PORTALNTT.COM – Persaingan perekonomian di media massa semakin ketat, ditunjukkan dengan adanya media online dan media sosial yang telah mengubah gaya hidup masyarakat dalam memperoleh berita dan hiburan. Hal inilah yang menggerus ketertarikan masyarakat untuk terhadap konsumsi media konvensional, salah satunya radio. Radio adalah salah satu media konvensional yang tertua di dunia dan bersifat auditif atau dikonsumsi dengan menggunakan telinga atau pendengaran. Menurut Theo Stokkink, The Professional Radio Presenter (1997) dalam Julheri (2019), radio adalah media yang buta, maka pendengarnya mencoba untuk mengevaluasi apa yang didengar dan memvisualisasikan apa yang didengar, kemudian menciptakan bayangan sendiri terhadap pemilik suara penyiar. Banyaknya opini yang mengatakan radio tidak dapat bertahan di tengah persaingan media massa, terutama media online
Namun, Nielsen pernah merilis laporan press release yang berjudul Radio Masih Memiliki Tempat di Hati Pendengarnya pada tahun 2016. Walaupun internet tumbuh meningkat yakni penetrasinya 40%, radio mencapai penetrasi sebesar 38%. Angka ini menunjukkan radio masih di hati para pendengar yang mana menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari. Sepanjang tahun 2016 hingga 2018, penetrasi radio turun menjadi 34,3% dan kemudian meningkat pada tahun 2019 menjadi 36,3%. (Wan Ulfa, 2019)
Walaupun kini telah muncul Podcast yang digemari oleh kalangan Generasi Z, radio masih memiliki tempat di hati pendengarnya. Dikarenakan radio mampu menyediakan momen dan interaktivitas antara penyiar dan pendengar. Namun hal ini tidak mengatakan bahwa radio di posisi aman sebagai media tertua, maka radio harus memastikan dapat menjadi media yang masih relevan dan mampu menarik perhatian para pendengar. Berdasarkan teori, menurut Ks (2009) terdapat tiga jenis radio yakni radio publik, negara dan komersial yang mana memiliki perbedaan dalam fungsi dan tujuan untuk mempengaruhi ekonomi media:
a. Radio negara
Radio yang dimiliki oleh negara yang bertujuan untuk politik dan propaganda. Umumnya ditemui di negara yang komunis dan otoriter. Seluruh biaya operasionalnya berasal dari negara dan tidak mencari keuntungan. Dulu pada zaman order baru, RRI termasuk dalam radio negara. Selain itu terdapat radio dinas-dinas terkait di daerah yang ditujukan untuk pemerintah daerah tersebut.
b. Radio publik
Radio yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi, pendidikan dan hiburan. Biaya operasionalnya berasal dari pajak warga negara dan subsidi pemerintah dan tidak mencari keuntungan, contohnya RRI.
c. Radio komersial
Radio swasta ini bertujuan untuk kepentingan mencari keuntungan melalui iklan, sponsor dan biaya operasional dari radio ini berasal dari pengusaha swasta atau pemiliki radio tersebut. Seperti contoh Prambos, Geronimo dan lain sebagainya.
Selama 75 tahun Radio Republik Indonesia telah menemani masyarakat Indonesia dengan siarannya yang melewati tiga zaman yakni Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Oleh karena itu, RRI menjadi radio tertua dan hingga kini tetap bertahan di Indonesia. RRI sebagai media pemersatu bangsa dan menjadi representasi kekokohan bangsa Indonesia dengan slogan “Sekali di udara, tetap di urdara”. Walaupun diterpa dengan kondisi persaingan media massa, RRI sebagai radio publik mampu bertahan sebagai media tertua di Indonesia.
Kini RRI bersiaran di 97 stasiun radio dan Programa 3 memiliki 222 jaringan. Hal ini tidak dapat dikatakan menjadi perubahan yang terbesar. Dikarenakan perubahan terbesar terjadi di era digital ini, yang mana RRI harus beradaptasi dengan persaingan media massa yang serba menggunakan internet. Kini RRI pun memiliki portal online yakni rri.co.id, RRI 30 Detik (RRO30”) yang mana termasuk Be Young, aplikasi resmi RRI Play dan RRI NET yang merupakan penggabungan siaran radio yang divisualkan (Prabawati, 2018).
Beberapa perubahan tersebut dapat dikatakan pelengkap bagi RRI. Seperti RRI NET sebagai radio yang divisualkan, tidak hanya membuat televisi namun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan publik tanpa memiliki niat untuk menyaingi pertelevisian di Indonesia. RRI NET pun dapat diakses dengan cara mengakses RRI Play dan rri.co.id dengan cara mengklik konten tertentu. Media baru yang diciptakan RRI dikarenakan sadar tidak dapat mengelak perubahan teknologi yang semakin pesat yang mana dapat mempengaruhi perilaku pendengar setia siaran.
Anggaran yang diperoleh dari negara pun tidak dijadikan alasan untuk tidak bertahan. Hal ini dikarenakan RRI mampu membuktikan dapat membiayai 87 stasiun penyiaran dan 231 radio di Indonesia dengan alokasi dana APBN sebesar Rp. 900 miliar. Untuk mengurangi biaya produksi, RRI pun mengatasinya dengan adanya aplikasi RRI Play yang dapat diunduh oleh pengguna melalui Appstore atau Playstore. RRI Play menyediakan 160 saluran dari Sabang hingga Merauke dan juga menyediakan saluran khusus untuk musik klasik dan channel 5 dikhususkan untuk menggaet anak muda. Direktur Utama LPP RRI, Rosarita Niken Widiastuti, di tengah persaingan media-media baru, RRI mampu bertahan dikarenakan pendengar radio tersebut tidak hanya berada di kota-kota besar yang memiliki banyak akses informasi dan pilihan acara. Di daerah, RRI masih menjadi media rujukan dan media utama yang dipercaya masyarakat Selain itu, RRI juga menawarkan konten acara yang lekat dengan kebudayaan, kearifan lokal dan pendidikan. Oleh karena itu, RRI mampu dikatakan sebagai media tertua dan cukup berhasil menarik perhatian anak muda. (Tabieta, 2014).
Jika RRI dapat lebih berinovasi dan memaksimalkan dalam penggunaan media sosial seperti Facebook, Podcast, dan sebagainya, sebagai media penyampaian informasi, hiburan maupun marketing, tanpa meninggalkan identitasnya. Dan adanya program penggunaan bahasa asing, yang mana dapat menggaet turis asing yang berada di Indonesia untuk menyampaikan informasi terkhususnya mempromosikan pariwisata di Indonesia. Sehingga RRI tetap menjaga eksistensinya sebagai media tertua di Indonesia.
Stephanie Bella Saputri, Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta