakar dalam Filsafat kuno di seluruh dunia. Psikologi ini muncul ketika masyarakat merasakan beberapa sistem otoritas-politis,moral dan intelektual, telah merusak martabat kemanusiaan atau kesatuan umat manusia (Crain, 2007:547).

Kebanyak tulisan Humanistik awal diarahkan untuk melawan dogma agama, seperti Desiderius Erasmus dan Sir Thomas More memprotes Gereja yang sering menyuruh orang taat buta pada doktrin agama, merusak martabat kemanusiaan dengan merampas kebebasan berpikir untuk diri sendiri. Filsafat Humanistik berkembang paling luas selama masa Pencerahan abad delapan belas, ketika tulisan Locke menggemakan pertanggungjawaban semacam itu di abad tersebut. Sebelum Locke, otoritas politik dan agama sering menganggap masyarakat sudah jahat secara bawaan sejak lahir, karena itu perlu direspresi. Namun jika Locke benar, yaitu apabila masyarakat semata-mata adalah produk lingkungan,  maka satu-satunya kesempatan memang mengubah lingkungan untuk menyempurnakan masyarakat sehingga membuat represi tidak lagi dibutuhkan (Crain: 550). Semangat pencerahan, dengan demikian bernada cukup optimis, sehingga kemajuan manusia yang tak terbatas menjadi satu hal yang mustahil untuk dicapai.

Dalam menyoroti masalah perilaku, ahli psikologi behavioral dan humanistik memiliki pandangan yang berbeda, perbedaan mana sering disebut freedom determination issue. Para behavioristik memandang manusia sebagai makluk reaktif yang siap memberikan respons terhadap lingkungan. Sebaliknya para humanistik berpendapat bahwa setiap orang menentukan perilaku mereka sendiri, karena mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka sendiri, tanpa selalu terikat oleh lingkungannya.

Banyak behavioris mengganggap diri mereka meneruskan tradisi humanistik. Mereka telah mengembangkan teknik ilmiah yang dapat membuat kita memahami jati diri manusia dengan lebih baik. Namun begitu kemudian beberapa psikolog mulai gerah dengan cabang keilmuan behavioristik ini. Selama paruh pertama abad kedua puluh, para teorisi humanis seperti Gordon Alloport, Carl Rogers, Abraham Maslow berpendapat bahwa behaviorisme, apa pun jasanya, hanya menghasilkan gambaran tentang hakekat manusia yang bersifat satu dimensi. Manusia, kata mereka, tidak saja terdiri dari respons-respons luar yang tampak, atau dikontrol sepenuhnya oleh lingkungan  eksternal. Manusia juga bertumbuh, berpikir, merasa, bermimpi, mencipta dan melakukan aktivitas lain yang dapat menambah pengalaman kemanusiaan. Para psikolog humanis berpendapat bahwa psikologi mesetinya mengarahkan diri pada pengalaman kemanusiaan seutuhnya, bukan hanya meneliti aspek-aspek yang dapat diukur di bawah lingkungan yang terkontrol. Dengan demikian para psikolog humanis ini menarik perhatian dunia pada pengalaman batin manusia (Crain: 552), bergandengan bersama gerakan eksistensial dan fenomenologis dalam filsafat yang tengah berkembang juga waktu itu. Dari kaum eksistensial para psikolog humanis belajar bahwa setiap pribadi mestinya memprioritaskan eksistensinya terlebih dahulu, di atas sistem abstrak dan ilmiah apa pun. Dan dari kaum fenomenologis, para psikolog humanis belajar untuk menunda kebiasaan umum mengklasifikasikan dari luar, agar kita bisa masuk ke dalam diri mereka dan memahami bagaimana dunia dirasakan dari dalam.

Abraham Harold Maslow lahir pada tanggal 1 April  1908 di Brooklyn, New York, sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara. Orangtuanya adalah penganut Yahudi. Karena berharap agar anak-anaknya dapat berhasil di dunia baru, orangtuanya memaksa Maslow dan saudara-saudaranya belajar keras agar meraih keberhasilan di bidang akademik. Sejak masa kecil dan remaja, Maslow menjadi anak penyendiri dan menghabiskan hari-harinya dengan membaca buku.

Demi memenuhi keinginan orangtuanya, Maslow mulai belajar hukum di City College di New York, sesudah tiga semester pindah dari sana dan akhirnya kembali ke City College. Dia menikahi sepupunya sendiri, Bertha Goodman, meski ditentang orang tuanya. Dari pernihakan dengan Bertha ini Maslow dikaruniai dua putri. Dia dan Bertha kemudian pindah ke Wisconsin agar bisa masuk ke University of Wisconsin. Dia mulai tertarik pada bidang Psikologi, sehingga perjalanan akademisnya berubah dramatis. Setahun sesudah lulus dia kembali ke NewYork untuk bekerja dengan Thorndike, dimana dia mulai melakukan penelitian tentang seksualitas manusia.

Dia mulai mengajar full time di Brooklyn College. Dalam periode inilah dia bergaul dengan sejumlah pemikir Eropa, seperti Adler, Fromm, Horney dan Psikolog Gstalt dan Freudian. Tahun 1951, Maslow menjadi ketua departemen Psikologi di Brandles selama 10 tahun. Di sinilah dia bertemu dengan Goldstein dan mulai menulis karya-karya teorinya sendiri. Dan di sinilah dia mengembangkan konsep Psikologi Humanistik.

Satu hal yang paling menarik perhatian Maslow ketika meneliti monyet di awal kariernya adalah  adanya kebutuhan tertentu yang harus lebih didahulukan dari pada kebutuhan lainnya, dan yang kemudian mendorongnya merumuskan teori baru tentang motivasi (1943). Dan menurut teori ini, manusia memiliki sejumlah kebutuhan. Maslow dalam teorinya bicara tentang “kebutuhan bertingkat”. Manusia dimotivir oleh sejumlah kebutuhan yang tersusun secara hirarkis, sehingga pemenuhan kebutuhan yang lebih rendah akan mendorong organisme naik ke tingkat pemenuhan kebutuhan lebih tinggi, dan seperti akan tampak bahwa kebutuhan yang paling tinggi adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Teori “kebutuhan bertingkat” itu memiliki urutan berikut:

• Pertama, kebutuhan biologis, yang mencakup makan, minum, udara, istirahat, seks dan seterusnya;

• Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang meliputi perlindungan, keteraturan, bebas dari rasa takut;

• Ketiga, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki yang mencakup kebutuhan akan kasih sayang, afeksi, menjadi milik suatu keluarga, kelompok dan/atau paguyuban tertentu;

• Keempat, kebutuhan akan harga diri yang meliputi penghargaan terhadap diri sendiri, penghargaan terhadap orang lain, perasaan bahwa dirinya berguna, pengakuan akan martabat, rasa percaya diri, dan memiliki gambaran diri yang positif;

• Dan yang kelima adalah kebutuhan akan aktualisasi diri: penguasaan diri, pengorbanan diri, dan memiliki “sense of value” dalam hidupnya.

