Oleh: Drs. Fransiskus Sili, M.Pd, Pengawas Ahli Madya Kementrian Agama Kota Manado
Pendidikan pada dasarnya adalah bagian integral dari hidup manusia sehingga tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan hidup manusia. Sejak dalam kandungan, lahir dan selama hidup, manusia membutuhkan pendidikan (long life education). Pendidikan sangat berperan dalam pembentukan pribadi manusia dalam kaitannya untuk pengembangan secara individual, kelompok, masyarakat dan bangsa. Akan tetapi dalam realitas dewasa ini, khususnya dalam lingkup bangsa Indonesia, di satu pihak kita melihat perkembangan-perkembangan yang cukup berarti di bidang pendidikan, di pihak lain kita menyaksikan dengan kasat mata terdapat sejumlah keprihatinan dalam dunia pendidikan Indonesia.
Salah satu yang menjadi persoalan dan menentukan merosotnya pendidikan kompetensi para pelaksana pendidikan di antaranya adalah para guru. Banyak guru tidak terbuka dengan perubahan. Inginnya kurikulum dan cara mengajarnya tetap seperti yang sudah-sudah. Banyak penataran guru dilakukan, tetapi banyak yang setelah kembali tetap menjalanklan tugas seperti sebelum berangkat penataran. Padahal peranan guru dalam pengembangan dunia pendidikan sangat besar. Adler (1982) mengatakan bahwa guru merupakan unsur manusiawi yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan (Ibrahim Bafadal, 2004:4). Proses penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalitas dan kompetensi para pendidik (Made Pidarta, 2000:286).
Untuk itu usaha-usaha untuk meningkatkan kompetensi para pendidik perlu terus-menerus dilakukan dari berbagai sudut pandang. Di antaranya dari sudut pandang psikologis. Tinjauan psikologis tentang kompetensi para pendidik sangat penting karena berangkat dari pandangan tentang makna dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik, dan peserta didik dengan peserta didik lainnya untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi itu sering disebut interaksi edukatif (Syaiful B. Djamarah, 2000: 10). Dalam interaksi edukatif itu terjadi proses dan peristiwa psikologis. Peristiwa dan proses psikologis itulah yang sangat berpengaruh dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Melihat beberapa latar-belakang pemikiran danpermasalahan di atas, maka makalah ini mencoba menyoroti persoalan kompetensi guru dari sudut tinjauan psikologis yang terdiri atas dua pokok pembahasan, yakni pemahaman tentang makna guru dan kompetensi Guru.
1. PEMAHAMAN DASAR TENTANG GURU
Kata guru berasal dari bahasa Sansekerta, artinya yang digugu dan/atau yang ditiru. Digugu berarti orang yang dipercayai dan yang perkataannya tidak diragukan lagi.Ditiru berarti orang yang patut diteladani, dipedomai, dituruti segala tingkah lakunya, tutur kata, gerak langkah dan arah pandangannya. Kata guru dalam bahasa Inggris teacher, yakni a person whose occupation is teaching others (Mc Leod, 1989). Artinya, guru adalah seorang yang pekerjaannya mengajar orang lain. Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik; orang yang melaksanakan pendidikan di lembaga formal, nonformal ataupun informal (Syaiful Bahri Djamarah, 2000:31). Pengertian-pengertian ini lebih menekankan pengertian guru sebagai seorang pengajar, atau dikaitkan dengan tugasnya mengajar.
Secara psikologis seorang guru bukan hanya sebagai pengajar saja akan tetapi juga sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004: 251-254). Sebagai pendidik guru membantu para siswa menuju kedewasaan. Mendidik secara singkat dapat dikatakan memimpin anak ke arah kedewasaan. Kedewasaan meliputi kedewasaan psikologis, sosial dan moral (Ngalim Purwanto, 2004:3). Dewasa secara psikologis berarti individu telah bisa berdiri sendiri, tidak tergantung kepada orang lain dan telah mampu bertanggung-jawab atas segala perbuatannya. Dewasa secara sosial berarti telah mampu menjalin hubungan sosial dan kerjasama dengan orang dewasa lainnya, telah mampu melaksanakan peran-peran sosial. Dewasa secara moral, yaitu telah memiliki seperangkat nilai yang ia akui kebenarannya, ia pegang teguh dan mampu berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi pegangannya. Guru sebagai pendidik terutama berperan dalam menanamkan nilai-nilai yang merupakan ukuran, pedoman dan patokan standar dalam masyarakat kepada anak didik.
Sebagai pengajar guru membantu perkembangan intelektual, afektif dan psikomotor, melalui menyampaikan pengetahuan, pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan sehingga para arti siswa memperoleh sejumlah pengertian dan pengetahuan dengan menyimpulkan, menerapakan, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi pengetahuan itu dengan pengetahuan lain atau beberapa kombinasi dari semua itu (Sri Esti Wuryani Djiwandono, 2004:7-8).
