Oleh: (Drs. Fransiskus Sili, MPd, SMK Negeri 5 Manado)
Kata Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1 : 38)
“Maaf, Pak, untuk bisa membuka informasi rekening Anda di bank kami, kami harus bertanya dulu kepada Bapak sebuah pertanyaan ini: “Siapa nama ibu kandung Bapak?” Saya ikut mendengarkan percakapan gadis pegawai customer service sebuah bank itu dengan ayah saya. Saya mendengar Ayah bukannya menjawab pertanyaan itu, melainkan malah ganti bertanya (ayah saya memang sangat hobi mempertanyakan segala sesuatu), “Kenapa ya Mbak, pertanyaan yang menjadi kode rahasia itu selalu nama ibu kandung, mengapa bukan yang lainnya; nama ayah kandung, misalnya?” Gadis customer service itu menjelaskan dengan sabar, “Ya Pak, ibu kandung yang melahirkan kita itu kan pasti hanya satu ya Pak, sedangkan ayah kan tidak. Ayah bisa lebih dari satu, atau bahkan tidak diketahui,” urainya sambil tersenyum.
Saya yang tidak ikut bertanya, menjadi tercenung mendengarnya, sehingga saya jadi ikut manggut-manggut menyadari kebenaran jawaban gadis pegawai bank itu. Alangkah personal dan indahnya karunia Tuhan dalam hidup manusia melalui seorang ibu. Seseorang yang tidak punya apa-apa sekalipun pasti mempunyai ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Sekarang kata ‘wanita’ banyak dipakai untuk menggantikan kata perempuan, meski ada yang juga lebih senang tetap menggunakan yang pertama. Kalau kata perempuan yang digunakan, mungkin karena dekat dengan artinya, karena perempuan berarti yang diempukan, yang disanjung-sanjung, seseorang yang diutamakan. Dalam realitas hidup harian, sering untuk menunjukkan bahwa hasil usaha seseorang itu hebat, kita mengangkat jempol atau ibu jari. Bahasa utama dalam suatu Negara dinamakan bahasa ibu, bumi yang mengandung dan melahirkan banyak kekayaan alam disebut ibu pertiwi. Memang benar, kata dan cinta itu selalu terpatri dalam hati setiap anak manusia.
Dalam suatu pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Nazi Jerman, seorang serdadu mendadak lemas ketika seorang pemuda yang hendak ditembak mati, berkata: “Jangan bunuh saya, saya masih punya ibu yang perlu saya pelihara”. Ia justeru teringat akan ibunya sendiri. Ada pula seorang pemuda yang menolak memperkosa seorang janda muda bersama teman-temannya yang berandal. Kenapa dia menolak melakukan perbuatan bejat ini, ia menjawab, “Saat itu saya teringat akan ibu dan saudari saya. Lebih baik saya mati di tangan teman-temanku daripada melakukan tindakan keji itu pada ibu itu”. Dalam bis atau kendaraan umum, pria yang baik hati dan tahu etiket selalu memberikan kesempatan atau tempat kepada ibu atau para gadis, karena mengharapkan juga bahwa orang memperlakukan ibu atau saudarinya demikian.
Perlu dicatat, bahwa dalam masyarakat kita, citra ibu tiri sering bernuansa negatif, namun jumlahnya tetap kecil, tak sedikitpun ibu tiri yang memperlakukan anak tirinya bagaikan anaknya sendiri, meski lahir dari rahim yang berbeda. Memang hal ini amat tergantung pada pribadi tiap orang. Ibu kandung pun sering dibenci oleh anak-anaknya entah dengan berbagai alas an. Kita ingat juga akan perkataan dari Kardinal Yustinus Darmoyuwono yang mengundurkan diri dari Uskup Agung Semarang, 3 Juli 1981: ”Seorang ibu tercinta yang dicintai dan mencintai tidak pernah terlambat untuk meninggal,karena kehangatan cintanya ingin dipertahankan selama mungkin oleh putra-putrinya. Sebaliknya, kebanyak pemangku jabatan atau kekuasaan, terlambat mundur dari kedudukannya, dan ingin tetap menikmati kue kekuasaan”. Itu berarti pada saat tertentu harus ada titik untuk mundur. Misalnya untuk seorang ibu, pada saat pernikahan anaknya, sang ibu harus mundur dalam arti tertentu dan hanya muncul pada saat dibutuhkan, dan tidak lagi mencampuri terlalu jauh dari hidup anaknya yang sudah menikah.
