Misi Pendamaian Yang Sejati (Khotbah oleh Pendeta Boy Nggaluama)

Refleksi Minggu sengsara VII, 13 April 2025 (Pdt. Boy Nggaluama, S. Th)

Bacaan : Matius 21:1-11

Nats pembimbing : Roma 5:1

Shalom, selamat memasuki minggu sengsara Yesus (pra paskah)yang ketujuh. Kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem menjadi bacaan yang menuntun kita untuk memahami tema kita (saya lebih memilih tema “Misi pendamaian yang sejati” sesuai yang diliturgi agar berkesesuaian antara tema dan liturgi).Mari saya ajak kita untuk merefleksikan beberapa hal penting dari bacaan ini disesuaikan dengan tema kita:

A. Pengantar teks dan konteks

Injil Matius ditulis terutama untuk pembaca Yahudi, dan sangat menekankan bahwa Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Matius banyak mengutip nubuat untuk menunjukkan bahwa peristiwa dalam kehidupan Yesus adalah penggenapan janji Tuhan. Pasal 21 adalah awal dari bagian terakhir Injil Matius: Yesus memasuki Yerusalem untuk menggenapi karya penebusan-Nya (pasal 21–28). Yerusalem saat itu dipenuhi peziarah yang datang untuk merayakan Paskah(perayaan pembebasan Israel dari Mesir). Flavius Josephus, The Jewish War, Book 6, Chapter 9, Paragraph 3, Josephus menyebut bahwa saat Paskah terakhir sebelum Bait Suci dihancurkan (sekitar tahun 70 M), jumlah kurban Paskah yang dipersembahkan mencapai 256.500 ekor domba.

Dan menurut hukum Yahudi, satu ekor domba Paskah dapat dikonsumsi oleh 10 orang atau lebih. Jadi, berdasarkan hitungan Josephus:
256.500 domba x ±10 orang per domba = ±2,700,000 orang. (Banyak penafsir meragukan hal ini, namun yang jelas bahwa ada begitu banyak orang yang ada di Yerusalem setiap perayaan Paskah).

Dalam Injil, Yesus memang tercatat beberapa kali pergi ke Yerusalem, meskipun catatan yang paling rinci banyak kita temukan dalam Injil Yohanes. Menurut Injil Yohanes, Yesus tampaknya pergi ke Yerusalem beberapa kali untuk menghadiri perayaan-perayaan Yahudi: Yohanes 2:13 – Yesus pergi ke Yerusalem untuk Paskah, setelah mujizat di Kana, Yohanes 5:1– Disebut Yesus pergi ke Yerusalem untuk “hari raya orang Yahudi” (kemungkinan Pentakosta atau Paskah lagi). Yohanes 7:10 – Yesus pergi ke Yerusalem untuk Hari Raya Pondok Daun.Yohanes 10:22 – Ia juga hadir dalam Hari Raya Penahbisan (Hanukkah). Sementara dalam injil Lukas 2:41-52 mencatat bahwa Yesus dibawa ke Yerusalem saat berusia 12 tahun untuk merayakan Paskah. Ini menunjukkan bahwa keluarga-Nya taat hukum Taurat dan Yesuspun seorang Yahudi yang taat pada hukum Taurat.

Namun, kedatangan Yesus ke Yerusalem (yang terakhir) ini berbeda dan tidak seperti biasanya. Ia disambut oleh orang banyak layaknya seorang raja. Mengapa? Karena:

1. Konteks sosial dan politik orang Yahudi waktu itu

Bangsa Israel saat itu berada di bawah penjajahan kekaisaran Romawi. Mereka hidup dalam tekanan dan penindasan (padahal mereka adalah umat pilihan). Di tengah penderitaan itu, orang Yahudi sangat merindukan Mesias, yaitu sosok Raja terurapi dari keturunan Daud yang akan: membebaskan mereka dari penjajahan, mengembalikan kemuliaan Israel seperti zaman Raja Daud dan Salomo dan memerintah dengan adil dan benar.Secara politis, Orang Yahudi mengharapkan seorang Mesias duniawi dan politis, yang akan menggulingkan Romawi dan mendirikan kembali kerajaan Israel secara fisik.

Itulah sebabnya orang banyak menyambut Yesus layaknya seorang raja, mereka menghamparkan pakaian di jalan (menghamparkan pakaian = penghormatan terhadap Raja, ex: 2 Raja-raja 9:13) Ini adalah tindakan simbolik tunduk dan hormat kepada raja yang sah. Maka, saat Yesus dielu-elukan dan mereka menghamparkan pakaian, itu adalah tanda bahwa mereka mengakui-Nya sebagai Mesias Raja.