Menurut Maslow pemenuhan kebutuhan itu terjadi tidak secara serampangan melainkan terjadi dalam urutan menurut tingkatannya. Misalnya kalau kebutuhan biologis sudah terpenuhi, maka individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman. Dan apabila kebutuhan akan rasa aman sudah terpenuhi, maka individu akan terdorong pula untuk memenuhi kebutuhan akan cinta. Bila kebutuhan akan cinta sudah terpenuhi, maka manusia didorong lagi untuk memenuhi kebutuhan akan rasa harga diri. Apabila seluruh kebutuhan tersebut telah terpenuhi, maka individu akan terdorong pula untuk merealisir kebutuhan yang paling tinggi dan ultim, yaitu kebutuhan akan realisasi diri (self-aktualization): yaitu, suatu proses realisasi potensi untuk menjadi diri sendiri. Apa yang manusia dapat menjadi ia harus menjadi seperti itu. Inilah yang kita kenal dengan aktualisasi diri. Pertanyaannya, apa yang dimaksud Maslow dengan aktualisasi diri. Untuk menjawab pertanyaan ini, Maslow menggunakan metode kualitatif, yang disebut analisis biografis (Renwarin, 1992:17, Boeree: 257).

Berbeda dengan psikolog lainnya, Maslow mengembangkan idenya dari studi dan penelitiannya tentang orang sehat, kreatif, dan potensial dan bukan dari kasus-kasus klinis. Dekripsi Maslow tentang “aktualisasi diri”, misalnya, didasarkan pada suatu studi intensif tentang tokoh-tokoh historis dan terkenal seperti Abraham Lincoln, Thomas Jefferson, Albert Einstein, Eleanor Roosevelt, William James, Benedict Spinoza. Tokoh-tokoh berkaliber-dunia ini menurut Maslow menampilkan karakteristik yang sama: kesadaran diri yang tinggi, penerimaan diri, terbuka dan spontan, memberi cinta dan perhatian, dan tidak menjadi lumpuh karena kritik orang lain. Kesadaran akan siapa dirinya membuat orang-orang tersebut bersikap “problem oriented” daripada “self-oriented” (self-centered). Seluruh energi diarahkan pada realisasi “misi” kehidupan mereka. Banyak pula di antara mereka mengalami apa yang disebut oleh Maslow sebagai “pengalaman puncak” (peak-experience) yang sifatnya mistik dan religious. Selanjutnya, ciri dan corak di atas hanya ditemukan di dalam diri orang yang dewasa. Tidak seperti yang lazim ditemukan dalam diri orang muda yang masih harus banyak belajar tentang kehidupan dan oleh karena itu belum memperlihatkan tanda-tanda “aktualisasi diri” (Mardy Prasetya, 1992:40).

Ada dua hal yang ingin dikemukakan Maslow mengenai orang-orang yang mampu mengaktualisasikan dirinya ini; pertama, nilai lebih yang mereka miliki bersifat alamiah dan muncul dari kepribadian mereka tanpa diusahakan. Kedua, mereka lebih cenderung berusaha mengatasi dikotomi yang ada daripada menerimanya sebagai sesuatu yang tak terelakkan.

 

III. Carl Rogers: “Person-centered”

Carl Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illions, sebuah desa di pinggiran Chicago, sebagai anak keempat dari 6 bersaudara. Ayahnya seorang Insinyur teknik sipil yang sukses dan ibunya seorang ibu rumah tangga, pemeluk Kristen yang taat. Karena kemampuan baca-tulisnya, Rogers langsung masuk SD tanpa melewati TK.

Saat Rogers berumur 12 tahun, keluarganya pindah ke sebuah daerah pertanian 30 mil sebelah timur Chicago, dan di sinilah dia menghabiskan masa remajanya. Dengan pendidikan yang keras dan kegiatan yang padat, ia berkembang menjadi pribadi yang terisolasi, independen dan sangat disiplin.

Dia masuk Universitas of Wisconsin dan mengambil bidang Pertanian. Kemudian dia beralih mempelajari agama dan bercita-cita menjadi pendeta. Saat itu ia juga terpilih sebagai salah seorang dari 10 mahasiswa yang akan menghadiri Konferensi Mahasiswa Kristen sedunia di Beijing selama enam bulan. Pengalaman baru ini kiranya memperluas pemikirannya dan dia mulai meragukan beberapa pandangan yang menjadi dasar agama.

Setelah lulus, dia menikah dengan Hellen Elliot, yang bertentangan dengan keinginan orangtuanya, dan kemudian pindah ke New York City dan mengajar di Union Theological Seminary, sebuah institusi keagamaan liberal yang cukup terkenal waktu itu. Dia pernah mengusulkan teman-temannya berdiskusi tentang alasan mengapa dia mau menjadi pendeta. Dia mengusulkan agar teman-temannya jangan memilih bentuk hidup seperti itu dan menganggap alasan mereka sudah berdasarkan teks-teks keagamaan.

Kehilangan keyakinan terhadap agama merupakan suatu problem psikologis.  Kemudian Rogers masuk ke program Psikologi Klinis dan Columbia University dan menerima gelar PhD pada tahun 1931. Dia mulai melakukan praktek di Rochester Society for the Prevention of Cruelty to Children, di klinik ini dia mempelajari teori Otto Rank dan teknik terapi yang kemudian menjadi langkah awal bagi perkembangan pendekatannya sendiri.

Dia menjabat profesor penuh di Negara Bagian Ohio pada tahun 1940. Tahun 1942, dia menulis buku pertamanya, Counselling and Psychoterapy, kemudian tahun 1945, dia diundang untuk mendirikan pusat konseling di University of Chicago. Saat bekerja inilah bukunya yang sangat terkenal, Client-centered Therapy diluncurkan, yang berisi garis besar teorinya.

Teori Rogers amat bersifat klinis, karena didasarkan pada pengalaman bertahun-tahun tentang bagaimana seharusnya seorang terapis menghadapi seorang kliennya. Di titik ini,teorinya mirip dengan teoritikus seperti Freud, Ana Freud. Kesamaannya dengan Freud juga terletak pada kedalaman teorinya yang ditawarkan dan dipikirkan dengan matang, dengam logika yang sangat ketat dan cakupan yang luas (Boeree, 288). Akan tetapi Rogers berbeda dengan Freud karena dia mengganggap manusia itu pada hakekatnya baik atau sehat, tidak jahat atau sakit. Dia memandang kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan atau persoalan kemanusiaan lainnya sebagai penyimpangan dari kecenderungan alam. Teorinya pun lebih sederhana dibandingkan dengan Freud.