Oktaf atau hari kedelapan sesudah pesta kelahiran Yesus, Gereja menetapkannya sebagai Hari Raya Maria Bunda Allah. Santo Lukas dalam Injilnya menulis: “Pada waktu itu para gembala bergegas ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi sesuai dengan pemberitaa malaekat. Mereka menjumpai Maria dan Yosep serta Bayi yang terbaring di palungan. Ketika melihatnya, mereka menceritakan apa yang diberitakan kepada mereka tentang Bayi itu. Semua orang mendengar itu merasa heran. Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya. Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat itu sesuai dengan apa yang dikatakan malaekat kepada mereka. Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut malaekat sebelum Ia dikandung IbuNya” (Luk. 2:15-19).
Walaupun banyak orang menandai hari Ibu dan merayakan secara khusus ulang tahun ibu sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap kasih dan pengabdiannya membesarkan kita, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari betapa besarnya peran hidup dan cinta seorang ibu di dalam hidup seorang manusia.
Dari ibu yang melahirkan dan membesarkan kita, sesungguhnya kita belajar untuk mencintai dan menerima cinta dalam hidup ini, yang akan selanjutnya terus membentuk pribadi kita sebagai manusia dewasa seutuhnya di dalam masyarakat. Dari seorang ibu pula kita belajar mengenal berbagai fungsi-fungsi kehidupan untuk pertama kalinya, dan belajar memahami hidup dengan segala suka dukanya.
Allah telah mempersiapkan Bunda Maria dengan penuh kecermatan, penuh cinta, bahkan sebelum Bunda Maria dilahirkan, yaitu dengan menyucikannya dari dosa asal, sebagai suatu bekal agung yang akan menyertai perjalanan hidup Putera-Nya ke dunia sebagai manusia, dan menyempurnakan misi agung-Nya sampai akhir. Dan semua rencana Allah yang luar biasa indah dan mengagumkan itu hanya mungkin terlaksana, jika sang puteri bersahaja dengan kerendahan hati tak terkira, yang telah dipersiapkan Allah itu, berkata “ya”. Karena Allah harus bekerja atas dasar kehendak bebas manusia yang dikasihi-Nya. Seluruh hidup Bunda Maria adalah sebuah jawaban “ya” kepada Allah. Jawaban yang sangat teguh, walau kadang diucapkannya di tengah keraguan, kepedihan, kebingungan, dan ketakutan. Tetapi karena iman dan kasih Maria kepada Allah, ia bertekad untuk tetap dan selalu mengatakan “Ya, Allah, aku mau, aku siap, pakailah aku”. Dan demikianlah seluruh rencana Allah bagi keselamatan alam semesta dan kebahagiaan seluruh umat manusia menjadi kenyataan. Demikianlah jawaban “ya” seorang gadis bersahaja yang penuh ketaatan membuat kita mempunyai Penebus yang begitu luar biasa indah dan agung.
Akan tetapi dengan memilih ya dan siap melahirkan dan Yesus yang memilih salib sebagai jalan hidupNya sebagai sarana penyelamatan bagi manusia berdosa, mulailah juga jalan salib Maria, sebagai ibu. Dia siap menghadapi segala risiko sebagai Bunda Allah. Dia tidak hanya merenungkan perkataan para gembala kepadanya tetapi juga apa yang sudah dinubuatkan oleh Simeon, bahwa sebilah pedang akan menembus jiwanya. Maka merayakan Hari Raya Maria Bunda Allah berarti merenungkan sampai sejauh mana Maria hidup dalam konsekuensinya sebagai Ibu Tuhan dan juga dipenuhi dengan salib-salibnya. Meskipun demikian ia tidak banyak mencampuri urusan Yesus PuteraNya, dan hanya muncul ketika dibutuhkan. Titik. Dari Kitab Suci, kita dapat menemukan sejumlah peristiwa salib bagi Maria.
