Soal waduk lambo, WALHI NTT: Proyek Strategis Nasional (PSN) waduk Lambo/Mbay Abaikan putusan Mahkamah Konstitusi

  • Whatsapp
banner 468x60

PORTALNTT.COM, KUPANG – Proyek Waduk lambo/Mbay, salah satu dari 7 (Tujuh) bendungan Proyek Strategis Nasional (PSN) di NTT ini berencana dibangun di desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Desa Labolewa Kecamatan Aesesa, dan Desa Ulupulu Kecamatan Nangaroro di Kabupaten Nagekeo.

Mega proyek ini dibangun mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Ciptakerja menjadi sebuah petunjuk bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tidak dapat dilaksanakan dan berstatus (Inkonstitusional bersyarat).

Hakim Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan perbaikan Undang-Undang tersebut selama dua tahun karena Undang-Undang tersebut dinilai inkonstitusional bersyarat dan menabrak asas dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi, ada klausul yang menegaskan agar tidak boleh membentuk peraturan pelaksana dan tidak boleh mengambil putusan-putusan strategis atas rujukan Undang-Undang Ciptakerja Nomor 11 tahun 2020.

Klausul yang tidak memperbolehkan mengambil putusan-putusan strategis menjadi jaminan mutu bahwa program-program strategis berskala nasional tidak boleh dilakukan sepanjang Undang-Undang Ciptakerja Nomor 11 tahun 2020 belum ada perbaikan dan berstatus konstitusional permanen.
 
Mega proyek waduk Lambo/Mbay yang digagas Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II itu telah menciptakan konflik besar, ada banyak korban perempuan yang diduga mendapatkan tindakan represif dari oknum kepolisian dalam proses pengukuran lahan yang dilaksanakan oleh pihak BWS.

Kepolisian sepertinya terus melakukan intervensi terhadap masyarakat yang melakukan protes dan menolak proyek itu dibangun di wilayah mereka, jika dilihat dari vidio yang beredar, kepolisian dan kontraktor pelaksana bersama tim BWS Nusa Tenggara II memaksa rakyat untuk menerima proyek tersebut dibangun, Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata, menuntut agar masyarakat yang protes harus berdasarkan hukum, dan jika tidak maka akan ditindak dengan tegas, Ini sebuah paradigma terbalik yang coba dibangun, bahwa rakyat yang protes adalah preman-preman yang menghalangi kepentingan publik, padahal jika dilihat bahwa rakyat adalah pemilik ulayat, bertindak atas diri sendiri dan suku, turun temurun dari leluhur sebagai penguasa atas tanah dan air mereka, mereka memiliki hak hukum sesuai pasal 18 B Ayat (2), Pasal 28 I ayat (3)dan (4), Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan mereka perlu dilindungi secara hukum oleh kepolisian,” kata Umbu Tamu Ridi, SH, MH, Kepala Divisi Advokasi dan Kajian Hukum WALHI. NTT,
 
Jika kepolisian memposisikan diri sebagai Kamtibmas, seharusnya kepolisian bertindak di tengah, harus bertindak melindungi kedua belah pihak, jika ada konflik harus didudukan secara serius dan mendengarkan rakyat, tidak terkesan mengintervensi rakyat agar setuju, yang terlihat adalah kepolisian tidak seperti yang dibicarakan di media oleh kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata.

Pada saat konflik awal yang lalu pada tanggal 09 Desember 2021 atas pengakuan beberapa ibu-ibu di lokasi kejadian, bahwa ada oknum anggota kepolisian melakukan aksi represif dan telah mengganggu mental ibu-ibu di sana, persoalan ini berbanding terbalik dari yang dimediakan bahwa polisi bertindak sebagai Kamtibmas, Tegas Umbu Tamu Ridi
 
Lanjud Umbu, Proyek waduk Lambo/Mbay ini ditolak oleh tiga kelompok masyarakat adat, yaitu masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo, dan mereka menyarankan untuk dipindahkan di tempat berbeda, karena lokasi yang akan dibangun adalah tanah ulayat, terdapat tempat ritual masyarakat adat, lahan-lahan pertanian warga, juga terdapat rumah warga dan fasilitas umum, saran warga ini tidak diindahkan oleh BWS NT II dan Pemda, dan terkesan sepihak tanpa mempertimbangkan masyarakat sebagai pemilik ulayat.
 
Sebagai organisasi masyarakat sipil, WALHI NTT menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, , BWS Nusa Tenggara II, Bupati Nagekeo dan Gubernur NTT agar melaksanakan perintah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)
Kedua, Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, untuk segera menghentikan berbagai intervensi dan menindak oknum kepolisian yang melakukan tindakan represif terhadap masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo yang menolak pembangunan mega proyek ambisius tersebut, dan menarik seluruh personil dari Lowo se.

Ketiga, Menghentikan segala bentuk aktivitas di lokasi Lowo se, dan membangun koordinasi secara terbuka yang tidak merugikan masyarakat adat Rendu, Ndora dan lambo
Keempat, Memberikan perlindungan terhadap rakyat secara khusus masyarakat adat Rendu, Ndora, dan Lambo.

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60