Bangunan teori Rogers didasarkan pada suatu daya hidup yang disebut kecenderungan aktualisasi. Ini dapat diartikan sebagai motivasi yang menyatu dalam setiap diri makluk  hidup yang bertujuan mengembangkan seluruh potensinya sebaik mungkin. Di sini kita bukan hanya berbicara tentang bagaimana bertahan hidup: Rogers yakin bahwa seluruh makluk pasti ingin berbuat atau memperoleh yang terbaik bagi keberadaannya. Jika mereka gagal memperolehnya, bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat.

Di sini Rogers setuju dengan ide Maslow. Seperti Maslow, Rogers juga percaya bahwa manusia pada hakekatnya baik dan digerakkan oleh suatu keinginan dasar untuk “aktualisasi diri”. Setiap orang seperti “benih tumbuhan” yang mengandung potensi dan kemampuan yang besar untuk tumbuh dan berkembang. Namun, sering dialami bahwa potensi yang inheren dalam kodrat manusia itu terhambat leh “iklim” kehidupan yang memustahilkan pertumbuhan dan perkembangan menuju “aktualisasi diri”. Di sini pula, Rogers memakai istilah tersebut untuk setiap jenis makluk, berbeda dengan Maslow yang menggunakan istilah yang sama hanya untuk makluk yang hidup.

Rogers mengklaim bahwa tiga syarat yang harus dipenuhi agar tercipta “iklim” yang mempromosikan potensi dasariah menuju “realisasi diri”. Tiga kondisi yang dimaksudkan Rogers adalah: keaslian (genuineness), penerimaan (acceptance) dan empati (emphaty). Syarat atau kondisi tersebut berasal dari pengalaman praktek konseling. Namun, Rogers juga mengatakan bahwa syarat-syarat tersebut juga merupakan pra-kondisi untuk setiap jenis relasi antar-subyek. Misalnya relasi orang tua-anak, relasi pemimpin-kelompok, relasi guru-murid, relasi atasan-bawahan, relasi suami-istri, relasi dua orang yang bersahabat.

“Keaslian” (genuineness), dalam relasi interpersonal, menurut Rogers berarti terbuka terhadap perasaan dan emosi yang dialami, melepaskan “topeng” dan tampil transparan, apa adanya. Sedangkan “penerimaan” (acceptance) yang dimaksudkan oleh Rogers, berarti “unconditional positive regard”: suatu sikap membiarkan yang lain memberi “umpan balik” terhadap diri kita sendiri termasuk kekurangan dan kegagalan pribadi. Setiap orang mengalami kritik dan membuka “topeng”, mengungkapkan perasaan negative, namun tetap diakui dan diterima seperti “apa adanya”. Inilah yang oleh Rogers disebut “pengalaman rahmat” (an attitude of grace). Pengalaman rahmat ini sering pula dijumpai dalam hidup suami-istri, relasi persahabatan, dan seterusnya. Rogers selalu menyebut istilah perhatian positif. Yang dimaksudkan Rogers dengan istlah ini adalah perasaan-perasaan seperti cinta, senang, atensi, kepedulian dan sebagainya, yang tanpa unsur-unsur ini orang akan gagal untuk tumbuh dan berkembang (Mardi Prasetya, 37). Di samping perhatian positif pada orang lain, ia menunjuk sejumlah perhatian posiif pada diri sendiri seperti kehormatan, rasa bangga, citraan yang baik pada diri sendiri, kita merasakan perhatian positif terhadap diri sendiri dengan merasakan perhatian positif yang diberikan oleh orang lain selama proses pertumbuhan.

“Empati” (emphaty) merupakan pra-kondisi yang ketiga untuk perkembangan pribadi. Empati, oleh Rogers dimengerti sebagai kemampuan untuk “mendengarkan dan ikut merasakan arus perasaan orang tanpa penilaian”. Sikap mendengarkan semacam ini sangat membantu perkembangan pribadi dan oleh karena itu mengandung kemampuan menyembuhkan, kendati jarang ditemukan dalam relasi dan pergaulan antar pribadi.

Tiga syarat seperti diterangkan di atas: keaslian, penerimaan (tanpa syarat), empati, dalam relasi antar-pribadi dapat berfungsi sebagai air, matahari dan pupuk yang memungkinkan orang untuk tumbuh dan berkembang seperti “pohon aras” yang kokoh dan tegar. Mengapa? Karena menurut Rogers, kalau orang diterima dan dihargai, maka orang akan dimampukan untuk berkembang, artinya mampu untuk memperhatikan dan membantu dirinya sendiri menjadi lebih “self-actualized”.

Dalam tradisi humanistic, “konsep-aku” atau “gambaran-diri” memainkan peranan penting dan sentral. Prinsip filsafat Yunani kuno “gnoti seauton” (Socrates) yang berarti “kenalilah dirimu sendiri” merupakan hal yang mutlak dan esensial. Istilah “self” yang dalam kertas karya ini diterjemahkan dengan istilah “konsep-aku”, dalam kamus psikolog humanistic berarti: “the irreducible unit out of which coherence and stability of the personality emerge”. Istilah tersebut mengacu pada bagaimana individu memahami dan mengalami dirinya sendiri sebagai “the true-self”. Dalam pandangan Rogers, konsep-aku tampil sebagai bagian integral dari proses aktualisasi-diri. Konsep-aku memungkinkan seseorang untuk tahu membedakan antara apa yang adalah “diriku-sendiri” (what is me) dengan apa yang “bukan-diri-ku” (what is not me). Dengan demikian konsep-aku menjadi sangat penting dalam relasi interpersonal, agar supaya individu tahu membedakan antara dirinya sendiri dan diri orang lain.

Konsep-aku dalam bahasa humanistic mencakup apa yang secara aktual ada dalam pikiran individu tentang dirinya (aku-aktual), maupun apa yang secara ideal diharapkan oleh individu yang bersangkutan terhadap dirinya sendiri, dalam bentuk cita-cita dan keinginan di masa yang akan datang (aku-ideal). Dalam konteks itu, Rogers memakai istilah “konsistensi” untuk memperlihatkan harmoni dalam kepribadian individu antara “aku-aktual” dan “aku-ideal”. Banyak psikolog rupanya setuju bahwa “konsep-aku” memainkan peran sentral dalam usaha memahami kepribadian individu. Konsep “identitas” meliputi suatu pemahaman/konsep tertentu tentang diri sendiri sebagai “seorang-aku” yang berbeda dengan “aku-yang lain”. Konsep ini sangat berkaitan erat dengan istilah “pribadi yang unik”. Penghargaan terhadap diri sendiri (self-esteem) merupakan suatu sikap evaluatif terhadap diri sendiri yang pada gilirannya mempengaruhi perasaan dan tingkah laku seseorang individu baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan dunia.

Para psikolog humanistic sering merancang kwestioner untuk mengukur dan mengevaluasi “gambaran diri” individu. Misalnya alat ukur (personal inventory) yang dirancang oleh Everett Shostrom (1966) untuk “mengukur” sampai sejauh mana tingkat aktualisasi-diri seseorang. Ada “alat ukur” lain yang mendapat inspirasi dari Carl Rogers untuk menilai “gambaran –diri” yang dimiliki individu tertentu baik menyangkut “aku-ideal” maupun “aku-aktual”. Apabila “aku-ideal” dan “aku-ideal” seimbang, artinya tidak berbeda jauh, maka “gambaran-diri” individu yang bersangkutan dinilai positif: realistik. Rogers menggunakan prinsip tingkat bersama antara “aku-ideal” dan “aku-aktual” untuk menilai perkembangan pribadi seseorang dalam proses terapeutis.

Di pihak yang lain, ada pula di antara para psikolog humanistic yang berkeberatan terhadap penggunaan “alat ukur” yang cenderung mengukur kepribadian dan tingkah laku secara obyektif-formal. Mengapa? Menurut   mereka setiap usaha untuk “menilai” kepribadian atas cara demikian merupakan suatu gejala “depersonalisasi”. Segala macam “alat ukur” yang dipakai, apa pun bentuknya, justru membuat seorang personolog semakin jauh dari pribadi individu yang menjalankan “tes kepribadian”. Mereka lebih cenderung untuk mengenal secara langsung pikiran, perasaan dan persepsi, singkatnya dunia “pengalaman” klien daripada “memaksa” individu menjawab sesuai dengan kategori-kategori tertentu yang ada dalam pikiran psikolog yang melaksanakan tes-tes psikologis tertentu.

IV. Evaluasi Kritis

Sangat sulit untuk suatu evaluasi kritis terhadap suatu teori kepribadian yang berangkat dari konsep dasar atau keyakinan dasar bahwa “manusia itu baik”. Lebih sulit lagi memberi kritik terhadap suatu teori yang menjanjikan “kesempurnaan” diri pribadi individu. Dan, bahkan jauh lebih sulit mengkritik suatu pandangan teoritis yang sudah terlanjur popular dan diterima umum sebagai ajaran yang mendukung prinsip bahwa manusia bersifat “auto-soteris”. Dalam evaluasi berikut ini akan diberikan tiga buah “catatan” kritis:

• Pertama, menyangkut inti ajaran psikolog humanistik;

• Kedua, catatan tentang beberapa “keunggulan” teoretis dan

• Terakhir catatan tentang kekurangan menyangkut konsep dan produser ilmiah yang dipakai.

Inti Ajaran Humanistik

Psikologi Humanistik berangkat dari satu keyakinan dasar bahwa manusia mampu untuk menjadi diri sendiri. Kata kunci yang sering dipakai adalah: aktualisasi diri (self-actualization), pemenuhan-diri (self-fulfillment), penyempurnaan-diri (self-perfection). Para personolog yang berakar dalam tradisi ini percaya bahwa untuk “menjadi diri”-nya manusia memiliki rupa-rupa potensi (inherent potentialities) yang sekaligus berfungsi sebagai “daya dorong” (motivational system). Hal “menjadi-diri-sendiri” terutama dimengerti dalam konteks keutuhan (integritas) yang sadar dan yang ada dalam proses perkembangan.

Dalam perspektif itu “motivasi” yang mendorong tingkah laku manusia untuk bertindak bersumber pada tendensi biologis maupun pada tendensi pengalaman aktual yang unik dari individu yang bersangkutan. Tendensi-tendensi itulah yang berfungsi sebagai “system motivasi” yang menggerakkan, mengembangkan individu secara positif pada tujuan akhirnya ialah “aktualisai diri”. Kecenderungan atau orientasi dasar ke arah “realisasi-diri” tersebut bersifat konstruktif dan berfungsi sebagai daya dorong yang menggerakkan tingkah laku setiap individu secara positif menuju “realisasi-diri” sebagai tujuan akhir.

Dalam konteks itu psikolog humanistic mengklain bahwa teorinya bersifat:

(1) Holistik, artinya bahwa setiap aksi/tindakan individu tertentu harus senantiasa dimengerti dalam integritas/keutuhan pribadi individu yang bersangkutan. Mengapa? Karena manusia dalam pandangan humanistik merupakan suatu kesatuan yang utuh-bulat-terpadu. Suatu kesatuan yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan (man is a differentiated existing unity) ;

(2) Disposisional, artinya bahwa tingkah laku manusia lebih ditentukan oleh disposisi atau kwalitas bawaan yang berasal dari dalam diri individu sendiri; sedangkan faktor lingkungan eksternal , dalam pandangan humanistik , justru menjadi rintangan atau hambatan bagi individu yang ingin mencapai “realisasi diri”-nya (bdk. Balon terbang yang mengandung campuran helium dan gas ringan , namun ditahan oleh tali-temali yang tetap menghambat balon tersebut naik ke udara);

(3 ) Teori humanistic bersifat fenomenologis, artinya bahwa fokusnya terletak pada pandangan subjektif individu yang bersangkutan dengan realitas , dan bukan pada  perspektif objektif menurut versi pengamat yang meneliti dan menganalisis. Namun segera harus ditambahkan bahwa realitas subjektif itu bersifat “kini dan di sini “, (manusia konkret hic et nunc) tekanan pada pengalaman  aktual dan bukan pada pengalaman masa lampau (bdk. Teori psikoanalisa: masa lampau penting). Pengalaman “masa lampau” penting sejauh pengalaman tersebut membawa individu  pada “masa sekarang”.

Akhirnya, (4) psikologi humanistic mengklaim bahwa teorinya bercorak eksistensial, artinya perhatian sentralnya pada proses-proses mental yang sadar. Proses mental yang sadar itu memampukan individu untuk bisa membuat interprestasi terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan atau pengalaman eksistensial individu yang bersangkutan.

Dampak Positif: Keunggulan Humanistik

Dalam sejarah perkembangan psikolog modern, barangkali harus diakui bahwa satu-satunya aliran yang memberi perhatian pada perkembangan kepribadian yang sehat adalah psikolog Humanistik. Sebelumnya psikologi memusatkan perhatiannya pada penelitian pada hewan (behaviorisme), lantas pada manusia yang sehat (Humanistik). Studi dan penelitian para psikolog humanistik menyangkut subyek yang sehat (Renwarin, 19).