Pertama, Pemberitahuan pertama tentang Kelahiran Yesus (Luk. 1:26-38). Di sini muncul sikap Maria yang amat dominan: terjadilah padakumenurut perkataanMu. Inilah ucapan Maria atas tawaran Allah bahwa ia dipilih untuk menjadi ibu Tuhan dari antara segala wanita. “Sesugguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus”. Mendengar berita yang masih kabur ini, sebagai manusia Maria keberatan juga, karena sadar bahwa ia belum bersuami. Tetapi ketika mendengarkan keterangan lanjutan dari malaekat, yang memberikan kekuatan, karena buah rahimnya adalah karunia Roh Kudus, Maria tak lagi berpikir atau berargumentasi. Ia menerima putusan Allah melalui malaekat itu. Inilah Ya – Maria, dan inilah awal jalan salibnya sebagai Bunda Allah.
Kedua, peristiwa kelahiran Yesus (Luk. 2:1-7). Ketika sedang mengandung dan akan melahirkan, mungkin sebagai calon ibu, Maria mempersiapkan segala sesuatunya untuk menantikan kelahiran PuteraNya. Ternyata, datanglah perintah Kaiser yang mewajibkan pendaftaran penduduk di daerah asalnya masing-masing. Maka bersama Yoseph, Maria yang sedang hamil tua bergegas pergi ke Betlehem. Ternyata tak ada tempat atau rumah yang pantas bagi mereka. Maka kandang binatang menjadi tempat melahirkan putraNya. Inilah penolakan yang dialami Maria dan Yosep. “Ketika mereka tiba di situ, tibalah waktu bagi Maria untuk bersalin, dan melahirkan seorang anak laki-laki yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya dalam palungan,karena tak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk. 2:6-7). Terhadap pengalaman pahit itu, Maria tidak mempersalahkan Yoseph atau Allah sendiri. Ia pasrah menerima karena itulah konsekuensinya sebagai Bunda Allah.
Ketiga, ancaman pembunuhan (Mat. 2:1-15). Ibu mana yang tak sedih atau sakit hati ketika anaknya mau dibunuh. Beruntunglah bahwa, rencana jahat Herodes untuk membunuh Kanak-kanak Yesus sudah diketahui berkat penjelasan malaekat dalam mimpi.
“Setelah orang majus itu berangkat,nampaklah malaekat Tuhan kepada Yoseph dalam mimpi dan berkata,bangunlah, ambillah anak itu serta ibunya dan berlarilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu karena Herodes, raja itu akan mencari anak itu dan membunuh Dia” (Mat.1:13). Terhadap pengalaman ini Maria diam dan menghadapinya dengan sabar dan tabah.
Keempat, Yesus pada umur 12 tahun (Luk. 2:41-52). Maria membuktikan dirinya sebagai Ibu, yang mengajarkan PuteraNya aspek hidup manusia yang mendasar, sikap iman akan Allah. Maria membina sikap hidup rohani dalam diri Yesus sejak kecil. Yesus dibiasakan hidup dalam iklim keagamaan bangsa Yahudi, yang wajib ikut ziarah Paskah ke Yerusalem. “Ketika Yesus berumur 12 tahun, pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu” (Luk. 2:42). Seusai perayaan itu, Yesus tidak menyertai mereka dalam perjalanan pulang. Ia masih berada di bait Allah bersama para alim ulama” (2:46-47).