Mereka juga memotong ranting dari pohon-pohon (dari pohon palem (daunnya), Yoh. 12:13) dan menyebarkannya di jalan.Ranting-ranting dan daun palem = tanda kemenangan dan kebebasan. Daun palem adalah simbol kemenangan dan sukacita (lih. Wahyu 7:9).

Dalam konteks sejarah Yahudi, daun palem menjadi simbol nasional Yahudi sejak kemenangan Makabe atas penjajahan Yunani (164 SM). Jadi, pemotongan ranting dan penghamparan di jalan adalah ekspresi pengharapan akankemenangan dan pembebasan politik dari Roma. John CalvinKomentar atas Injil Sinoptik “Mereka menghamparkan pakaian dan ranting sebagai bentuk penghormatan kepada Yesus, sebagaimana yang dilakukan kepada raja. Namun, tindakan ini dilakukan lebih karena semangat dan emosi sesaat, bukan karena pengenalan sejati akan misi Kristus yang rohani.”

2. Pengharapan orang Yahudi (Pengharapan Mesianik)

Orang Yahudi memiliki pengharapan kuat bahwa Allah akanmengirim Mesias (Ibrani: Mashiach = yang diurapi) yang akan:membebaskan umat Israel dari musuh-musuh mereka (Lukas 1:71 “nyanyian pujian Zakaria”), membangun kembali kerajaan Daud (Yesaya 9:6), memerintah dalam damai dan keadilan (Yeremia 23:5-6 “Tunas adil, Raja yang bijaksana yang akan memberikan ketentraman”).  

Ketika Yesus masuk Yerusalem, mereka mengira nubuatan-nubuatan ini sedang digenapi secara harfiah dan politis. Harapan yang sangat kuat inilah yang mendorong orang banyak mengikuti Yesus dari belakang dan berseru: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosanna di tempat yang maha tinggi!” Kutipan “Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan” berasal dari Mazmur 118:26, bagian dari liturgi Halel yang biasa dibacakan pada hari raya Paskah Yahudi.

3. Makna Paskah Yahudi

Paskah Yahudi (Pesakh) memperingati: pembebasan bangsa Israel dari Mesir (Keluaran 12), Tuhan menyelamatkan umat-Nya melalui darah anak domba di ambang pintu dan Musa sebagai pemimpin yang membawa mereka keluar dari perbudakan. Dalam tradisi Yahudi, Pesakh bukan hanya mengenang pembebasan masa lalu dari Mesir, tetapi juga mengandung pengharapan eskatologis (masa depan) akanpembebasan yang lebih besar, yaitu pembebasan Mesianik.Ulangan 18:15 “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku (Musa), akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan.” Ayat ini dipahami oleh banyak orang Yahudi sebagai nubuat tentang Mesias. Dalam konteks Paskah, Mesias diharapkan menjadi “Musa yang baru”, yang akan membawa pembebasan dari segala bentuk penindasan. Petrus secara eksplisit mengutip Ulangan 18:15 dalam Kisah Para Rasul 3:22dan menyatakan bahwa Yesuslah penggenapan nubuat itu.

4. Mengapa Yesus?

Banyak orang Yahudi pada waktu itu menganggap mujizat-mujizat Yesus, sebagai bukti bahwa Ia bisa menjadi Mesias dalam pengertian politik dan nasionalis, sesuai harapan mereka.Yesus melakukan banyak mujizat, tapi salah satu yang paling mengejutkan dan bersifat publik adalah kebangkitan Lazarus di Betania, tidak jauh dari Yerusalem, hanya beberapa waktu sebelum Paskah: Yohanes 11:43-44 “Lazarus, marilah keluar!” Orang yang telah mati itu keluar… Peristiwa ini terjadi di depan umum, disaksikan oleh banyak orang Yahudi sehingga menimbulkan gelombang besar pengikut dan antusiasme. Orang Yahudi saat itu menafsirkan mujizat besar sebagai tanda ilahibahwa seseorang adalah utusan Allah dan secara khusus, bisa jadi Mesias. Yohanes 6:14 “Sesudah orang-orang itu melihat mujizat yang diadakannya, mereka berkata: ‘Dia ini adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dalam dunia.’” N.T. Wright (Jesus and the Victory of God) “Orang-orang Yahudi menafsirkan kebangkitan Lazarus sebagai tanda bahwa “zaman Mesias sudah datang”, dan karena Mesias mereka harapkan sebagai raja-politik, mereka mengira inilah saatnya Israel menang atas Roma dan harapan mereka akan terkabul.” Karena situasi ini menjelang perayaan Paskah Yahudi maka mereka menganggap bahwa Yesus adalah “Musa baru”.

Mereka mengasosiasikan kuasa kebangkitan dengan kuasa pembebasan politik. Jika Yesus bisa mengalahkan maut, tentu Ia bisa mengalahkan Roma, pikir mereka. Kenapa mereka berpikir seperti ini? Karena:

Orang Yahudi percaya bahwa setelah nabi Maleakhi (sekitar 430 SM), tidak ada lagi nabi yang diutus Allah. Masa ini dikenal sebagai: Periode Intertestamental – antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Selama masa ini: tidak ada nabi besar seperti Yesaya, Yeremia, atau Elia. Tidak ada suara kenabian langsung dari Tuhan seperti sebelumnya, mereka hanya berpegang pada hukum taurat dan tradisi lisan (Talmud).

Harapan akan Mesias sangat kuat karena mereka merasa Allah “diam”.

Itulah mengapa muncul istilah “masa keheningan Tuhan” (divine silence) selama kira-kira 400 tahun. Selama masa sunyi ini, umat Israel mengalami:

• Penjajahan bergantian oleh Persia, Yunani (di bawah Aleksander Agung), dan akhirnya Romawi.

• Pemberontakan Makabe (sekitar 167–160 SM) melawan penguasa Yunani demi mempertahankan hukum Yahudi.

• Korupsi rohani oleh kelompok Saduki dan Farisi, yang sibuk dengan hukum tetapi miskin secara spiritual.

Kenyataan inilah yang menimbulkan kerinduan besar akanhadirnya Mesias dan pemulihan mujizat seperti zaman Musa dan Elia dan ketika melihat sosok Yesus, mereka percaya bahwa pembebasan sudah di depan mata, Allah tidak lagi “berdiam diri”. Allah hendak menyelamatkan umat-Nya dari penindasan seperti ketika mengeluarkan nenek moyang mereka dari perbudakan di Mesir yang disertai dengan banyaknya mujizat. Bagi mereka, “Yesus adalah penggenapan janji Allah melalui nubuatan para nabi”.

B. Pesan teks

1. Yesus menangisi Yerusalem

“Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, katanya: ‘Wahai Yerusalem, sekiranya pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, mengepung engkau dari segala penjuru, dan mereka akan membinasakan engkau bersama dengan pendudukmu, dan tidak akan membiarkan satu batu pun tetap berdiri di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat Allah melawat engkau.” (Lukas 19:41–44). Kenapa Yesus menangis?

1) Konteks emosional: “Ia menangisinya…”

Yesus tidak bersukacita melihat kota yang menyambut-Nya dengan sorak-sorai “Hosana” (ay. 9), tetapi menangis (kata Yunani: eklausen – artinya “menangis keras, tersedu-sedu”) saat melihat Yerusalem. Ini bukan tangisan sentimental, melainkan ratapan profetik—seperti nabi Yeremia menangisi kehancuran Yerusalem dahulu kala (Ratapan 1–5). Tangisan ini menyatakan:kesedihan Ilahi atas penolakan umat-Nya serta kasih Allah yang dalam, yang tidak bersukacita atas kehancuran tetapi meratap karena kasih-Nya tidak dipahami bahkan ditolak.

2) Nubuatan Yesus: “Engkau tidak mengetahui saat Allah melawat engkau…”

Yesus justru menubuatkan: pengepungan dan kehancuran Yerusalem (digenapi tahun 70 M oleh Jenderal Titus dari Roma).Hancurnya Bait Allah, bahkan “tidak satu batu pun akan dibiarkan berdiri di atas batu yang lain” (juga dikuatkan dalam Lukas 21:6; Markus 13:2; Matius 24:2). Yesus berkata bahwa semua ini terjadi karena: “Engkau tidak mengetahui saat Allah melawat engkau.” Ini berarti: umat Israel gagal mengenali waktu “kunjungan” Tuhan melalui kehadiran Yesus.

3) Maksud “damai sejahtera” yang tidak dimengerti

Yesus berkata: “Sekiranya pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu…” Damai sejahtera di sini adalah shalom, bukan hanya bebas dari konflik, tetapi keselamatan sejati dari Allah. Orang banyak berpikir Mesias akan membawa damai secara politis—membebaskan mereka dari penindasan Romawi. Namun Yesus datang membawa damai antara manusia dan Allah, bukan dengan pedang, tetapi melalui salib, sebagai Hamba Tuhan yang menderita (tunas dari tanah kering) agar manusia hidup dalam damai sejahtera dengan Allah. (bdk. Yesaya 53; Roma 5:1).

4) Kekeliruan pemahaman Mesianis orang Yahudi

Orang-orang Yahudi memiliki harapan besar akan kedatangan Mesias. Namun, pengertian mereka lebih bersifat politis dan nasionalis daripada rohani. Mereka membayangkan Mesias sebagai: Raja Daud kedua yang akan mengalahkan penjajah Roma, membangun kembali kerajaan Israel secara politik,membebaskan bangsa Israel dari penindasan dan memerintah dalam kemuliaan sebagai pemimpin dunia. Namun, Yesus datang bukan sebagai Mesias politik, melainkan sebagai: Hamba yang menderita (Yesaya 53), Pembawa pengampunan dan pendamaian, bukan peperangan, Raja yang rendah hati dan lemah lembut (Zakharia 9:9), dan penebus dosa, bukan penakluk militer.

Yesus memasuki Yerusalem menunggang keledai muda (cf. Zakharia 9:9) bukan kereta perang sebagai tanda Mesias damaiyang membawa misi perdamaian yang sejati, bukan perang(Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut…Matius 21:5). Namun orang banyak menyambut-Nya seperti “penyelamat militer”: “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan!” (Lukas 19:38). Dan menyerukan Hosana..(selamatkanlah kami sekarang) mereka berharap diselamatkan dari segala penindasan yang ada. Namun, ketika Yesus tidak memenuhi harapan politik mereka, banyak dari mereka kemudian berteriak: “Salibkanlah Dia!” (Lukas 23:21). N.T. WrightJesus and the Victory of God: “Orang Yahudi menyambut Yesus dengan harapan revolusi politik, tetapi Yesus datang untuk membawa revolusi salib.” R.C. SproulLuke Expositional Commentary: “Yesus menangis karena Ia tahu bahwa penghakiman akan datang atas Yerusalem dan bahwa itu terjadi karena mereka tidak mau menerima Dia sebagai Mesias sejati.”

2. Orang banyak (orang Yahudi) salah mengenal Yesus

Meskipun orang banyak berseru “Hosana bagi Anak Daud!” (ay. 9) — yang merupakan pengakuan mesianik — respon mereka di ayat 11 menunjukkan keterbatasan pemahaman mereka. Mereka hanya menyebut Yesus sebagai:

“Nabi”, bukan Mesias ilahi.

“dari Nazaret”, sebuah kota kecil dan tidak terpandang di Galilea, bukan dari Betlehem, kota Daud.

Ini mencerminkan bahwa:

• Banyak dari mereka belum memahami identitas penuh Yesussebagai Anak Allah, Mesias sejati. Mereka tidak mengenal Yesus dengan baik dan benar karena “dibutakan” oleh keinginan dan pengharapan yang eksklusif.

• Mereka mengagumi karya-karya-Nya sebagai nabi dan pembuat mujizat, tapi belum menangkap kedalaman misi penebusan-Nya melalui karya salib.

• Mereka juga tidak memahami dengan benar “pesan Tuhan” melalui nubuatan para nabi. Hal ini dikarenakan mereka menempatkan nubuatan untuk kepentingan pribadi, hal itu tercermin dari penafsiran mereka terhadap Taurat hanya secara lahiriah bukan secara rohani/spiritual.

Craig BlombergThe New American Commentary: Matthew “Penyebutan Yesus sebagai nabi oleh orang banyak adalah pengakuan yang positif, tetapi belum lengkap. Mereka mengakui kuasa nubuat dan mujizat, namun tidak menangkap bahwa Ia adalah Mesias yang menderita dan Anak Allah.”

Karena pengenalan yang salah terhadap Yesus inilah yang membuat hati mereka cepat berbalik dari Yesus. Ketika Yesus tidak sesuai ekspektasi mereka, mereka kemudian menjadi orang yang justru membawa Yesus ke meja pengadilan dan berteriak dengan suara lantang “salibkanlah Dia” sebagai bentuk kekecewaan akan harapan yang semu dan tidak sesuai dengan kenyataan dan keinginan mereka. Mereka hanya menempatkan Yesus sebagai sosok yang harus mengikuti kehendak dan harapan mereka tanpa melihat Yesus sebagai Anak Allah yang datang untuk menyelamatkan manusia (termasuk mereka) dari belenggu dosa dan membawa pendamaian antara manusia dengan Allah (misi pendamaian yang sejati). Yesus justru memilih taat pada kehendak Bapa-Nya. (Yesaya 53:5-6) inilah misi pendamaian yang sejati namun disalah-pahami dan ditolak oleh orang banyak.

C. Implikasi dari teks disesuaikan dengan tema

1. Sudahkah kita mengenal Yesus dengan baik dan benar?

Perayaan 7 minggu sengsara, Perjamuan Kudus, Jumat Agung dan Paskah yang kita rayakan harusnya membuat kita mengenal dan mengimani serta mengaminkan Yesus sebagai Hamba Tuhan yang menderita gantikan kita, Sang Raja Damai yang merelakan diri-Nya dipakukan di kayu salib untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan dosa kita. Dia yang telah mati untuk memulihkan relasi (mendamaikan) kita dengan Sang Bapa dan yang telah bangkit untuk memproklamirkan kemenangan atas kuasa dan intimidasi iblis sehingga menjadikan kita anak-anak Allah ahli waris Kerajaan Sorga yang berhak menikmati hidup yang kekal di Rumah Bapa. Semua perayaan tahun ini haruslah disematkan dalam “bingkai” iman ini. Bukan hanya sekedar perayaan sebatas “pengakuan” dan “seruan” tanpa makna.Perayaan-perayaan ini bukanlah sebatas “seremoni” belaka yang ditampilkan dalam setiap perlombaan dan kegiatan-kegiatan semata. Tetapi biarlah ini menjadi kesempatan untuk kita lebih mengenal dan mendekat kepada Yesus agar dapat mengetahui kehendak Yesus dalam hidup kita.

Jangan hanya salib yang dihias tapi hati kita juga harus “dihias”. Ingat, jika kita salah mengenal Yesus, maka kita akan sama seperti Yudas yang menjual Yesus, Petrus yang menyangkal Yesus, Yakobus dan Yohanes yang menginginkan jabatan, murid-murid yang bertengkar siapa yang terbesar dan orang banyak yang awal berseru hosanna tapi kemudian berteriak salibkan Dia.. (miripRuben Onsu yang viral akhir-akhir ini..hahaha). Jika kita mengenal Yesus dengan benar, kita akan: menerima pendamaian-Nya di kayu salib, mengikuti-Nya dalam ketaatan penuh dan menjadi duta pendamaian bagi dunia (2 Kor. 5:19, 20). Kalau kita adalah murid Yesus maka kita akan melanjutkan misi pendamaian yang sejati (sebagai agen misi pendamaian).

Di minggu terakhir masa sengsara ini, sebenarnya kita dituntun untuk berdamai satu dengan yang lain sebelum kita mengikuti Perjamuan Kudus, memaknai Jumat Agung dan merayakan kemenangan Paskah. Jangan samapai Yesus “menangis” karena kita tidak memahami misi-Nya. Pulihkanlah relasimu dengan Tuhan, berdamailah dengan dirimu, seisi rumahmu dan sesamamu.

2. Misi pendamaian yang sejati

Pendamaian (atonement) berarti tindakan Allah dalam Kristus untuk memulihkan hubungan yang rusak antara Allah dan manusia akibat dosa. Dalam konteks ini, Yesus Kristus adalah perantara (mediator)yang membawa pendamaian itu melalui pengorbanan-Nya di salib. “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus…” (2 Korintus 5:19).

Yesus datang sebagai domba Paskah, Yesus datang untuk mengganti korban-korban binatang dalam sistem Taurat, dengan menjadi korban yang sempurna, sekali untuk selamanya (Ibrani 10:10). Yesus memberi makna baru bagi Paskah Yahudi. Yesus membawa pendamaian melalui salib, Roma 5:10 – “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya…” Salib adalah tindakan kasih dan keadilan Allah: kasih karena Ia mengampuni, keadilan karena dosa tetap dihukum, namun ditanggung oleh Kristus. Yesus sebagai Pengantara satu-satunya. 1 Timotius 2:5“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Ia menjadi jembatan antara Allah dan manusia, menyelesaikan perpisahan akibat dosa sejak Taman Eden. John Calvin menekankan dua aspek pentingdari pendamaian: penebusan melalui penderitaan dan rekonsiliasi melalui kebangkitan. Pendamaian sejati adalahpemulihan hubungan, Yesus menghapus penghalang antara kita dan Allah. Kita tidak lagi musuh, tetapi anak-anak Allah (Roma 8:15-16). Pendamaian mengubah hidup kita, pendamaian bukan hanya untuk masuk surga, tapi untuk hidup dalam rekonsiliasi dengan sesama (Efesus 2:14-16). Pendamaian memberi damai sejati, damai bukan hanya tidak adanya konflik, tetapi keutuhan batin karena diperdamaikan dengan Allah (Yohanes 14:27).

Selamat mempersiapkan khotbah, kiranya refleksi ini bisa memperkaya referensi kita.

Komentar Anda?

Related posts