Pergeseran fokus perhatian ini menghasilkan suatu gerakan baru dalam dunia psikologi. Gerakan baru yang dimaksudkan adalah “psikolog humanistic”. Dengan istilah ini dimaksudkan: “as primarily an orientation toward the whole of psychology rather than a distinct arera or school. It stands for respect for the worth of persons, respect for differences of approach, open-mindedness as to acceptable methods, and interest in exploration of new aspects of human behavior” (Journal of Humanistic Psychology, II, (1962), pp.9-18).

Gerakan baru itu oleh Abraham Maslow disebut “The Third Force”. Sebagai suatu gerakan baru, maka perhatian sentralnya terutama pada “subyek yang mampu” merealisir diri sebagai tujuan akhir. Topik atau konsep-konsep dinamis yang selama ini diabaikan dalam psikologi, kini diangkat dalam perspektif humanistic. Konsep-konsep yang dimaksud antara lain seperti: cinta, kreatifitas, gambaran diri, organism, kebutuhan dasar, aktualisasi-diri, nilai, ekstensi, spontanitas, rasa humor, afeksi, kehangatan, makna hidup, pengalaman transcendental, pengalaman-puncak, keberanian dan konsep-konsep terkait (cfr. Maslow, Religions, Values, and Peak-Experience, 1984, p.71, yang kemudian diterjemahkan oleh A. Cremers dan Donatus Sermada).

Hal yang paling menonjol dari “gerakan baru” ini ialah sikap dan pandangannya yang sangat positif tentang “kodrat” manusia. Psikologi humanistic percaya bahwa manusia merupakan subyek atau “actor” yang aktif dan dinamis membangun dirinya menuju “realisasi-diri”. Pandangan ini berbeda dengan pandangan psikoanalisa yang bersifat reduksionis-pestimistik dan mekanistik atau pandangan behavioristik yang bersifat reaktif dan semata-mata reseptif: takluk pada pengaruh kekuatan lingkungan. Dalam pandangan yang disebut terakhir, manusia merupakan “obyek” semata-mata yang tidak bisa lain kecuali taat pada ransangan yang diterimanya. Tidak mengherankan kalau “gerakan baru” ini cepat diterima dan dipromosikan sebagai “psikologi orang-orang yang sehat” (Schultz, 1991:5)

Suatu sumbangan positif lainnya dari psikologi humanistic ialah tekanannya pada pentingnya suatu “gambaran diri” yang positif terhadap diri sendiri. Mereka mendukung kebenaran pendapat Seneca: “apa yang anda pikirkan tentang diri anda sendiri jauh lebih penting dari pada apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang diri anda”. Psikologi humanistic menekankan betapa pentingnya pikiran dan perasaan subyek tentang dirinya sendiri. Mengapa “gambaran-diri” (self-concept) begitu penting? Psikolog humanistic akan menjawab bahwa “harga-diri” (self-esteem) seseorang sangat ditentukan oleh “gambaran-diri” yang dimiliki seseorang. Orang yang memiliki “gambaran-diri” yang positif kurang mengalami depresi, bebas dari rasa rendah diri dan insomnia, serta tidak memiliki ketergantungan pada alkohol dan obat bius, lebih tahan lama tugas dan pekerjaan. Penelitian intensif membuktikan bahwa orang yang memiliki pikiran dan perasan negative terhadap dirinya sendiri (low-self-esteem) cenderung memandang rendah baik dirinya sendiri maupun diri orang lain.

Dampak Negatif: Kekurangan Humanistik

Antusiasme besar terhadap “gerakan baru” ini nampak dalam pelbagai usaha untuk menerapkan prinsip dan ajaran humanistic dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam konteks pendidikan dan pembinaan, konseling, manajemen, dan pendidikan anak, termasuk “trend” modern dalam psikologi yang dikenal dengan nama “psikologi pertumbuhan” dan “psikologi kesehatan” yang masuk dalam kategori “best-selling books”.

Banyak metode pendidikan dan pembinaan jalur dari gagasan humanistic (cfr. Metode Belajar: Cara Belajar Siswa Aktif = CBSA). Sadar atau tidak sadar, “dogma” dan “metode” humanistic membawa dampak negative dalam hidup dan praksis manusia dan masyarakat. Saya membatasi diri untuk hanya menyebut tiga hal yaitu: pada level teoritis dan pada level metode, dan pada level praktis.

 

Pada Level Teoretis : Ide dan Konsep

Teori humanistik berangkat dari keyakinan dasar bahwa manusia pada dasarnya memiliki “kemampuan dasar” untuk “aktualisasi-diri”. Dari mana muncul keyakinan dasar sedemikian? Keyakinan itu agaknnya lahir dari kenyataan bahwa penelitian yang dilakukan oleh para psikolog dalam tradisi humanistic (antara lain: Maslow) terhadap subyek-penelitian yang sudah “self-actualized”. Pertanyaan kritis yang dapat diajukan terhadap pendukungnya ialah: apakah konsep tentang manusianya tidak terlalu “optimistic”? Berapa banyak individu di dunia ini yang sungguh-sungguh mencapai “aktualisasi-diri”, seperti yang dikonsepkan oleh Maslow? Kenyataannya membuktikan bahwa cita-cita untuk menjadi diri sendiri tetap merupakan suatu ilusi yang tak dapat direalisir. Lalu, apakah benar bahwa tujuan akhir manusia adalah “aktualisasi-diri”? pengalaman membuktikan bahwa orang yang terlalu memikirkan dirinya sendiri akan segera kecewa. Otentisitas manusia tidak terletak pada hal “menjadi diri sendiri” melainkan pada “pelampuan-diri” seperti dimaksudkan Lonergan (Mardi Prasetya, 11).

Kritik lain menyangkut konsep “sktualisasi-diri” itu sendiri. Aktualisasi diri, dalam pandangan humanistic, dilukiskan sebagai orang yang terbuka, spontan, mencinta, menerima-diri, kreatif dan produktif. Pertanyaannya ialah apakah ini sungguh-sungguh suatu deskripsi ilmiah tentang pemenuhan diri? Ataukah semata-mata suatu ungkapan nilai dan cita-cita pribadi dari Maslow sendiri? Apa yang dibuat Maslow, menurut M. Brewter Smith (1978) agaknya lahir dari rasa kagum pribadi terhadap “tokoh-tokoh” tertentu lantas memberi kesan pribadi terhadap penampilan mereka. Rupanya harus dikatakan bahwa konsep-konsep yang dipakai terlalu umum dan subyektif.

Pada level metodologi dan prosedur ilmiah

Sudah disinggung di atas bahwa konsep humanistik tentang “aktualisasi-diri” dipertanyakan. Bagaimana melaksanakan sesuatu penelitian yang sungguh-sungguh ilmiah, kalau tidak ada suatu “operational definition” yang jelas tentang konsep yang dipakai? Kritik ini terutama berasal dari para pendukung behavioristik. Mereka mempertanyakan: apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan istilah “aktualisasi-diri”? Apakah tendensi ini bercorak transkultural karena merupakan suatu kencenderungan-bawaan sejak lahir ataukah sungguh-sungguh kultural, artinya terikat pada suatu situasi dan budaya tertentu? Rupanya harus dikatakan, menurut kaum behavioristik, bahwa psikologi humanistic lebih berbicara tentang “manusia pada umumnya” (Boeree, 264) dari pada berbicara tentang ciri dan corak khas individu. Maksudnya, psikologi humanistic kurang memperhitungkan perbedaan yang ada pada individu yang satu dengan individu yang lain.

Kritik lain dari pada Behavioristik ialah bahwa cara yang dipakai oleh kaum humanistic untuk memformulasikan teorinya justru mengurangi nilai dari penelitian mereka sendiri. Dalam perumusan teori para humanistic cenderung memberi tempat dan peranan sentral pada “self” sebagai sumber yang mengorganisir pengalaman dan tindakan individu. Kendati formulasi teorinya demikian, namun pada kenyataannya, menurut kaum behavioristik, para humanistic menolak pentingnya peranan variabel-variabel lingkungan eksternal terhadap tingkah laku manusia. Hal ini merupakan suatu kekurangan ilmiah yang tidak bisa ditolerir. Rupanya ada suatu inkonsistensi antara “formulasi teoretis” dan “praksis/prosedur penelitian”.

Kritik selanjutnya berasal dari penganut aliran psikoanalisa. Kritik tersebut berangkat dari penekanan berat sebelah para humanistic pada “pengalaman actual yang sadar”. Para psikoanalis menuduh kaum humanistic karena kurang memperhitungkan peranan faktor bawah-sadar terhadap tingkah laku manusia. Menurut mereka (para psikoanalis), orang yang memiliki konflik-konflik bawah-sadar dan memakai strategi defensive tidak mampu melukiskan diri mereka sendiri secara real hanya dengan mengandalkan proses-proses sadar.

Dengan kritik tersebut para psikoanalis mau mengatakan juga bahwa (a) sejarah pribadi individu dan pengalaman masa lampau dari individu yang bersangkutan turut mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian; namun hal ini kurang diperhitungkan oleh kaum humanmistik; (b) para humanistik cenderung membuat suatu oversimplikasi tentang konsep kepribadian dengan menampilkan gagasan tentang “tendensi aktualisasi diri”; (c) para psikolog humanistic gagal membuat prediksi bagaimana seorang individu memberi reaksi tertentu terhadap situasi tertentu; (d) dalam analisa terakhir, psikologi humanistic menampilkan suatu pembicaraan-ganda tentang kepribadian (istilah “self” dan “personality”) dan bukan suatu penjelasan.

 

 

 

Pada Level praktis

Sadar atau tidak, psikologi moderen dengan label “Self-Theory” atau “psikologi humanistic” telah memasuki hidup dan praksis manusia dan masyarakat modern. Psikologi humanistic: ajaran dan prinsip-prinsipnya mempengaruhi cara berpikir, cara merasa, cara bertindak manusia moderen. Ajaran dan prinsip dasar itu pada dewasa ini diterapkan dalam pelbagai bidang kehidupan: mulai dari “masyarakat kampus” sampai pada “masyarakat di pinggir jalan”. Prinsp-prinsip humanistic dipakai dan diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengajaran di sekolah, tempat-tempat pembinaan formal dan informal, hidup perkawinan dan keluarga, dunia bisnis dan usaha, ekonomi dan pemasaran, termasuk iklan dan reklame.

Pertanyaannya: mengapa “self-theory” dan “prinsip-prinsip dasar” psikologi humanistic begitu cepat merasuki dan dipaki secara meluas dalam pelbagai aspek kehidupa manusia modern? Dimanakah letak rahasia kekuatan dan daya pesona dari psikologi humanistic? Daya pesona psikologi humanistic terletak pada inti “ajaran” dan “janji” yang terkandung dalam ajarannya. Manakah inti ajarannya yang paling hakiki dan manakah “janji”-nya yang memukau manusia modern?

Inti ajarannya berpusat pada pribadi manusia itu sendiri. Psikologi humanistic mengajarkan bahwa manusia individual memiliki apa yang disebutnya “inner potentiality” atau “innate tendency”. Kemampuan atau tendensi bawaan tersebut secara positif mengarahkan manusia kepada kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan diri. Masyarakat dan kebudayaan manusia dituduh sebagai penghalang utama realisasi potensi manusia yang pada hakekatnya positif : artinya senantiasa mengarahkan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa psikologi humanistic menawarkan suatu pemahaman atau gambaran-diri yang sangat positif dan sangat optimistic tentang manusia. Carl Rogers misalnya menulis demikian : “thought I am very aware of the incredible amount of destructive, cruel, malevolent behavior in today’s world, from threats of war to the senseless violence in the streets, I do not find that this evil is inherent in human nature”. … So I see members of the human species, like all members of other species, as essentially constructive in their fundamental nature, but damaged by their experience” (Rogers, 1982).

Sebaliknya, tentang masyarakat dan kebudayaannya dikatakan : “so my experience leads me to believe that It is cultural influences which are the mayor faction our evil behavior” dalam pandangan setiap anak manusia dilahirkan dan dibesarkan tanpa salah dan dosa. Lalu dosa siapa? Rogers menjawab salah dan dosa masyarakat dan kebudayaan suatu masyarakat. Tidak semua penganut humanistic setuju dengan Carl Rogers, misalnya Rollo May. Dia menulis : “who makes up the culture except persons like you and me” the culture is evil as well as good because we, The human beings who constitute it are evil as well as good we are bundles of both evil and good potentialities” (May, 1982).

Selanjutnya, SELF-THEORY menekankan pentingnya “SELF” sebagai inti kepribadian yang mengorganisir kemampuan dan pengalaman individu menuju “aktualisasi-diri”. Dalam pandangan ini “gambaran-diri” (self-concept) merupakan kata kunci dan magis dalam tradisi psikologi humanistic. Apa yang paling penting dalam kehidupan pribadi individu adalah “gnoti seauton” (Socrates). Dan prinsip dasar yang berlaku dalam usaha pengenalan diri ialah bahwa “apa yang anda pikirkan tentang diri anda sendiri (self-concept) jauh lebih penting daripada apa yang orang lain pikirkan tentang diri anda” (Seneca, Ad Lucilium, A.D.64).

