Selain Tutup Jalan Masuk Ke Pantai Wisata, PT Bo’a Development Juga Diduga Pakai Kayu Mangrove Buat Pagar Hotel

  • Whatsapp
banner 468x60

PORTALNTT.COM, ROTE NDAO – Suatu kondisi yang memilukan bagi masyarakat di Desa Bo’a, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao yang kebanyakan berprofesi sebagai Nelayan dan Petani Rumput Laut, kini kesulitan untuk mengakses ke pesisir pantai Bo’a.

Hal tersebut lantaran ada penutupan jalan menuju pantai Bo’a, yang dilakukan secara sepihak oleh pihak PT. Bo’a Development yang sementara tengah membangun Hotel dan Penginapan di pesisir pantai Bo’a.

Masyarakat setempat mengaku heran dan kecewa karna sesungguhnya tanah yang di kuasai oleh PT. Bo’a Development tersebut adalah milik masyarakat yang sebelumnya di hibahkan ke Pemerintah untuk dijadikan aset daerah agar bisa berdampak positif bagi masyarakat luas, terkhususnya masyarakat di Desa Bo’a.

Walau demikian, masyarakat juga heran dan bingung, bagaimana bisa tanah yang mereka hibahkan ke Pemerintah malah kini di kuasai oleh pihak swasta, yakni PT Bo’a Development.

Salah seorang warga setempat yang merupakan salah satu orang yang turut menghibahkan tanahnya kepada Pemerintah menjelaskan bahwa dirinya bersama 4 orang warga lainnya menghibahkan tanah mereka kepada Pemerintah sejak daerah Rote Ndao belum berdiri sebagai kabupaten.

“Waktu itu Rote belum jadi kabupaten, masih bagian dari kabupaten Kupang. Kami ada 5 orang yang hibahkan tanah ke Pemerintah untuk pembangunan daerah. sebelum hibah, di atas tanah sudah ada jalan menuju pantai. Jalan itu dibangun oleh pemerintah sejak Tahun 1997 dan kami masyarakat semua turut swadaya ikut kerja bangun jalan itu,” jelas seorang Warga Desa Bo’a yang juga turut menghibahkan tanahnya pada Pemerintah.

“Kami hibah tanah kepada pemerintah, kenapa sekarang tanah di kuasai pihak swasta lalu larang kami tidak boleh masuk pantai lewat jalan yang dibangun pemerintah di atas tanah itu,” lanjut warga Desa Bo’a, menjelaskan.

Warga juga menjelaskan bahwa pada sekitar tahun 2018 lalu, Pemda Rote Ndao juga sempat memperbaiki jalan masuk ke pantai Bo’a yang sebelumnya jalan perkerasan, di perbaiki jadi jalan lapen. Tetapi mirisnya setelah perbaikan jalan, malah pihak PT. Bo’a Development menutup jalan tersebut hingga warga setempat kesulitan akses masuk ke pesisir pantai untuk mencari nafkah.

Sangat disayangkan, tindakan yang dilakukan pihak PT. Bo’a Development sesungguhnya telah merugikan masyarakat setempat, juga merugikan masyarakat Rote Ndao secara umum. Pasalnya pesona wisata bahari di pantai Bo’a yang sangat menawan dengan ombak yang memukau itu tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas, melainkan dikuasai oleh pihak swasta.

Awak media ini berusaha mewawancarai pihak PT. Bo’a Development, Pada Rabu (12/2/2025), namun manajer maupun direktur dari PT. Bo’a Development tidak berada di lokasi tersebut, sedang keluar daerah.

Sementara itu, hanya ada seorang wanita bernama Jojor yang mengaku sebagai perwakilan dari Manajemen Nihi Rote yang bertanggungjawab terhadap segala pembangunan properti dilokasi tersebut.

Saat di tanyai media ini terkait penutupan akses jalan masuk ke Pantai Bo’a, Jojor yang adalah Manajer Nihi Rote menjelaskan bahwa pihaknya sama sekali tidak mengurusi segala hal di luar dari pembangunan properti dari PT. Bo’a Development.

“PT. Bo’a yang mengetahui semua urusan operasional disini, saya cuman manajemen dari Nihi yang nanti kedepannya mengoperasikan ke Tamu. Kalo dari segi aset dan pertanahan tidak ada hubungannya dengan pihak Nihi. Semua aset disini milik PT. Bo’a,” jelas Jojor, manajemen Nihi.

Lebih lanjut, Johor menjelaskan bahwa pihak Nihi Rote hanya bekerja sama dengan PT. Bo’a Development dalam hal manajemen dan pengoperasian Hotel yang sementara dibangun itu.

Fakta yang lebih miris lagi, adalah pihak PT. Bo’a Development diduga kuat menggunakan kayu bakau/mangrove dalam membuat pagar disekitar properti yang sementara dibangun oleh mereka di lokasi tersebut.

Hal tersebut terkuak saat media ini meninjau langsung lokasi jalan yang ditutup oleh PT. Bo’a Development itu, terlihat pagar yang dibangun mereka diduga kuat menggunakan kayu bakau atau pohon mangrove yang adalah salah satu jenis flora yang dilindungi dan tidak boleh ditebang atau digunakan secara bebas karna telah dilarang oleh aturan hukum yang berlaku.

Seperti diketahui bahwa larangan penggunaan kayu dari pohon bakau/mangrove telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, termasuk juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM).

Keseluruhan aturan tersebut merupakan turunan dari Dasar hukum di Indonesia, yakni Undang-undang Dasar Tahun 1945, tepatnya pada Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dimana makna dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu adalah posisi rakyat adalah yang utama, oleh karenanya kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan perorangan.

Di Rote Ndao sendiri sudah sering terjadi kasus penebangan pohon bakau/mangrove secara liar, seperti yang terjadi pada tahun 2019 lalu di Desa Oetefu dan Desa Oebou, hingga para pelakunya telah ditangkap dan diadili. Termasuk pada tahun 2024 lalu pun Polres Rote Ndao mengamankan sekitar 296 batang pohon mangrove hasil pembalakan liar oleh oknum yang belum diketahui pasti, di Kawasan Hutang Lindung Mangrove Laudanon, Desa Oebela, Kecamatan Loaholu, Kabupaten Rote Ndao.

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60