PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Sungguh menyedihkan kehidupan Nenek Siti Abdulah (76) seorang janda miskin warga RT 16 RW 06 Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, yang harus bertahan hidup di tengah kehidupan Kota Kupang yang dijuluki Kota Kasih, ibu kota Nusa Tenggara Timur (NTT).
Terhimpit kehidupan ekonomi di jantung kota, nenek Siti Abdulah harus tetap bertahan hidup di sebuah rumah tua, yang atapnya kini telah berlubang. Tiang-tiang kayunya pun telah lapuk termakan usia. Sementara dinding rumah yang terbuat dari pelepah pohon enau pun mulai roboh di beberapa bagian, sehingga karung bekas menjadi pelindung untuk menutup diri dari teriknya udara Kota karang di siang hari.
Ternyata rumah tua itu rupanya bantuan pemerintah sekitar tahun 1975 oleh seorang kepala desa kala itu, Paulus Suek. Pasalnya rumah nenek Siti dan suaminya ketika itu yang beratapkan daun terkena musibah kebakaran.
Semenjak ditinggal suami tercinta, nenek Siti Abdulah harus hidup sebagai seorang perempuan tangguh yang mau tidak mau harus memikul tanggungjawab menghidupi ketiga orang anaknya, buah hatinya bersama almarhum suaminya.
Karena tidak memiliki keahlian apapun, nenek Siti Abdulah harus rela menjadi tukang cuci dan setrika di rumah-rumah tetangga yang peduli akan kehidupannya.
Penghasilan sebagai seorang tukang cuci dan setrika memang tidak seberapa, apalagi uang hasil keringatnya untuk menghidupi mereka dan nenek Siti harus berupaya menyekolahkan ketiga anaknya. Dengan susah payah semua itu nenek Siti jalani tanpa pernah mengenal lelah.
Waktu terus berlalu, kini nenek Siti yang dulu kuat dan tegar sudah mulai tua rentah. Semangat dan tenaga yang dulu begitu perkasa kini mulai menurun, jalannya saja sudah mulai lambat dan kaku.
Tapi nenek siti tak pernah menyerah dengan keadaan. Saat ini dengan tenaga yang tersisa, ia tetap setia hidup bersama kedua anak perempuannya dan menjaga ketiga cucu kembar dari anak laki-laki bungsunya.
Rumah tua tempatnya berlindung saat ini sudah sangat memprihatinkan. Ketika hujan tiba, nenek Siti dan anaknya harus bekerja keras untuk menutup lubang-lubang seng yang berlubang.
Di salah satu sudut, terdapat sebuah ember bak yang digunakan untuk menampung air hujan agar tidak jatuh ke lantai dan membasahi lantai itu karena di lantai itulah ia harus membaringkan diri untuk tidur di atas kasur kapok yang sangat lusuh.
Pada dinding rumah tepat di bawah lubang ember bak yang digunakan untuk menampung air ada sebuah poster Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore dan istrinya yang kala itu masih sebagai Calon anggota DPD RI.
Nenek Siti menyadari bahwa kehidupannya memang sangat miskin dan susah namun ia tidak pernah meminta-minta agar bertahan hidup. Ia selalu yakin bahwa Tuhan itu sangat baik dan akan menolongnya.
Sebagai janda miskin, saat ini nenek Siti tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Beras raskin yang selalu diberikan pun sudah dua tahun lebih tak pernah lagi didapatkannya, entah alasan apa mereka pun tak tahu.
Untuk bertahan hidup nenek Siti harus mengantung hidup pada anak sulungnya Fatima Abdulah yang juga saat ini seorang janda empat anak.
Saat ditemui media ini, Fatima Abdulah (48) baru saja mengamankan sebuah toples kecil berisi kue yang dijualnya di depan rumah mereka, namun tidak laku terjual. Kebetulan rumah mereka berada di pinggir jalan raya. Rejeki mereka tergantung dari para pengendara yang lewat maupun para pejalan kaki yang melewati rumahnya.
“Beta (Saya,Red) tiap hari usaha jual kue dan buat keripik lalu titip di kios milik adik di depan. Kalau laku terjual semua maka beta bisa dapat untung sekitar Rp 30.000. Kalau sonde (tidak,Red) laku seperti hari ini beta bagi kasi anak-anak yang sering main di sekitar rumah daripada rusak begitu saja,” kata Fatima pada PortalNTT, Kamis (13/2/2020).
Fatima mengaku kalau semua bahannya untuk membuat kue itu didapatkan dari ketua RT 16 yang punya usaha kios, sehingga ia diberikan bahan-bahan (terigu, minyak goreng dan gula).
“Bahan itu semua diberikan oleh Ma Sia (ketua RT) untuk pakai dulu baru bayar. kalau sudah laku semua baru beta bayar. Dan beta hutang lagi. Jadi begitu terus. Keuntungan yang didapat bisa pakai beli beras untuk kami makan,” ungkap Fatima.
Ditanya tentang bantuan pemerintah, Fatima mengaku rumahnya selalu menjadi obyek bagi para petugas baik dari kelurahan maupun dinas sosial untuk dijadikan sampel, potret kemiskinan. Namun bantuan yang dijanjikan hanya jadi kenangan yang tak pernah dirasakan.
“Sudah berulang kali petugas datang keluar masuk ini rumah dan foto semua bagian. Mereka janji nanti akan dapat bantuan bedah rumah tapi sampai detik ini, bisa lihat seperti apa rumah kami,” kata Fatima dengan wajah berkaca-kaca seolah menahan kepedihan yang tak pernah usai.
“Ada juga anggota DPRD yang saat mau pemilihan mereka datang tapi setelah itu jadi sonde pernah datang lagi. Beta sebagai orang miskin juga sonde memaksa mau diberikan bantuan atau tidak karena itu hak mereka. Beta tiap hari hanya berdoa semoga Tuhan mengirimkan orang baik untuk bisa menolong kami, cukup bedah rumah kami saja,” tambah Fatima yang sudah mulai sakit-sakitan dengan penuh harapnya.
Menurut Fatima sekitar 1 tahun lalu ada petugas yang mendata rumah mereka untuk mendapatkan bantuan bedah rumah.
“Kami tunggu tapi tidak pernah ada. Justru ada tetangga kami yang baru saja berumah tangga dan numpang di tanah milik orang mereka yang dapat bantuan bedah rumah,” ungkap Fatima dengan kesal namun tak berdaya.
Meskipun hidup dalam serba keterbatasan Fatima mengaku ia tidak pernah putus asa dan tetap berusah sebisa mungkin untuk menyekolahkan anaknya.
“Yang bungsu sekarang sudah SMA. Saat ini dia tinggal di pesantren di Malang,” katanya.
Sungguh menyedihkan apa yang dialami Fatima dan ibunya. Janda menghidupi janda di tengah Kehidupan Kota yang selalu butuh uang. Dibalik penderitaan yang dialami mereka tetap tegar menghadapi kerasnya hidup.
Semoga saja suatu saat nanti, ada tangan-tangan penuh kasih yang mau memberikan pertolongan kepada dua janda miskin ini. (Jefri Tapobali)