(Suatu sumbangan pemikiran menurut pandangan Kristiani)
Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, SMK Negeri 5 Manado
Pendahuluan
Dewasa ini masyarakat kita masih menghadapi masalah yang memprihatinkan terutama mengenai hidup dalam keberagaman. Isu pluralisme agama masih terus dikumandangkan karena masih sering terjadi ketegangan, konflik sosial berlatar belakang emosi dan sentimen priomordialisme agama, meski tidak sederas periode sebelumnya.
Namun hal ini tetap merupakan keprihatianan bersama. Di tengah berbagai keprihatinan itu, masyarakat kita dihentakkan dengan ancaman badai Virus corona 19. Apa yang bisa diharapkan dari agama-agama dalam situasi ini? Pluralisme dan spiritualitas kiranya menjadi dasar untuk membangun solidaritas di tengah badai virus covid 19.
Spiritualitas pada hakekatnya merujuk pada cara hidup dan cara kerja tertentu. Spiritualitas yang hendak dijelaskan di sini adalah menurut pandangan kristen. Spiritualitas kristen merupakan cara hidup (being) dan cara kerja (doing) yang berpola pada pola hidup, karya dan ajaran Yesus, yang dijiwai dan digerakkan oleh Roh Kudus dan dihayati secara personal dalam konteks tertentu lewat bentuk-bentuk yang khas dan unik agar makin hari makin bersatu dengan Allah sendiri.
Pluralisme berarti mengakui kemajemukan (pluralitas). Dalam konteks hubungan antar agama, dalam konteks bangsa kita, pluralisme lebih dapat diterima dibandingkan dengan ekslusivismme dan inklusivisme. Pluralisme agama adalah keyakinan bahwa semua agama mempuyai legitimasi yang setara dan bahwa tak satu pun agama bisa mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran dan keselamatan mutlak. Karena itu dialog, kerja sama dalam suasana persaudaraan harus menjadi ciri khas dari pluralisme. Dari ketiga model di atas, pluralisme religius dianggap sebagai yang paling positif, karena menganut prinsip kesetaraan (equality) yang sejalan dengan semangat perabadan zaman ini.
Pluralisme lalu diperluas kini menjadi multikulturalisme. Multikultural berarti bersikap terbuka untuk mengenal, menggakui, menghormati dan menilai secara positif perbedaan-perbedaan dengan cara menggalang semangat saling percaya, bekerja sama, meningkatkan intesitas komunikasi, dan terus menaruh kepedulian pada kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Kehidupan bersama dalam masyarakat harus menjadi tanggung jawab bersama, karena perbedaan-perbedaan dihormati dan dirawat bersama sehingga menjadi kekayaan dimana setiap orang merasa dirinya dihargai dan setiap potensi atau sumber daya yang dimiliki warga masyarakat bisa diaktualisasi secara penuh, bermanfaat, dan bisa dibanggakan. Bagaimana kita membangunnya akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Situasi Masyarakat Aktual: Budaya Kematian Vs Budaya Cinta
Setiap spiritualitas selalu menjadi anak dari sebuah zaman. Maksudnya cara hidup (being) dan cara kerja (doing) bagi orang kristen merupakan suatu produk dari konteks masyarakat tertentu (waktu dan tempat). Spiritualitas lalu menjadi jawaban iman atas situasi masyarakat konkret dan aktual, sekaligus menjadi kritik dan fungsi kenabian terhadap situasi masyarakatnya. Konteks masyarakat kita mempengaruhi cara hidup dan cara kerja kita orang kristen. Sebaliknya juga cara hidup dan cara kerja kita sebagai orang kristen turut mempengaruhi situasi masyarakat kita. Manakah situasi aktual masyarakat kita dewasa ini?
