PORTALNTT.COM, LEMBATA – Pembangunan Rumah Layak Huni (RLH) di Kabupaten Lembata mengalami keterlambatan atau belum tuntas. Persoalan ini didapati saat kunjungan kerja (kunker) anggota DPRD Lembata di sejumlah desa.
Tiga orang Anggota DPRD Lembata, Paulus Makarius Dolu (Gerindra), Piter Bala Wukak (Golkar), dan Abubakar Sulang (Golkar) dalam keterangan pada wartawan menjelaskan dari hasil kunker di lapangan ditemukan adanya monopoli yang dilakukan oleh salah satu oknum pengusaha di Kota Lewoleba sehingga menyulitkan penyediaan material kepada masyarakat penerima bantuan. Padahal material yang dibutuhkan seperti pasir dan batu merah untuk pembangunan tersedia di desa setempat, namun ironisnya harus di datangkan dari luar.
“Batu merah yang bisa diswadayakan oleh masyarakat diproyekkan, didatangkan dari luar. Pasir bahan lokal untuk di wilayah Nubamado kalau untuk pembangunan rumah tinggal masyarakat ambil gratis, tidak bayar. Yang terjadi pasir diproyekkan dengan didatangkan dari luar dan masyarakat terima bersih bayar uang Rp 2,5 juta,” kata Paul kepada wartawan di Kantor DPRD Lembata, Rabu (22/1/2020) siang.
“Lalu batu merah Rp 1000/batang di RAB, lalu di batas kota itu RP 700/batang, dan di Belang gratis kenapa tidak ambil yang gratis untuk bantu masyarakat sehingga uang itu masuk ke dia. Itu baru pemberdayaan, negara atau pemerintah berpikir tentang pemberdayaan, tapi kenyataannya pemerintah membuat ini jadi proyek didampingi oleh rekanan maka batu merah yang seharusnya bisa diperoleh secara gratis terpaksa harus didatangkan dari luar,” tambah Paul dengan nada semakin kesal.
Menurut Paul ada indikasi ‘permainan’ antara oknum tertentu dan rekanan atau oknum pengusaha untuk mengatur distribusi material bangunan dari ‘satu pintu’.
“Kalau memang demikian, maka konsep pemberdayaan masyarakat yang jadi tujuan dari program bantuan perumahan ini menjadi kabur. Pasalnya, uang yang seharusnya beredar diantara masyarakat desa justru dibawa ke pengusaha di kota,” tandas Amggota DPRD dapil I Nubatukan dengan nada kesal.
Hal senada juga ditegaskan Piter Bala Wukak. Menurut politisi Partai Golkar ini kalau mau membangun dengan konsep pemberdayaan masyarakat, maka uang yang masuk ke desa harus beredar di desa dan bukan ke penyedia.
“Kalau batu merah milik masyarakat saja tidak ambil dari masyarakat lalu bagaimana. Ini fungsi pemberdayaannya dimana. Uang itu harus berputar di desa-desa bukan beri kasi pengusaha,” tandasnya.
Piter menduga jangan sampai bantuan perumahan ini ditenderkan ke pihak ketiga sehingga merugikan masyarakat yang seyogyanya harus mendapatkan keuntungan dari program bantuan ini.
Dia menuturkan material batu merah yang dijual rata-rata seharga Rp 700 per batang tetapi karena di dalam RAB tercantum seharga Rp 1000 maka ditunjuk penyedia untuk mengadakannya. Oleh karena itu, dia sangat berharap tim teknis dan pemerintah bisa bekerja sesuai petunjuk teknis (juknis).
“Padahal kalau warga beli sendiri bisa lebih berhemat,” tandasnya.
Abubakar Sulang menyebutkan dalam kunjungan kerjanya ke Boto, ditemukan banyak rumah penerima bantuan yang belum tuntas 100 persen. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena penyedia material lokal berasal dari satu pengusaha saja.
“Seharusnya uang bantuan itu ditransfer ke rekening penerima dan dibelanjakan di bawah pengawasan tim teknis dan bukan diarahkan ke penyedia tunggal,” katanya dengan tegas.
Masalah ini, lanjut Mantan Kepala Desa Leuayan ini, belum termasuk dengan masalah ditemukannya warga desa yang berada di Malaysia tetapi tetap mendapatkan bantuan perumahan.
Ketiga anggota DPRD Kabupaten Lembata ini meminta pihak kejaksaan dan kepolisian untuk mengusut tuntas permasalahan bantuan perumahan ini. (Jefri)