Selain sebagai pendidik dan pengajar guru juga punya peran sebagai pembimbing. Perkembangan anak tidak selalu mulus dan lancar, adakalanya lambat dan mungkin juga berhenti sama sekali. Dalam upaya membantu anak mengatasi kesulitan atau hambatan dalam perkembangannya, guru berperan sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing, guru perlu memiliki pemahaman yang seksama tentang para siswanya, memahami segala potensi dan kelemahannya, masalah dan kesulitan-kesulitannya, dengan segala latar-belakangnya. Agar tercapai kondisi seperti itu, guru perlu banyak mendekati para siswa, membina hubungan yang lebih dekat dan akrab(relationship), melakukan pengamatan dari dekat serta mengadakan dialog-dialog langsung. Dalam situasi hubungan yang akrab dan bersahabat, para siswa akan lebih terbuka dan berani mengemukakan segala persoalan dan hambatan yang dihadapinya.
2. KOMPETENSI GURU
2.1. Pengertian Kompetensi
Menurut arti katanya, kompetensi (competency) berartikemampuan atau kecakapan. Kompetensi juga berarti : the state of being legally cimpetent or qualified (McLeod, 1898), yakni keadaan berwewenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Sedangkan kompetensi guru (teacher competency) menurut Barlow (1985) ialah The ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately. Artinya, kompetensi guru merupakan kemampuan dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung-jawab dan layak (Muhibbin Syah, 2004:229).
Kompetensi seorang guru dari tinjauan psikologissecara garis besar dapat ditinjau dua aspek, yakni kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional.
2.2. Kompetensi Kepribadian
2.2.1 Pengertian Kepribadian Guru
Pada saat seorang guru mengajar pada saat itulah ia mengajar tentang kehidupan dan tentang kehidupannya. Dalam konteks inilah kepribadian guru sangat menentukan.Memahami tentang identitas seorang guru khususnya dalam kaitannya dengan tugas profesionalnya dalam mengajar, sangat berkaitan erat dengan karakteristik kepribadiannya. Dalam arti sederhana, kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannya yang membedakan dirinya dari yang lain. Kepribadian (personality) sebagai sifat khas yang dimiliki seseorang. Membicarakan tentang kepribadian seorang guru dalam proses pendidikan dan pengajaran sangat penting karena kepribadian. Mengenai pentingnya kepribadian guru,seorang psikolog terkemuka Profesor Zakiah Daradjat (1982) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa yakni pada tingkat menengah (Muhibbin Syah, 2004:226).
Alexander Meikeljohn (1971) mengatakan : “No one can be a genuine teacher unless he is himself actively sharing in the human attempt to understand men and their world.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa tidak seorang pun yang dapat menjadi seorang guru yang sejati (mulia) kecuali bila dia menjadikan dirinya sebagai bagian dari anak didik yang berusaha untuk memahami tentang kesulitan anak didik dalam hal belajar dan kesulitan lainnya di luar masalah belajar, yang bisa menghambat aktivitas belajar anak didik, maka guru tersebut akan disenangi anak didiknya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000:41). Untuk itu seorang guru perlu memiliki kualifikasi kompetensi kepribadian sebagai seorang guru (Hendayat Soetopo, 2005:212).
2.2.2. Unsur-unsur Kompetensi Kepribadian Guru
Unsur-unsur kompetensi kepribadian sebagai seorang guru antara lain : penghayatan guru sebagai panggilan hidup, kedewasaan pribadi, dan menghayati tugas mengajarnya atas dasar cinta kasih.
David Hansen dalam buku, The Call to Teach (1995), menjelaskan bahwa ada dua hal penting dari panggilan yaitu: 1) pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain, dan 2) pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri sendiri sebagai pribadi (Paul Suparno, dlm Tonny D. Widiastono, 2004:126). Hal pertama mengungkapkan bahwa pekerjaan disebut panggilan hidup bila pekerjaan itu mengembangkan orang lain ke arah kesempurnaan. Ini berarti guru pertama-tama harus mengembangkan peserta didik yang dibimbing untuk berkembang menjadi sempurna baik dalam bidang pengetahuan maupun kehidupan yang lebih menyeluruh. Driyarkara (1980) mengatakan bahwa guru di sini menjalankan fungsinya membantu anak didik berkembang menjadi manusia yang utuh. Bila guru menghayati pekerjaannya sebagai suatu panggilan, maka ia akan menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi bagi perkembangan anak didik (Fuad Ihsan, 2003:4).
Hal kedua ialah memenuhi kepentingan pribadi. Dengan menjalankan tugasnya sebagai seorang guru, pribadinya akan berkembang, menjadi lebih manusiawi dan mempunyai harga diri dan menghyati kerjaannya sebagai suatu nilai. Kepuasan dan kebahagiaan seorang guru seharusnya terletak pada kegembiraan batin karena anak didiknya berkembang menjadi manusia yang lebih baik dan lebih utuh. Dapat dikatakan pula bahwa seorang guru dalam pekerjaannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing, semua itu sebagai suatu hidup dan memberi kehidupan yang bernilai bagi dirinya. Seghingga ia akan menjadi “guru kehidupan” yang membimbing peserta didik untuk tahu tentang arti dan mengisi kehidupan. Herbert Sorensen, et .al, (1971:142) mengatakan : “The learning that takes place in school is very important, but is by no means the only learning in life. A human being learns from his earliest hours, an he learns all his life. He learns to understand the world, to respond to the world, to love, to hate, to fear, and to enjoy”.
Seorang guru yang mengajar untuk kehidupan berartiia mengajar berdasarkan dari kedalaman cinta kasih. Mengajar dari kedalaman cinta berarti seorang guru mengajar untuk kebahagiaan, mengajar untuk kesadaran, mengajar untuk memahami, mengajar untuk pembebasan, mengajar untuk kompetensi dan mengajar untuk belajar (A.M. Ramly, 2005:45-56). Mengajar untuk kebahagiaan berarti mengajar untuk kebaikan para siswa dan untuk dirinya. Mengajar untuk kompetensi berarti membantu siswa untuk memiliki sejumlah kemampuan dan kecakapan hidup. Mengajar untuk pembebasan berarti guru mengajar supaya anak memiliki pencerahan budi dan hati sehingga terbebas dari kungkungan kebodohan. Mengajar untuk belajar, berarti guru berusaha supaya para siswa dapat tahu dan mengembangkan cara belajar, terlebih belajar tentang kehidupan.
Seorang guru yang dapat mengajar dari kedalaman cinta adalah guru yang memiliki kedewasaan. Minimal ada tiga ciri kedewasaan (psikologis) yang perlu dimiliki oleh seorang guru (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004: 254). Pertama, memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Kedua, guru yang dewasa adalah orang yang mampu melihat segala sesuatu secara objektif. Mampu melihat dirinya dan orang lain secara objektif, melihat kelebihan dan kekurangan dirinya dan mampu bertindak sesuai dengan penglihatannya itu. Ketiga, guru yang dewasa adalah guru yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan dan tanggung-jawab.
2.2.3. Tipe-tipe Kepribadian Guru
Proses pendidikan dan pengajaran dipengaruhi pula oleh tipe kepribadian guru itu sendiri. Ada banyak pendapat tentang tipe-tipe kepribadian guru. Menurut seorang filsuf kuno bernama Hippocrates, perbedaan perilaku manusia disebabkan cairan tubuh yang berbeda-beda pada tubuh manusia. Cairan tubuh tersebut adalah sanguine (darah-energi tinggi), choleric (empedu kuning- kontrol dan kemarahan), melancholy (empedu hitam- berhubungan dengan kecenderungan tekanan jiwa), dan phlegmatic(lendir tubuh-pasif). Berdasarkan observasi dan analisis dari Hippocrates ini banyak ahli psikologi dan pendidikan mengembangkannya dalam bentuk potret diri dan tipe-tipe kepribadian guru.
Dalam buku Rahasia Sukses Menjadi Guru Kaya, Pumping Teacher Berdasarkan Konsep Pendidikan Long Life Education oleh Amir Tengku Ramli dan Erlin Trisyulianti (2003), berdasarkan tipologi Hippocrates dikembangkan: 4 potret pribadi dasar kepribadian guru, yaitu guru Sanguinis, Koleris, Phlegmatis dan Melankolis.
Guru sanguinis pada dasarnya ceria dan ramah, cukup demonstratif (bergerak, melompat, melambai dan menggeliat), terlihat optimis dan antusias terhadap segala-galanya. Perilaku sanguinis membuat suasana kelas fresh,dan mencairkan situasi yang tegang. Seorang guru sanguinis, akan memasuki kelas dengan ramah, santai dan tersenyum serta ceria. Biasanya cara mengajarnya menyenangkan, pandai bercerita dan membuat humor. Dapat mendramatisasikan sebuah cerita dengan hidup dan menyenangkan.
Guru koleris nampak sebagai orang yang bekerja secara konsisten, akan selalu mempertahankan produktivitasnya, tegas, kaku, penuh aturan dan perintah, cepat tersinggung, mudah marah, berusaha supaya para murid patuh, dan hormat kepada dirinya. Semuanya mengikuti cara guru. Gaya mengajarnya semua tergantung pada guru, bukan mengikuti gaya belajar siswa. Sedikit saja kesalahan dari siswa dia akan memberikan ganjaran dan hukuman. Metode dan gaya pengajarannya cenderung tidak melibatkan siswa dan otoriter serta menginginkan semua kondisi pengajarannya dalam pengaruh dirinya.