Lalu, manakah JANJI KESELAMATAN yang ditawarkan kepada umat manusia oleh psikologi humanistic dan SELF-THEORY? Pertanyaan ini berhubungan dengan TUJUAN AKHIR hidup manusia. Janji keselamatan yang ditawarkan sebagai tujuan akhir manusia adalah AKTUALISASI DIRI, REALISASI DIRI dan PEMENUHAN DIRI. Realisasi diri atau aktualisasi-diri, pemenuhan diri ini secara otomatis terjadi tanpa intervensi orang lain termasuk lingkungan sekitar. Mengapa demikian? Karena manusia membawa dalam dirinya rupa-rupa “kemampuan-bawaan” atau “tendensi-bawaan” yang senantiasa mendorong sekaligus memampukan manusia individu untuk mencapai keselamatan yang dijanjikan: realisasi-diri, aktualisasi-diri dan penyempurnaan diri sendiri.

Pertayaan berikut ialah: apa yang kiranya ada di balik prinsip dan ajaran dasar psikologi humanistik dan teori “self”? Sadar atau tidak, suka atau tidak suka, psikologi humanistik menawarkan suatu gaya dan sikap hidup yang oleh Paul C.Vits disebut “The Cult of Self-Worship”, artinya “suatu kultus penyambahan terhadap diri-sendiri”. Kultus-diri itu begitu kuat sehingga di banyak tempat, khususnya di Amerika, psikologi modern menggantikan kedudukan agama. Di Amerika dan Eropa, misalnya orang lebih percaya pada kekuatan diri-nya sendiri dan lebih dihidupkan oleh janji humanistik tentang “realisasi diri” sebagai tujuan akhirnya. Inti dari kultus-diri adalah “selfish”. Diri sendiri adalah ‘awal dan akhir” kehidupan. Subjek individu yang menentukan “apa yang baik dan apa yang jahat”, termasuk “apa yang boleh dan apa yang tidak boleh”, baik dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan Bersama (Renwarin:24). Kita dapat mengamati pula bahwa  aliran Psikologi modern yang berpengaruh dewasa ini diam-diam mempertahankan  pendapat bahwa ukuran  baik dan benar adalah manusia atau si subyek (Mardi Prasetya: 41). Justeru karena itu Psikologi ini disebut  psikologi humanis atau psikologi sekuler yang akhirnya membawa ke subyektivisme.

           Manakah dampaknya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat umum? Di luar dugaan dan harapan para pendukung “teori humanistic” dampak negatifnya lebih terasa ketimbang maksudnya. Paul C. Vitz menulis: “…. Psychology has become more a sentiment than a science and is now part of the problem of modern life rather than part of its solution”. Menurut Vitz, dalam bukunya Psychology As Religion, The Cult of Self-Worship: “psikologi sudah berubah menjadi suatu “agama baru” yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk “humanism secular” yang berorientasi pada kultus atau pemujaan terhadap diri sendiri (Vitz, 1997:20-230). Atas nama dan demi “aktualisasi-diri” banyak hal dikorbankan: pengguguran, perceraian, peperangan, pemecatan. Psikologi humanistic mempromosikan budaya “industry botol” dalam segala bentuk dan manifestasinya: konsumerisme, hedonisme dan saudara sepupunya. Karena itu misalnya, Mardi Prasetya, mencatat bahwa Alfred Adler, Carl Rogers, Abaraham Maslow dan Erich From tergolong Psikolog humanis yang memiliki dasar orientasi antroposentris atau lebih tepat transendensi diri yang hanya egosentris atau sosial filantropis, tetapi tidak ada nilai-nilai adikodrati atau obyektif teosentris (Mardi Prasetya: 35). Mereka memang menekankan nilai-nilai seperti cinta, keadilan, dan kebenaran akan tetapi dijelaskan secara abstrak dan mutlak, dan di lain pihak, ukuran yang mutlak bagi mereka adalah si manusia sendiri atau pemenuhan diri melalui penghayatan nilai-nilai yang mereka kemukakan tetaplah subyektif. Dengan demikian konsep transedensi diri dalam cinta, keadilan dan kebenaran berkriteria subyektif.

C. Rogers misalnya malah mengecewakan kita dalam hal ini karena tidak menyinggung horison hubungan pribadi dengan Allah, padahal ini termasuk dalam pengalaman manusia. Ia   hanya menggarap soal hubungan manusia dengan dirinya sendiri (terapinya berpusat pada diri sendiri) atau hubungannya dengan masyarakat sosial tanpa meletakkannya dalam pengandaian dasar bahwa pribadi tersebut juga terbuka terhadap horison Adikodrati dalam pengalaman hidupnya sendiri. Karena itu tidak mengherankan kita bahwa Rogers justru mendukung humanisme tanpa teosentris. Ia menekankan bahwa tanpa nilai obyektif pun orang dapat mencapai kedewasaan pribadi yang berfungsi penuh (Rogers, 1961:95)

Pandangan yang optimistis tentang pribadi sebagaimana yang didukung oleh pandangan Rogers di atas memang berguna untuk menanggulangi pandangan yang pesimistis yang dikemukakan oleh  Freud, tetapi tidak mencukupi untuk landasan kerohanian, misalnya, karena tidak diletakkan dalam horison antropologi yang memadai.  Aktualisasi diri manusia tidak lain daripada perwujudan nilai-nilai yang tidak bersandar pada kekuasaan obyektif seorang Allah sebagai Bapa Adikodrati, tetapi berakar dalam  kodrat biologis manusia itu sendiri. Segala sistem nilai serta penjamin obyektif, ekstern dan adikodrati dari segala nilai manusiawi dianggap telah gagal. (Cremers dan Sermada, 2000:16).

Implikasi dan Aplikasi Teori Humanistik

Meski telah diberikan sejumlah catatan kritis atas teori Humanistik, khususnya kepada Maslow dan Rogers, namun dari teori mereka dapat menemukan sejumlah gagasan untuk bidang pendidikan. Psikologi Humanistik memberikan perhatian atas para guru sebagai fasilitator, dengan beberapa tugas antara lain:

a. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada pencintaan suasana awal, situasi kelompok atau pengalaman kelas.

b. Tugas fasilitator membantu para peserta didik untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan dan tujuan kelompok (kelas) yang bersifat umum.

c. Fasitator percaya akan adanya keinginan dan komitmen masing-masing siswa untuk merealisasikan tujuan yang bermakna bagi dirinya sendiri, dan inilah kekuatan pendorong yang tersembunyi dalam proses belajar bermakna.

Kalau ciri-ciri fasilitator di atas dapat dijalankan dengan baik, para guru selalu percaya bahwa setiapsiswa mempunyai kemampuan untuk belajar dan mempunyai perilaku yang lebih positif terhadap para siswanya.

 

 

Implikasi Gagasan Maslow dan Rogers di Bidang Pendidikan

Implikasi dari teori Maslow tentang motivasi dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah  mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi/ keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.

Dalam kaitan dengan bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).

Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hasrat untuk Belajar. Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik, anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.

b. Belajar yang Berarti. Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.

c. Belajar Tanpa Ancaman. Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancar manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.

d. Belajar atas Inisiatif Sendiri. Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain. Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.

e. Belajar dan Perubahan. Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah belajar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

 

V. Aplikasi Aliran Humanistik Dalam Pendidikan

Humanisme dalam Pembelajaran Pendidkan Agama Katolik di sekolah sebenarnya sudah terumuskan dalam konsep Alkitab dan Ajaran Sosial Gereja tentang manusia. Untuk mengerti konsep ini bisa dilacak pada sumber dasar Kitab Kejadian bahwa manusia adalah makluk ciptaan Allah yang paling mulia, disebut makluk ciptaan Citra Allah (Kej. 1:26-31). Atau dalam pokok Ajaran Sosial Gereja. Sementara itu pendidikan, termasuk pendidikan Agama Katolik sering menghadapi masalah, paling tidak ditandai oleh beberapa hal berikut: (1) pengajaran materi secara umum termasuk pengajaran agama belum mampu melahirkan creativity. Akar masalah di sini terletak pada satu kenyataan bahwa bahan pengajaran di kurikulum kita terlalu overload; (2) morality atau akhlak di sekolah umum masih menjadi masalah utama karena lemahnya moralitas dalam pendidikan akan berdampak pada moralitas dalam masyarakat, dan (3) punishment atau hukuman dalam berbagai bentuk lebih tampak dari reward atau penghargaan.

Berikut ini ditampilkan  beberapa hal yang merupakan aplikasi dari teori-teori humanistik, walaupun hanya akan ditampilkan sebagian aplikasi dalam proses pembelajaran, dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu.

 

Open Education atau Pendidikan Terbuka

Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik, ketrampilan-ketrampilan atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat memberikan petunjuk untuk mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru (Rumini, 1993).

Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :

a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar harus ada. Murid tidak dilarang untuk bergerak secara bebas di ruang kelas, tidak dilarang bicara, tidak ada pengelompokan atas dasar tingkat kecerdasan.

b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka. Guru menangani masalah-masalah perilaku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan murid yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.

c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersama-sama mendiagnosis peristiwa-peristiwa belajar, artinya murid memeriksa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

d. Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes ataupun buku kerja.

e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid dan membuat catatan dan penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.

f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan orang lain termasuk rekan sekerjanya.

g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar yang membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu.

Perlu untuk diketahui, bahwa penelitian tentang efektivitas model ini menunjukkan adanya perbedaan dengan proses pendidikan tradisional dalam hal kreativitas, dorongan berprestasi, kebebasan dan hasil-hasil yang bersifat afektif secara lebih baik. Akan tetapi dari segi pencapaian prestasi belajar akademik, pengajaran tradisional lebih berhasil dibandingkan poses pendidikan terbuka ini.

 

Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)

Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah dilaksanakan (Lowry, dalam Harsono, 2007). Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat atau level perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu proses belajar. Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari peserta.  Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007). Perancangan pembelajaran ini didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses pembelajaran.

 

Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)

Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system dukungan social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif dan diharapkan menjadi dan memiliki jiwa entrepreneur. Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam sistem pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi (Harsono, 2007). Dengan SCL siswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun pengetahuan dan mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual.

Adapun metode-metode SCL antara lain :

a. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)

Prinsip metode ini adalah siswa belajar dari dan dengan teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan secara penuh bertanggung jawab atas hasil pembelajaran siswa.

b. Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)

Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan proses yang aktif. Siswa mengasimilasi informasi dan menghubungkannya dengan pengetahuan baru melalui kerangka acuan pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka wawasan para siswa untuk secara aktif berinteraksi dengan temannya. Di sini siswa akan mendapatkan keuntungan lebih jika mereka saling berbagi Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya komunikasi dan saling bertukar informasi, yang akan memudahkan para peserta menciptakan kerangka pemikiran dan pemaknaan terhadap hal yang dipelajari. Siswa ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika menghadapi perbedaan perspektif dan memerlukan suatu kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya. Dengan demikian melalui proses ini siswa belajar menciptakan keunikan kerangka konseptual masing-masing dan secara aktif terlibat dalam proses membentuk pengetahuan.

c. Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif)

Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi siswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai hasil terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kompetisi individual berarti siswa berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebelumnya. Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerja sama.

d. Case Based Learning (Pembelajaran Berdasar Kasus)

Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi siswa untuk menguasai konsep dan menerapkannya dalam praktek nyata. Dalam hal ini analisis kasus yang dikuasai tidak hanya berdasarkan common sense melainkan dengan bekal materi yang telah dipelajari.

Pada intinya, pembelajaran dengan SCL sangat bertentangan dengan proses pembelajaran konvensional yang cenderung Teacher Centered Instruction, yakni proses pembelajaran yang mengandalkan guru atau dosen sebagai sentralnya. Di sini nampak aplikasi dari aliran humanistik, yang sangat ‘memanusiakan’ peserta didik.

 

Penutup

Psikologi Humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu, mudah-mudahan dapat dicapailah tujuan ini.

 

Daftar Kepustakaan

 

Boeree, C. George, Personality Theories, Prismasophie, Yogyakarta, 2009

Crain, William,  Teori Perkembangan, Konsep dan Aplikasi (edisi ketiga), Pustaka Pelajar, Jakarta, 2007

Mardi, F. Prasetya SJ., Psikologi Hidup Rohani 1, Kanisius, Yogyakarta,1993

Harsono, Student Centered Learning (makalah dalam Lokakarya Peningkatan Pembelajaran melalui SCL, FPISB UII, Yogyakarta, 2007 (4 April 2007).

Maslow, Abraham, Agama, Nilai dan Pengalaman Puncak, (terj. Agus Cremers dan Donatus Sermada, LPBAJ, 2000

Moi, Alberto A. Djono, Ocarm., Proses Aktualisasi Diri, Dioma, Malang, 2002

Renwarin,   Inno,   Psikologi Kepribadian, (traktat), STF.Seminari Pineleng, 1992

Rogers, C., On Becomming a Person, Boston: Hauhton-Mifflin Publishers, 1961

Vitz, P.C., Psychology as Religion: The Cult of Self-Worship, Grand Rapids, Michigan, 1977

Rumini, S. dkk., Psikologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 1993

Soemanto, Wasty,   Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1988

Schultz, Duane, Psikologi Pertumbuhan, Model-model Kepribadian Sehat, 1991

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60