Ketika sadar bahwa Yesus tidak bersama dalam rombongan perjalanan pulang, kembalilah mereka ke Yerusalem. Padahal mereka sudah berjalan sehari penuh. Mereka harus membuat perjalanan pulang tiga hari lagi untuk mencari Yesus. Dari sikap Maria dan Yosep, kita, khususnya pada orang tua dapat belajar suatu nilai mendasar, bagaimana menghadapi kesulitan dengan anak-anaknya. Yang dilakukan adalah kembali ke Yerusalem, di sana ada bait Allah, tempat tinggal Allah yang menaungi umatNya dengan berkatNya. Menghadapi kesulitan dengan anak-anaknya, Maria mencarinya di rumah Tuhan? Apa artinya? Tuhanlah sumber jalan keluar atas semua kesulitan hidup. Kembali ke sikap Maria tadi, ketika menemui Yesus, harus menerima jawaban yang menjengkelkan sebagai manusia. “Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk. 2: 45-52).
Kelima, Yesus pada pesta Nikah di Kana (Yoh. 2:1-11). Yesus dan para muridNya diundang dan hadir dalam pesta nikah di Kana. Inilah wujud penghargaanNya terhadap martabat Sakramen Perkawinan. Maria hadir juga dan membuktikan solidaritas dan kepekaan yang mendalam.
“Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: Mereka kehabisan anggur. Kata Yesus kepadanya: Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba. Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!.
Terhadap permintaanNya Yesus seakan menolak, dan mungkin mendatangkan kekecewaan. Tetapi Maria yakin kepada anakNya dan inilah mujizat awal terjadi. Maria tabah dan selalu hadir sebagai penolong dalam setiap kesulitan. Per Mariam ad Jesum, per Jesum ad Patrem.
Keenam, Yesus dan sanak-saudaraNya (Mat. 12:46-50). Maria menerima semacam penolakan atau tiadanya pengakuan Yesus atas dirinya di tengah kesibukan dan popularitas dirinya. “Ketika Yesus masih berbicara dengan orang banyak itu, ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya berdiri di luar dan berusaha menemui Dia. Maka seorang berkata kepada-Nya: Lihatlah, ibu-Mu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan berusaha menemui Engkau. Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku? Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.
Terhadap jawaban Yesus Maria mungkin sedih. Tetapi Yesus hendak melampaui persaudaraan fisik-biologis kepada suatu persaudaraan mondial dan universal, karena cara hidup. Persaudaraan anak-anak Allah dan sanak-saudariNya karena mendengar dan melakukan kehendak Bapa, seperti teladanNya sendiri.
Ketujuh, Maria di kaki Salib. Inilah puncak jalan salib Maria.
Maria harus rela menerima puteraNya secara tak bernyawa dan dihukum mati di salib sebagai penjahat. Sebelumnya, Maria hadir sejenak di jalan salib PuteraNya dan memberikan kekuatan kepadaNya dan di akhir jalan SalibNya, Maria menjumpai PuteraNya dalam keadaan tak bernyawa. Inilah puncak kata-kata Simeon. Pedang yang menembus jiwanya sendiri. Semua pengalaman Maria berhadapan dengan PuteraNya di hadapi sama seperti peristiwa salibnya yang pertama: Maria menyimpan semua perkara itu dan merenungkan dalam hatinya.
Inilah perjalanan hidup Maria sebagai Bunda Allah. Dan merayakan Hari Raya Maria Bunda Allah berarti belajar dari Maria, bagaimana menjadi murid Yesus di tengah semua salib hidup kita. Merayakan hari Raya ini bertepatan dengan pesta Tahun Baru, Hari Perdamaian sedunia. Semangat baru inilah yang harus dihidupi selama tahun baru untuk melanjutkan hidup sebagai Putra-putri Maria dan saudara-saudari Yesus. Dan semoga dengan doa dan penyertaan Bunda Maria, segala usaha menciptakan perdamaian dunia terwujud. Selamat Hari Raya Maria Bunda Allah. Selamat Tahun Baru.