PORTALNTT.COM, JAKARTA – Sindiran Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang terhadap anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng yang kembali mangkir dari panggilan penyidik KPK pada hari Jumat (6/12/2019), dengan menyebut bahwa sebagai negarawan seharusnya Melchias Markus Mekeng bisa memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus korupsi pengurusan terminasi kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian ESDM, adalah merupakan sindiran yang menurut kami bisa serupa dengan peribahasa “Buruk muka cermin dibelah”, yang artinya seseorang yang menyalahkan buruknya keadaan dirinya kepada orang lain, padahal kesalahan dirinyalah yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut.
Sebelum membuat pernyataan ke publik yang menyindir seseorang maka Saut Situmorang selaku pimpinan KPK semestinya mencermati dan kembali bercermin tentang sepak terjang lembaga KPK selama ini yang minim prestasi serta cenderung tebang pilih atau diskriminatif dalam upaya pemberantasan korupsi dan bahkan terdapat dugaan yang sangat kuat bahwasanya Ketua KPK Agus Rahardjo diketahui telah melakukan indikasi-indikasi pelanggaran etika selalu pimpinan KPK berupa melakukan pertemuan secara diam-diam dengan pihak-pihak yang sedang berperkara atau sedang dalam proses penyidikan oleh KPK.
Menurut data yang kami miliki, Ketua KPK Agus Rahardjo telah dilaporkan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman ke Direktorat Pengawasan Internal KPK pada tanggal 5 Oktober 2018 atas dugaan pelanggaran etika
karena diduga melakukan pertemuan secara diam-diam dengan pihak-pihak yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, dimana terungkap fakta adanya pertemuan yang dihadiri oleh Ketua KPK Agus Rahardjo di sebuah rumah di Jalan Raya Bina Marga, Jakarta Timur pada tanggal 31 Juli 2018 sekitar pukul 20.00 WIB.
Dan disitu Ketua KPK Agus Rahardjo bertemu dengan Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar, dan pimpinan anak perusahaan BUMN, padahal kita ketahui bersama bahwasanya pada saat itu KPK tengah melakukan penyelidikan dan penyidikan atas perkara dugaan korupsi terkait Divestasi Saham Newmont dan Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) bahkan sempat dimintai keterangan oleh tim penyelidik KPK pada bulan Mei 2018.
Sementara Bahrullah Akbar selaku Wakil Ketua BPK pada saat itu merupakan saksi kasus suap Dana Perimbangan Keuangan Daerah pada RABPN Perubahan 2018 dimana Bahrullah Akbar pernah dijadwalkan diperiksa oleh KPK pada bulan Agustus 2018.
Ketua KPK Agus Rahardjo diduga tidak memberitahu kepada pimpinan KPK yang lain terkait rencana pertemuan tersebut dan juga tidak mengajak saksi dari KPK, baik pimpinan, staf maupun anggota KPK untuk mengikuti pertemuan serta yang cukup fatal Ketua KPK Agus Rahardjo tidak melaporkan hasil pertemuan itu kepada pimpinan KPK lainnya.
Dengan adanya fakta-fakta laporan dugaan pelanggaran etika oleh Ketua KPK Agus Rahardjo sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, maka bukan tidak mungkin bahwa selama ini proses penyelidikan dan penyidikan oleh KPK berupa tindakan penyadapan, pencekalan, pemanggilan selaku saksi dan lain sebagainya diduga kuat bisa saja merupakan upaya untuk menjalankan pesan sponsor atau hanya atas dasar kepentingan politik sesaat guna menjungkalkan karir politik seseorang yang ujung-ujungnya bukanlah demi suatu tujuan luhur penegakan hukum namun demi mendapatkan keuntungan finansial bagi oknum-oknum pimpinan KPK.
Superioritas hukum yang dimiliki oleh lembaga sekelas KPK seharusnya tidak pernah boleh takluk di bawah kepentingan apa pun selain kepentingan luhur penegakan hukum itu sendiri berupa pencapaian keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan cita-cita hukum.
Superioritas penegakan hukum oleh KPK membutuhkan keberadaan pimpinan KPK yang punya sikap kenegarawanan sehingga segenap kewenangan luar biasa yang dijalankannya bisa membuat proses hukum diberlakukan secara tegas dan berkeadilan untuk membuat hukum dapat dipercaya atau memiliki kredibilitas bagi semua pihak di negeri ini.
Lembaga KPK selaku aparatur penegakan hukum harus diisi oleh figur-figur yang memiliki etika, bermoral dan berintegritas tinggi sebab tanpa keberadaan figur-figur yang memiliki etika, bermoral, dan berintegritas tinggi maka penegakan hukum oleh KPK sama sekali tidak memiliki nilai karena dipastikan tidak mampu memberi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak.
Kalau ada oknum pimpinan KPK yang diduga kuat melakukan pertemuan secara rahasia dengan pihak-pihak yang sedang berurusan dengan perkara korupsi yang sedang diperiksa oleh KPK maka sangat wajar apabila publik mensinyalir bahwa penegakan hukum oleh KPK selama ini terindikasi diperjualbelikan dan takluk terhadap kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi.
Kalau penegakan hukum oleh KPK telah terindikasi oleh sinyalemen-sinyalemen penyalahgunaan hukum bagi tujuan-tujuan penegakan hukum yang menyesatkan maka sangat wajar apabila lembaga KPK menjadi tidak dipercaya dan dihargai oleh semua pihak selaku pencari keadilan.
Dengan demikian sebelum pimpinan KPK membuat pernyataan-pernyataan ke publik yang menyindir anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng selaku saksi dalam penyidikan kasus korupsi pengurusan terminasi kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian ESDM, maka alangkah elegannya apabila pimpinan KPK melakukan introspeksi diri terhadap keberadaan lembaga KPK yang minus prestasi pemberantasan korupsi serta bahkan salah satu oknum pimpinan KPK diduga kuat belum memiliki integritas yang tinggi dan tidak bekerja secara profesional menurut kode etik aparat penegak hukum.
Oleh karena itu sangat wajar apabila banyak saksi dalam perkara korupsi selalu mangkir dari panggilan KPK tentu saja salah satunya diakibatkan oleh keberadaan oknum pimpinan KPK yang diduga kuat telah tidak memiliki kredibilitas dan etika yang mumpuni dalam menjalankan tugasnya selaku pimpinan KPK. (MERIDIAN DEWANTA DADO, SH – ADVOKAT PERADI / KOORDINATOR TIM PEMBELA DEMOKRASI INDONESIA WILAYAH NTT / TPDI-NTT)