Seorang guru yang phlegmatis adalah guru yang selalu ingin dihormati, pendiam dan cepat berpuas diri. Sehingga dia akan berusaha supaya para siswa selalu menghormati dan menghargainya. Karena sifatnya yang tersembunyi dan tidak jelas kemauannya serta tidak banyak bicara, menyebabkan ia suka mengamati dari jauh tanpa memberi komentar. Guru yang phlegmatis selalu memikirkan gaya dan metode yang muda saja, tidak terlalu suka dengan yang rumit.
Seorang guru melankolis menginginkan ketertiban dan kepekaan serta menginginkan orang lain (siswa) memahami dirinya. Selalu mengedepankan perasaan dari pada rasio.Akan tetapi ia peka terhadap perasaan peserta didiknya, mempunyai kreatifitas yang mendalam dan menginginkan kerja yang bermutu. Sehingga dalam praktek pengajaran secara tegas mereka ingin berada pada garis yang benar.
Setiap tipe kepribadian tentunya memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Tipe-tipe kepribadian tersebut merupakan kecenderungan yang mewarnai proses belajar-mengajarnya. Untuk itu di samping mengenal tipe keribadiannya, seorang guru perlu memahami tipe kepribadian para murid juga. Seorang guru yang baik bukan saja mengajar berdasarkan nilai dan tipe kepribadiannya akan tetapi berangkat dari situasi dan karakteristik para siswa. Walaupun memiliki tipe kepribadian yang khas, seorang guru dapat mengembangkan nilai-nilai berdasarkan tipe-tipe kepribadian yang lain yang barangkali bukan tipenya, tetapi berdasarkan tipe kepribadian para siswa. Jadi pada saat tertentu dalam perilaku, gaya mengajar dan pendekatan mengajar bisa saja memakai pelbagai tipe-tipe kepribadian. Bisa saja sanguinis, phlegmatis, koleris, atau melanklois (bdk. A.T. Ramly, 2005:68-74).
2.2.4. Gaya mengajar Guru dalam Kaitannya dengan Proses Belajar-Mengajar
Secara psikologis seorang guru dalam mengajar bukan saja dipengaruhi oleh tipe-tipe kerpibadian tetapi juga oleh gaya mengajarnya. Ada empat gaya penampilan dankepemimpinan para guru dalam mengelola PBM, yakni otoriter, laissez-faire dan demokratis. Barlow (1985) menambahkan satu lagu yaitu otoritatif (Muhibbin Syah, 2004: 253-254).
Secara harafiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Dalam PBM, guru yang otoriter selalu mengarahkan dengan keras segala aktivitas para siswa.Sedikit saja ia memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan-serta memutuskan cara terbaik untuk kepentingan belajar mereka. Guru jenis ini sering disebut guru authoritarian. Guru yang otoriter akan cenderung menghambat kreatifitas para siswa.
Guru laissez-faire padanannya adalah guru yang individualistis. Guru yang berwatak ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolaan PBM secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam mempersiapkan diri. Sesungguhnya, ia tidak menyenangi profesinya sebagai tenaga pendidik meskipun mungkin memiliki kemampuan yang memadai.
Guru yang demokratis (demokratic) akan selalu bersikap demokratis yang pada intinya mengandung makna memperlihatkan persamaan hak dan kewajiban semua seorang. Pada umumnya dipandang sebagai guru yang paling baik dan ideal. Guru jenis ini suka bekerja-sama dengan rekan-rekannya, namun tetap menyelesaikan tugasnya secara mandiri. Lebih menghargai pendapat orang lain terlebih pendapat dan pertanyaan para siswa. Biasanya disenangi oleh para siswa.
Guru yang otoritatif adalah guru yang memiliki dasar-dasar pengetahuan baik pengetahuan bidang studi maupun pengetahuan umum. Guru seperti ini biasanya ditandai oleh kemampuan memerintah secara efektif kepada para siswa dan kesenangan mengajak kerja-sama dengan para siswa bila diperlukan dalam mengihtiarkan cara terbaik untuk penyelenggaraan PBM. Dalam hal ini ia hampir sama dengan guru demokratis. Namun dalam hal memerintah atau memberi anjuran, guru yang otoritatif pada umumnya lebih efektif karena lebih disegani para siswa, dan dipandang sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan bidang studinya maupun pengetahuan lain.
2.3. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan dan kecakapan seorang guru dalam hubungan tugas profesionalnya. Profesional dapat berarti a vocation an wich profesional knowledge of some department a learning science is used in its applications to the of other or in the practice of an art found it. Pengertian ini dapat dimengerti bahwa pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini, pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Nana Sudja, 1988). Menurut Rice dan Bishoprick (1971) guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisme guru dipandang sebagai satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain (other-directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri. Sedangkan menurut Glickman (1981) seperti yang dikutip oleh Ibrahim bafadal (2004:5) mengatakan bahwa seorang guru yang profesional bila memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment). Kompetensi profesional seorang guru secara psikologis dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) kompetensi, yaitu kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor.
2.3.1. Kompetensi Kognitif
Kompetensi Kognitif guru, dapat dilihat dari dua hal,memiliki pengetahuan umum kependidikan/keguruan dan memiliki fleksibilitas Kognitif.
a. Memiliki Pengetahuan Kependidikan.
