Penetapan Tersangka NTT Fair Cacat Prosedural

PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Semuel Haning, SH, MH, selaku kuasa hukum dari HP (Direktur PT Cipta Eka Puri) menilai penetapan tersangka kasus NTT Fair oleh kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) cacat prosedural.

“Menurut saya dikeluarkannya surat perintah penyidikan, penetapan tersangka, surat perintah penangkapan dan penahanan cacat hukum karena tidak prosedural,” tegas Haning dalam jumpa pers bersama awak media di Resto Palapa Kupang, Kamis (29/8/2019).

Menurut Haning, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI nomor 4 tahun 2016 ditujukan kepada semua Pengadilan negeri dan Pengadilan Tinggi, instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI, yang memiliki kewenangan konstitusional.

“Dalam pasal 23E ayat 1 UUD 1945 juga menyebutkan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksaan Keuangan negara bebas dan mandiri. Kemudian dipertegas pada UU no 15 tahun 2006 tentang BPK, pasal 1, BPK adalah lembaga yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana UUD 1945,” jelasnya.

“Ini sudah jelas BPK mempunyai kewenangan untuk melakukan audit, lalu dalam konteks ini, kerugian negara yang dipakai oleh penyidik kejaksaan itu siapa? Sepanjang belum ada hasil audit dari BPK tentang temuan kerugian negara maka itu dikatakan kewenangan prosedural dan lembaga yang dipakai itu bukan BPK maka itu melanggar pasal 23E UUD 1945,” tambah Haning mempertegas.

Haning melanjutkan, jika ada temuan BPK maka BPK akan menyampaikan kepada pemerintah provinsi dan diberi tengang waktu 60 hari untuk memberikan jawaban, tetapi kalau tidak ada maka tidak boleh dilakukan penyelidikan atau lain-lain apalagi sampai penetapan tersangka.

“Ini prosedural yang keliru. Kalau kita lihat penyidik Kejati menggunakan politeknik negeri Kupang sebagai lembaga yang mengaudit itu bukan kewenangannya. Kewenangannya (politeknik,red) itu menyangkut gedung, dan misalnya mengatakan gedung ini akan rubuh atau lain-lain itu memang kewenangannya, tapi bukan menentukan berapa kerugian negara,” tandas Haning.

Olehnya Haning menyayangkan penetapan tersangka terhadap 6 orang yang sudah ditahan Kejati NTT. Dia menduga terjadi kriminalisasi terhadap para tersangka. Kalau terjadi kriminalisasi maka sudah jelas tanggung jawab Kejati itu sangat besar di dalam kasus ini dan itu bahaya.

“Artinya bahwa dalam kasus ini benar-benar tidak ada kerugian negara, tiba-tiba dipaksa orang itu jadi tersangka, ditangkap dan ditahan tanpa prosedural, itu sangat bahaya. Dan tanggung jawab itu adalah jabatan,” kata Haning.

Sehingga menurut Haning jika kewenangan penetapan tersangka itu tidak prosedural maka harus batal demi hukum.

“Teman-teman kita telah melakukan upaya pra peradilan. Kewenangan menetapkan tersangka itu kewenangan kejaksaan, sah atau tidaknya nanti di proses persidangan,” pungkas Haning.

Untuk diketahui, Kejati NTT menyidik proyek Pembangunan Fasilitas Pemeran Kawasan NTT Fair senilai Rp 29,9 Milyar. Dari hasil itu, Kejati NTT telah menetapkan, menangkap dan menahan 6 orang tersangka sekaligus dalam hari yang sama.

Menurut Kasipidsus Kejati NTT, Sugiyanta telah terjadi kerugian negara sekitar Rp 6 M dalam proyek tersebut (sesuai perhitungan Politeknik Negeri Kupang, red). Namun menurutnya, jaksa telah menyelamatkan uang negara sekitar Rp 2,2 Milyar dari kasus tersebut.

Sementar itu BPK RI dalam LHP-nya tertanggal 25 Mei 2019, tidak menemukan adanya kerugian negara. BPK hanya menemukan adanya wanprestasi karena PT Cipta Eka Puri tak mampu menyelesaikan pembangunan NTT Fair sesuai Jadwal dalam kontrak. Karena itu BPK RI mengenakan denda keterlambatan sekitar Rp 1,2 Milyar kepada PT Cipta Eka Puri.

Selain itu, BPK juga menemukan adanya kelebihan pembayaran sekitar Rp 1,5 Milyar dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kepada PT Cipta Eka Puri.

Namun kelebihan pembayaran tersebut telah ditutup ketika PT Jamkrida NTT telah mencairkan jaminan pelaksanaan sekitar proyek NTT Fair sekitar Rp 2,69 Milyar ke kas daerah melalui Dinas PUPR NTT pada awal Juli 2019. Bahkan masih tersisa sekitar Rp 1 Milyar untuk menutup denda keterlambatan. Sehingga sisa denda keterlambatan hanya sekitar Rp 200 juta. (Jefri)

Komentar Anda?

Related posts