Pertama, budaya kematian. Dalam masyarakat kita masih ada tanda-tanda budaya kematian dan kekerasan. Kita masih sering membaca atau menyaksikan budaya kematian yang menggejala dalam bentuk-bentuk kekerasan: pembunuhan, pembakaran fasilitas umum, pemerkosaan dalam berbagai bentuk. Gejala ini menyebabkan orang hidup dalam ketakutan, saling curiga, tidak percaya satu sama lain dan terutama merasa tidak aman.
Akar terdalam dari tumbuhnya budaya kematian adalah the will to power (Alfred Adler) karena orientasi hidup perfokus pada hasrat untuk memiliki harta, kuasa dan posisi, prestise atau popularitas (Eric Fromm). Yesus menyebut budaya kematian sebagai kuasa mamon. Ciri-ciri budaya kematian akibat kuasa mamon ini adalah membenci atau membunuh kehidupan, mematikan manusia, menolak persaudaraan dan menyangkal pluralisme. Pembakaran rumah ibadat atau faslitas umum (kantor pemerintahan, pos keamanan, pos penyekatan dan lain-lain, di samping menjadi ekspresi budaya kematian serentak menjadi kritik atas agama dan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Kedua, situasi masyarakat yang kian mengancam: Virus Corona 19. Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau Covid 19 tiba-tiba menjadi hantu dan teror bagi umat manusia memasuki tahun kedua: berpotensi menyerang siapa saja lansia (usia lanjut), orang dewasa, anak-anak, dan bayi, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui. Banyak korban berjatuhan: para dokter dan tenaga medis, relawan dan ribuan anggota keluarga telah menjadi korban. Meski berbagai upaya vaksinasi sedang dijalankan, korban terus berjatuhan dan ancamannya makin menggila. Di samping menjadi pandemi yang mengancam umat manusia dan dunia, ia serentak menjadi kritik atas pola kehidupan masyarakat pra-covid 19. Pola hidup manusia sebelum covid 19 adalah pola hidup yang menekankan logika keuntungan ekonomi, perilaku konsumeristis, model sikap hidup tamak, rakus dan serakah, eksploitasi sewenang-wenang atas alam karena dilihat sebagai obyek semata, dan sikap individualistis dan acuh tak acuh pada alam dan sesama.
Meskipun kita gelisah di tengah aneka keprihatinan, kita tetap bergembira juga karena dalam masyarakat yang sama tetap tumbuh tanda-tanda budaya cinta. Budaya cinta ini menggejala dalam berbagai bentuk tanda kasih seperti dialog, perundingan damai, pengampunan dan berbagai wujud kegiatan amal kasih, serta berbagai gerakan relawan, yang masih memberi rasa aman dan damai, ada harapan dan saling percaya dan saling menerima meski tetap hidup dalam aneka perbedaan. Berbagai bentuk budaya cinta ini sebenarnya adalah hasil dari dorongan Roh.
Akar terdalam dari budaya cinta adalah the will to meaning, suatu hasrat universal untuk membangun suatu hidup yang bermakna dan berorientasi pada pengakuan dan penghargaan terhadap kehidupan, being, jauh melampaui having akan harta, kuasa dan popularitas. Ciri dari budaya cinta adalah menghargai dan membela kehidupan, mendukung persaudaraan, mengakui pluralitas dan keberagaman. Dalam tradisi kristen, cara hidup dan kerja yang menghargai keidupan, persaudaraan dan pluralitas ini diyakini sebagai hasil karya Roh, yang mendorong
Dasar Spiritualitas Kristen: Cara Hidup dan karya Yesus
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Redemptoris Missio art. 18 menulis bahwa Injil bukanlah sesuatu melainkan seseorang yang punya wajah dan nama yang jelas: Yesus dari Nasareth. Yesus inilah berkeliling dari desa ke desa dan dari kota ke kota mewartakan Injil Kerajaan Allah. Kerajaan Allah menjadi proyek Allah dalam Yesus. Pewartaaan tentang Kerajaan Allah itulah sekarang dilanjutkan oleh Gereja. Maka sebagai Gereja kita perlu belajar dari pribadi Yesus. Yesus mewartakan Kerajaan Allah melalui sabda dan ajaranNya yang sebagian besar disampaikan melalui perumpamaan, dan melakukanNya sendiri melalui sikap dan perbuatanNya, terutama melalui mujisat. Maka kita perlu belajar bagaimana cara hidup dan karya Yesus itu di tengah konteks masyarakatnya.
Sebelum tampil ke hadapan umum untuk berkarya mewartakan Kerajaan Allah itu, Yesus selama kurang lebih 30 tahun hidup dan bergaul dengan masyarakat setempat sambil membuka mata dan telinganya untuk mencermati situasi masyarakat. Dengan hatiNya yang penuh belas kasihan Ia ikut merasakan apa yang dialami manusia zamannya dan memberikan solusi real melalui suatu visi dan cita-cita tentang masyarakat baru. Ia memprotes berbagai situasi sosial yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat kecil. Dari keyakinan inilah timbul suatu visi baru tentang Kerajaan Allah. Di dalamnya Allah sendiri menjadi raja dan semua manusia siapapun dia hidup bersama sebagai saudara. Dan untuk mewujudkan visi baru itu, Ia sendiri memilih pengorbanan diri sebagai wujud pelayanan konkret yang total dan tanpa batas. Itulah yang kiranya menjadi model hidup dan karya Gereja sepanjang zaman, atas dasar tergerak hati oleh belas kasihan.
Upaya Membangun Pluralisme: Mencari titik temu
Masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat majemuk dalam berbagai aspeknya termasuk agama. Hidup bersama sebagai bangsa di tengah masyarakat majemuk tidak gampang. Setiap agama memiliki ciri khasnya masing-masing, termasuk visinya tentang manusia dan dunia. Maka mencari titik temu yang sama yang mempersatukan kiranya menjadi jalan untuk membangun kebersamaan hidup dalam masyarakat majemuk. Mencari titik temu yang mempersatukan tidak dimaksudkan menyamaratakan semua agama dan takluk di bawah suatu iman dan sistem ajaran yang sama. Ini pasti tidak mungkin. Tetapi bahwa dalam setiap agama ada unsur-unsur yang merupakan ekspresi dari setiap kerinduan rohani manusia dalam tiap arus perubahan zaman, mungkin mempersatukan kita dan membantu kita membangun solidaritas dan kerukunan, toleransi dan kepekaan sosial hidup dalam masyarakat plural.
Akan tetapi tidak sekedar merupakan sebuah tuntutan bagi kehidupan dan demi keberlangsungan suatu kehidupan. Toleransi juga adalah bagian integral; dan hakekat dari kehidupan itu sendiri. Toleransi adalah hukum kehidupan, karena tanpa ada toleransi tak ada kehidupan. Tentang hal ini, Sony Keraf, menegaskan: siapa saja yang menolak toleransi adalah musuh kehidupan. Karena intoleransi berarti tidak menerima realitas kehidupan yang pada dasarnya sudah beragam, berbeda dan majemuk, dan dengan demikian hilanglah kehidupan itu sendiri yang adalah beragam”
Dengan ini mau ditegaskan bahwa toleransi harus dipahami sebagai sikap dan cara hidup yang mengakui dan menerima kehadiran kehidupan pihak lain (termasuk makluk hidup lain) yang memang berbeda dari kehidupan kita atau saya pribadi dengan segala kekhasannya dan dengan segala implikasinya
Pada umumnya semua ekspresi pengalaman keagamaan berkisar pada tiga bentuk ini, yang teoritis, yang praktis dan sosiologis.
Glock dan Starack lalu menjabarkannya secara terperinci menjadi iman, ajaran, kebaktian, etika dan organisasi. Iman sebagai kecendrungan paling dasar untuk percaya dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Ajaran, karena pengalaman agama dari setiap manusia sering harus dirumuskan secara verbal tentang Makluk Tertinggi, pandangan mengenai alam, dunia dan aneka masalah manusia sehingga lebih mudah dimengerti.
Kebaktian sebagai kumpulan upacara lewat mana manusia menunjukkan hormat, pujiannya kepada Allah, melalui ritus dan kebaktian, sakramen dan sebagainya yang dinyatakan secara simbolis. Etika mengandung arti pedoman dan aturan tingkah laku manusia. Dan organisasi sebagai unsur keagamaan yang paling sosiologis.
Meski berbeda unsur-unsur di atas dalam setiap agama, semuanya diikat oleh fungsi dasar agama yang sama. Pertama, setiap agama mewartakan keselamatan dan karena keselamatan itulah para pemeluk agama memilih memeluk agama tertentu. Kedua, mewartakan arti hidup. Setiap agama memberikan pandangan hidup kepada para pemeluknya dan memberi jawaban atas aneka pertanyaan menyangkut arti dan makna hidup. Dan ketiga, setiap agama menawarkan cara hidup, hidup beretika dan bermoral, hidup bersama dengan sesama manusia.
Dalam konteks pandemi Covid 19, apa yang bisa direnungkan? Pasti dalam situasi sulit seperti sekarang, kita semua bertanya tentang arti dan makna hidup kita di tengah badai covid 19. Apa yang Tuhan kehendaki dari kita semua? Dari segi kristiani, kita djak untuk berefleksi tentang hidup dan karya kita selama ini. Dengan demikian Covid 19 mendorong kita untuk bangkit dan berubah, membaharui cara berpikir, merasa dan bertindak kita. Dan dari segi cara hidup, dalam situasi sulit ini kita semua diundang untuk masuk dalam keprihatinan bersama ini dan bergandengan tangan untuk aktif, terlibat dan berjuang bersama pemerintah atas dasar solidaritas demi perubahan keadaan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, cita-cita kita bersama untuk hidup kembali seperti sedia kala akan terwujud. Jadi perubahan menuntut keterlibatan dan bergerak bersama. Suatu gerakan moral universal tanpa melihat unsur agama, suku atau budaya tertentu.
Solidaritas baru : Belajar dari Orang Samaria Jalan Sempit di tengah Badai Virus Corana 19
Indonesia ketika menyatakan diri sebagai bangsa merdeka serentak menyatakan kepada dunia bahwa ia menjadi bangsa yang majemuk, yang diikat oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika. Masyarakat dari semua suku bangsa, budaya dan agama yang berbeda membulatkan tekadnya untuk merdeka dan mau hidup bersama secara berdampingan. Itulah sebabnya, misalnya mengapa mesjid bisa dibangun di samping sebuah gereja, dan ketika perayaan Idul Fitri, yang mengatur keamanan dan parkir adalah orang kristen. Dan sebaliknya. Mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya adalah solidaritas.
Pengalaman historis sebagai bangsa terjajah, itulah yang menyatukan mereka dan memotivasikan suatu gerakan untuk Indonesia merdeka, terlepas dari nasib sebagai bangsa terjajah. Tetapi tak ada dari mereka yang ingin merdeka sendiri-sendiri. Nah kalau solidaritas itulah yang telah menjadi dasar terbentuknya suatu bangsa merdeka dan terus bertahan sampai sekarang, apa yang bisa disumbangkan untuk masyarakat kita yang kini sedang menghadapi bahaya besar badai virus corona 19? Jawabannya masih tetap sama: solidaritas.
Kita semua meski dengan berbagai latar belakang berbeda atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan mencita-citakan suatu kehidupan normal kembali. Kita dipanggil terlibat untuk mendukung semua program pemerintah demi pemulihan kehidupan kita bersama. Dalam Ensklik Frateli Tutti, Paus Fransiskusu menempatkan kisah seorang Samaria dalam Injil Lukas sebagai teman bagi orang asing yang sedang di jalan.
Paus menulis: “Yesus menceriterakan kisah seseorang yang dirampok oleh para penyamun dan tergeletak penuh luka di pinggiran jalan. Beberapa orang melewati jalan itu, namun tidak berhenti. Mereka itu adalah orang-orang yang memegang posisi sosial penting, namun kehilangan kepedulian nyata bagi kepentingan bersama. Mereka tidak mau meluangkan waktu sejenak merawat orang yang terluka atau bahkan meminta bantuan.
Hanya satu orang yang berhenti, mendekati orang itu dan merawatnya sendiri, bahkan mengeluarkan uangnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan perawatan itu. Dia memberikan juga sesuatu yang di dalam dunia kita yang sibuk ini yang ingin kita pegang erat: dia memberikan waktunya. Pasti, dia punya rencana sendiri untuk hari itu, kebutuhannya, janji-janji dan keinginannya. Namun dia mampu menyisihkan itu semua ketika berhadapan dengan seseorang yang membutuhkan. Walau tidak mengenal orang yang terluka itu, dia memandangnya layak mendapatkan waktu dan perhatiannya”, FT. 63
Kita semua tanpa memandang suku, agama, latar belakang sosial atau budaya dipanggil untuk menjadi Orang Samaria zaman ini (terutama di masa pandemi covid 19), yang rela tergerak hati merekalan kehendak pribadi dan kelompok untuk mendukung berbagai program pemerintah, menegakkan protokol kesehatan dalam berbagai bentuknya dan terus berdoa agar badai ini cepat berlalu. Benar, tragedi yang melanda seluruh dunia seperti pandemi covid-19 seketika menumbuhkan kembali perasaan bahwa kita ini merupakan komunitas global, semua berada dalam perahu yang sama, di mana persoalan satu orang menjadi persoalan semua.
Sekali lagi kita menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang selamat sendiri; kita hanya dapat diselamatkan bersama… (FT 32).
Apakah dasar solidaritas universal ini? Dasarnya adalah kasih. Kasih menopang segala kebajikan lain. Corak utama kasih (caritas) ialah berbuat baik bagi sesama, siapapun dia. “Tanpa kasih, kita mungkin memiliki hanya keutamaan-keutamaan yang semu, tak mampu menopang kehidupan bersama. Maka, Santo Thomas Aquinas – dengan mengutip Santo Augustinus, mengatakan bahwa kesederhanaan dari orang yang serakah bukanlah kebajikan. Santo Bonaventura, selanjutnya menerangkan bahwa keutamaan-keutamaan lain, tanpa kasih […] tidak memenuhi perintah yang Allah sendiri inginkan untuk dipenuhi” [FT 91]. Dalam terang semangat kasih itu, kita bertekad berjuang bersama sebagai suatu bangsa melawan virus corona 19.
Penutup
Covid 19 adalah kesempatan/panggilan terus berefleksi dan berintrospeksi diri, terutama untuk menyatakan kesediaan bertanggung jawab bersama terhadap alam, diri sendiri dan sesama manusia yang lain menuju keberlanjutan ekologis dan sosial yang lebih lestari. Dan ini hanya mungkin kalau kita semua bergerak bersama, berjalan bersama memikul beban ini bersama pemerintah, dan terus berdoa agar badai ini cepat berlalu. Mungkin saat ini badai sedang melanda, namun hujan tidak akan berlangsung selamanya.***
Bahan bacaan:
Sony A. Keraf, Toleransi dan Hukum Kaish dalam Toleransi dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat, Komisi PSE KWI, 2003
Robert Hardawiryana SJ, Dialog Umat Kristiani dengan Umat Pluri-Agama-Kepercayaan di Nusantara, Kanisius, Yogyakarta, 2002
Guido Tisera (ed), Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian, LPBAJ, Maumere, 2002
Yong Ohoitimur MSC, Membangun Masyarakat Basis Multikultural: beberapa gagasan dasar tentang ideal masyarakat baru, Pineleng, 2001 (makalah)