Seorang guru yang memiliki kompetensi profesional apabila ia memahamai tentang pengetahuan umum kependidikan (Muhibbin Syah, 2004:230-231, Moh. Uzer Usman, 2005:16-19). Menurut sifat dan kegunaannya kompetensi profesional pengetahuan kependidikan terdiri atas dua macam: pengetahuan kependidikan umum dan pengetahuan pendidikan bidang studi yang akan diajarkannya (Muhibbin Syah, 2004:231). Pengetahuan umum kependidikan meliputi kemampuan penguasaan tentang makna, konsep dan prinsip-prinsip pendidikan dan keguruan yang terdapat dalam ilmu pendidikan, psikologi, kurikulum, metodologi, bimbingan dan penyuluhan, administrasi pendidikan, dll (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004: 255-256). Sedangkan pengetahuan bidang studi yang akan diajarkannya meliputi penguasaan atas materi dan pokok-pokok bahasan; kurikulum pendidikan (dalam buku silabus /GBPP dan buku pedoman guru, menguasai bahan-bahan pengayaan); menyusun program pengajaran (tujuan, bahan pembelajaran, strategi dan metode dan media/sarana pengajaran); melaksanakan program pengajaran (menciptakan iklim belajar yang tepat, mengatur ruang kelas, teknik-teknik interaksi dan komunikasi PBM); menilai hasil dan PBM (menilai prestasi murid, menilai PBM mengajar yang telah dilaksanakan); dan dapatmembimbing perkembangan siswa dengan tepat pula.
b. Memiliki Fleksibilitas Kognitif
Setelah guru memiliki pengetahuan umum kependidikan dan pengetahuan khusus tentang bidang studi yang akan diajarkannya, selanjutnya perlu diikuti oleh kemampuan fleksibilitas kognitif (Muhibbin Syah, 2004: 227). Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Kebalikannya adalah frigiditas kognitif atau kekakuan ranah cipta yang ditandai dengan kekurangmampuan berpikir dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Dalam proses belajar-mengajar, fleksibilitas guru terdiri atas tiga dimensi yakni : dimensi karakteristik kognitif pribadi guru, dimensi sikap kognitif guru terhadap siswa dan dimensi sikap kognitif guru terhadap materi pelajaran dan metode mengajar.
Berikut ini ditampilkan tabel-tabel perbedaan karakteristik dan sikap guru yang luwes dengan karakteristik guru yang kaku yang berhubungan dengan fleksibilitas kognitif pribadi guru (Muhibbin Syah, 2004:227-228).
Tabel 1
Karakteristik Kognitif Pribadi Guru
Ciri Perilaku Kognitif Guru |
|
1. Menunjukkan keterbukaan dalam perencanaan kegiatan belajar-mengajar
2. Menjadikan materi pelajaran berguna bagi kehidupan nyata siswa
3. Mempertimbangkan pelbagai al-ternatif cara mengkomuni-kasikan isi pelajaran kepada siswa.
4. Dalam merencanakan sesuatu dalam keadaan mendesak.
5. Dapat menggunakan humor secara proporsional dalam menciptkan situasi PBM yang menarik.
|
1. Tampak terlampau dikuasai oleh rencana pelajaran, sehingga alokasi waktu sangat kaku. 2. Tak mampu memodifikasi materi silabus. 3. Tak mampu menangani hal yang terjadi secara tiba-tiba ketika pengajaran berlangsung. 4. Terpaku pada aturan yang berlaku meskipun kurang relevan. 5. Terpaku pada isi materi dan metode yang baku sehingga situasi PBM menoton dan membosankan. |
Tabel 2
Sikap Kognitif Guru terhadap Siswa
Ciri Sikap Kognitif Guru |
|
1. Menunjukkan perilaku demokratis dan tenggang rasa kepada semua siswa.
2. Responsif terhadap kelas (mau me-li hat, mendengar, dan merespons masalah disiplin, kesulitan belajar, dsb).
3. Memandang siswa sebagai partner dalam PBM.
4. Menilai siswa berdasarkan faktor-faktor yang memadai.
5. Berkesinambungan dalam meng-gunakan ganjaran dan hukuman sesuai dengan penampilan siswa.
|
1. Terlalu memperhatikan siswa yang pandai dan mengabaikan siswa yang lamban.
2. Tidak mampu/tidak mau mencatat isyarat adanya masalah dalam PBM.
3. Memandang siswa sebagai objek yang berstatus rendah.
4. Menilai siswa secara serampangan.
5. Lebih banyak menghukum dan kurang memberi ganjaran yang memadai atas prestasi yang dicapai siswa.
|
Tabel 3
Sikap Kognitif Guru terhadap Materi dan Metode
Ciri Sikap Kognitif Guru |
|
1. Menyusun dan menyajikan materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
2. Menggunakan macam-macam metode yang relevan secara kreatif sesuai dengan sifat materi.
3. Luwes dalam melaksanakan rencana dan selalu berusaha mencari pengajaran yang efektif.
4. Pendekatan pengajarannya lebih problematik, sehingga siswa terdorong untuk berpikir.
|
1. Terikat pada isi silabus tanpa mempertimbangkan kebutuhan siswa yang dihadapi.
2. Terpaku pada satu atau dua metode mengajar tanpa memperhatikan kesesuainnya dengan sifat materi pelajaran.
3. Terikat hanya pada satu atau dua format dalam merencanakan pengajaran.
4. Pendekatan pengajarannya lebih preskriptif (perintah/hanya memberi petunjuk atau ketentuan) |
2.3.2. Kompetensi Afektif Guru
Kompetensi ini meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi, seperti : cinta, benci, senang, sedih, dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain. Sikap dan perasaan yang berhubungan dengan kompetensi afektif keguruan adalah: 1) self-concept dan self esteem, 2) self efficacy dan contextual efficacy, 3) attitude of self-acceptance dan others acceptance (Muhibbin Syah, 2004: 232-234).
Pertama, self-concept atau konsep-diri guru ialah totalitas sikap dan persepsi seorang guru terhadap dirinya sendiri. Ia yakin akan dirinya sebagai seorang guru.Sementara itu self-esteem (harga-diri) guru dapat diartikan sebagai tingkat pandangan dan penilaian seorang guru mengenai dirinya sendiri berdasarkan prestasinya. Guru yang memilki self-concept yang tinggi dalam pengajarannya akan lebih cenderung memberi peluang luas kepada para siswa untuk berkreasi. Guru yang memiliki konsep-diri yang tinggi umumnya memiliki harga diri yang tinggi pula. Fenomena keberanian mengajak dan mendorong para siswa supaya maju itu disadari oleh keyakinan guru tersebut terhadap kualitas prestasi akademik yang telah ia miliki.
Kedua, self-efficacy guru (efikasi guru), lazim juga disebut personal teacher efficacy adalah keyakinan guru terhadap keefektifan kemampuannya sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan para siswanya. Kompetensi ini berhubungan juga dengan teaching efficacyatau contextual efficacy yang berarti kemampuan guru dalam berurusan dengan keterbatasan faktor di luar dirinya ketika ia mengajar. Artinya, keyakinan guru terhadap kemampuannya sebagai pengajar profesional bukan hanya dalam hal menyajikan materi pelajaran di depan kelas saja, melainkan juga dalam hal memanipulasi (mendayagunakan) keterbatasan sarana belajar dan dapat menyesuiakan dengan situasi dan gaya belajar siswa. Dalam paradigma belajar modern dewasa ini gairah dan antusiasme belajar siswa akan berkembang apabila guru mengajar berdasarkan pada gaya belajar dan konteks siswa. Dalam bukunya Beyond Teaching and Learning oleh Win Wenger (2003) mengungkan bahwa gairah dan prestasi belajar siswa akan maju apabila seorang guru berangkat dari suatu pemahaman bahwa siswa adalah subjek belajar, bukan objek belajar. Para siswa telah memiliki kecakapan dan cara/gaya belajar yang unik (Melvin L. Silberman, 2004:21-22).
Menurut Bobbi dePorter dan Mike Hernacki (2004) dalam buku Quantum Learning mengungkapkan pada dasarnya siswa memiliki tiga cara belajar yakni : Visual (belajar dengan cara melihat), Auditorial (belajar dengan cara mendengar) dan Kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh). Tiga cara belajar ini akan cocok dengan segala situasi lingkungan belajar. Apakah dalam lingkungan belajar dengan media yang lengkap ataupun kurang memadai. Dalam hal inilah seorang guru dalam kaitannya dengan kompetensi contextual efficacy akan selalu menyesuaikan cara mengajarnya dengan situasi lingkungan belajar para siswa apakah visual, auditorial, kinestetik atau gabungan ketiganya. Dengan demikian akan menciptakan situasi belajar akan sunggung-sungguh menyenangkan para siswa. Gordon Dryden dan Jeannette Vos (2003) mengatakan bahwa prinsip utama dalam belajar efektif adalah kalau para guru dan para siswa berada dalam keadan menggembirakan dan menyenangkan(fun).
Ketiga, sikap penerimaan terhadap diri sendiri (self-acceptance attitude) adalah gejalah ranah afektif guru dalam kecenderungan yang positif atau negatif berdasarkan pada penilaiannya atas bakat dan kemampuannya. Sikap penerimaan terhadap diri sendiri pada umumnya akan berpengaruh terhadap sikap penerimaan pada orang lain (others acceptance attitude).
Sigmund Freud (seorang tokoh teori psikoanalisa-ilmu jiwa dalam) beranggapan bahwa…the more people love themselves the love had over to give to other people(Muhhibin Syah, 2004:234), yang pada prinsipnya berarti bahwa orang yang lebih banyak mencintai dirinya sendiri akan berakibat kurang mencintai orang lain. Namun pendapat Freud ini disanggah oleh ahli yang lain seperti Adler (1927), Berger (1952 dan Jourard (1971) yang mengatakan justru sebaliknya pada umumnya orang yang semakin menghargai dan mencintai dirinya akan semakin menghargai dan mencintai orang lain. Orang yang berperasaan cukup positif terhadap dirinya (menghargai dan mencintai diri) biasanya akan mengurangi kebutuhan dirinya (seperti kebutuhan atas pengakuan dan kekuasaan) untuk memenuhi layanan kepada orang lain sesuai dengan kebutuhannya. Jadi dapat dikatakan bahwa seorang yang menerima, menghargai dan mencintai orang lain akan mampu bersikap positif terhadap orang lain.
Apabila guru memiliki sikap penerimaan terhadap orang lain berarti ia memiliki keterbukaan psikologis. Guru yang terbuka secara psikologis biasanya ditandai dengan kesediannya yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain siswa, teman sejawat dan lingkungan pendidikan tempat bekerjanya. Ia mau menerima kritik dengan ikhlas. Di samping itu ia juga memiliki empati (empathy), yakni respons efektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan tertentu orang lain. Sikap empati merupakan syarat terciptanya interpesonal learning atau hubungan keakraban dalam proses pengajaran (Richard C. & Norman A. Sprinthall, 1974:257).
2.3.4. Kompetensi Psikomotor Guru
Kompetensi psikomotor guru meliputi segala keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah. Secara garis besar kompetensi ranah psikomotor guru terdiri atas dua kategori, yaitu 1) kecakapan fisik umum; 2) kecakapan fisik khusus. Kecakapan fisik yang umum, diwujudkan dalam bentuk gerakan dan tindakan umum jasmani guru seperti duduk, berdiri, berjalan, berjabat tangan dan sebagainya yang tidak langsung berhubungan dengan aktivitas mengajar.
Sedangkan kecakapan fisik khusus meliputi keterampilan-keterampilan ekspresi verbal dan nonverbal.Dalan kaitannya dengan kecakapan ekspresi verbal guru diharapkan terampil, fasih dan lancar berbicara, baik ketika menyampaikan uraian materi pelajaran maupun ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan para siswa atau mengomentari sanggahan dan pendapat mereka.Keterampilan ekpresi nonverbal adalah kemampuan guru dalam hal mendemonstrasikan apa-apa yang terkandung dalam materi pelajaran. Kecakapan-kecakapan tersebut meliputi: menulis dan membuat bagan, memperagakan proses terjadinya sesuatu, memperagakan penggunaan alat/sesuatu yang sedang dipelajari, sesuai dengan penjelasan verbal yang telah dilakukan guru.
Penutup
Secara psikologis, pendidikan merupakan proses interaksi antar individu pembelajar. Individu pembelajar itu adalah guru dan siswa. Dalam proses itu yang sangat menentukan adalah peran guru. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran guru berperan sebagai seorang pendidik, pengajar dan pembimbing. Sebagai pendidik ia berusaha membantu anak menuju pada kedewasaan, baik kedewasaan psikologis, sosial dan moral. Sebagai pengajar guru berusaha mengembangkan intelektual anak supaya memperoleh pengetahuan yang menjadi dasar bagi anak untuk kehidupannya. Sering kali dalam proses pendidikan para siswa mengalami hambatan-hambatan dan masalah-masalah belajar. Guru menghadapi situasi ini berperan sebagai pembimbing dengan berusaha membantu para siswa supaya dapat mengatasi hambatan dan masalah belajarnya.
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran kepribadian guru sangat berpengaruh. Kepribadian guru meliputi penghayatan, sikap, watak, ciri khas, pola dan model yang melekat pada diri seorang guru. Unsur-unsur kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah menghayati pekerjaannya sebagai suatu panggilan, memiliki kedewasaan dan mengajar atas dasar cinta. Seorang guru yang dewasa apabila ia selalu berusaha mengembangkan para siswa menuju pada kedewasaan secara utuh, dan pekerjaannya dihayati sebagai sesuatu yang bernilai. Walaupun ada berbagai tantangan dan hambatan dalam perannya sebagai pendidik ia tidak akan meninggalkannya. Ia tetap akan mencintai pekerjaannya dan selalu melaksanakan pekerjaannya atas dasar cinta.Berhasilnya proses pendidikan dan pengajaran juga ditentukan oleh tipe-tipe kepribadian dan gaya mengajarguru. Ada beberapa tipe kepribadian guru, yakni sanguinis, koleris, melankolis dan plegmatis. Tipe kepribadian yang cocok bagi seorang guru adalah tipe sanguinis dengan ciri-ciri antara lain adalah ramah, ceria, bersemangat, tidak mudah putus asa, sabar, tekun, mudah bergaul dan disenangi oleh rekan-rekan guru dan para murid. Sedangkan gaya mengajar guru ada beberapa model, yakni otoriter, individualistis, demokratis dan otoritatif. Gaya mengajar yang cocok dalam proses pendidikan dan pengajaran adalah gaya mengajar demokratis dan Otoritatif. Ciri-ciri guru demokratis antara lain adalah menghargai pendapat orang lain dan selalu memberikan kesempatan dan melibatkan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran. Sedangkan guru yang otoritatif (bukan otoriter) adalah guru yang menguasai bidang pengajarannya dan efektif dalam mengatur dan memberi perintah. Sehingga guru dan siswa akan hormat dan segan padanya bukan karena didasarkan atas rasa takut.
Selanjutnya guru yang profesional apabila memiliki kompetensi profesional. Secara psikologis kompetensi profesional terdiri atas kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Kompetensi kognitif meliputi kecakapanpenguasaan ilmu kependidikan umum dan penguasaan ilmu bidang studi yang akan diajarkannya. Kompetensi afektif meliputi konsep dan harga diri seorang guru serta kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan belajar para siswa. Sedangkan kompetensipsikomotor meiliputi kecakapan fisik umum yang terdiri atas kemampuan untuk bergerak secara dinamis di depan kelas dengan bahasa verbal (kemampuan berbahasa dan berkata-kata) maupun non verbal (melalui bahasa tubuh dan isyarat).
Jadi dapat dikatakan bahwa guru yang memiliki kompetensi dalam proses pendidikan dan pembelajaran,apabila ia memahami akan perannya sebagai seorang guru, memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Meningkatkan kompetensi seorang guru tentunya menjadi tugas semua pihak, terlebih oleh guru itu sendiri untuk mengembangkan kepribadiannya dan kemampuan mengajarnya dengan terus-menerus mau belajar. Dengan kemajuan dan tantangan zaman yang makin pesat dewasa ini, guru idealnya tetap terus belajar, kreatif mengembangkan diri, terus menyesuaikan pengetahuan dan cara mengajar dengan penemuan baru dalam dunia pendidikan, psikologi dan ilmu pengetahuan.
KEPUSTAKAAN
Bafadal Ibrahim, 2004, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Jakarta: Bumi Aksara.
DePorter Bobbi & Mike Hernacki, 1992, Quantum Learning, New York: Dell Publising, diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurahman, Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Djamarah Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta : Rineka Cipta.
Djiwandono Sri Esti Wuryani, 2002, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grasindo
Dryden Gordon dan Vos Jeannette, 1999, The Learning Revolution, Selandia Baru : The Learning Web, Penyunting : Ahmad Baiquni, 2003, Bandung: PT Mizan Pustaka.
Hamlik Oemar, 2002, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hernowo, 2005, Menjadi Guru Yang Mau dan Mampu Mengajar Secara Menyenangkan, Bandung: MLC.
Ihsan Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, 2000, .Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nggermanto Agus, 2003, Quantum Quotien , Kecerdasan Quantum, Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
Pidarta Made, 2000, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Jakarta: PT: Rineka Cipta.
Purwanto M. Ngalim, 2004, Psikologi Pendidikan,Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Ramly Amir Tengku, 2005, Menjadi Guru Idola, Mengajar dari Kedalaman Cinta, Bekasi: Pustaka Inti.
________________ , 2005, Menjadi Guru Kaya, Bekasi: Pustaka Inti.
Ramli Tengku Amir dan Trisyulianti Erlin, 2003, Rahasia Sukses Menjadi Guru Kaya, Pumping Teacher, Berdasarkan Konsep Pendidikan Long Life Education,Jakarta: Grahadhika Binangkit.
Silberman L. Melvin, 1996, Active Learning (101 Strategies to Teach Any Subject), Boston : Allyn Bacon, diterjemahkan oleh Raisul Muttagiem, 2004, Bandung: Nusamedia dan Nuansa.
Shaleh Abdul Rachman, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soetopo Hendyat, 2005, Pendidikan dan Pembelajaran, Teori, Permasalahan dan Praktek, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Sorensen Herbert, Malm Marguerite , Forehand A. Galie, Psychology For Living, 1971, New York : McGraw Hill Inc. All Rights Reserved.
Sprinthall C. Richard & Norman A ., 1974, Educational Psychology : A Developmental Approach, Massachusetts: Reading Addison Wesley Publishing Company.
Sukmadinata Nana Syaodih, 2004, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Suparno SJ, et.al, 2002, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta: Kanisius.
Sutadipura Balnadi, 2002, Kompetensi Guru Dan Kesehatan Mental, Bandung: Angkasa
Syah Muhibbin, 2004, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Usman Moh. Uzer, 2005, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wenger Win, 2000, Beyond Teaching and Learning, Project Renaisance, Gaithersburg, diterjemahkan oleh Ria Sirait dan Purwanto, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.
Widiastono D. Tonny (editor), 2004, Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas.