OPINI
Penulis: Drs. Fransiskus Sili, SMK Negeri 5 Manado
Manusia merupakan makluk yang bergelut secara intens dengan pendidikan. Itulah sebabnya manusia dijuluki animal educandum dan animal educandussekaligus. Maksudnya, manusia adalah makluk yang dididik dan makluk yang mendidik sekaligus. Dengan demikian manusia adalah makluk yang senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, entah yang dilakukan untuk dirinya sendiri maupun yang dilakukan bagi orang lain. Dalam arti inilah, UNESCO yang bergumul dengan berbagai masalah pendidikan dan kebudayaan mencanangkan konsep, pendidikan sepanjang hayat, life long education, dan proses ini berlangsung sejak di buaian hingga ke liang lahat, from the cradle to the grave.
Pendidikan sebagai upaya manusiawi merupakan aspek dan hasil budaya terbaik yang diharapkan mampu disediakan dan ditawarkan kepada setiap generasi manusia untuk menjalani kehidupan dan cara hidup mereka sesuai konteks sosio budaya. Karena itu, agar setiap masyarakat harus senantiasa menyiapkan warga terpilih sebagai pendidik demi kelanjutan generasi masyarakat yang bersangkutan. Demi tercapainya tujuan ini, pendidikan mutlak diperlukan, pendidikan yang melampaui tata aturan di dalam keluarga untuk meningkatkan harkat dan kepribadian individu agar berkembang menjadi manusia cerdas.
Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa persoalan pendidikan merupakan suatu persoalan yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen dan membutuhkan kerja sama dan jalinan pemikiran teoritis sebagai dasar dalam pengambilan keputusan pendidikan serta pemahaman beragam gejala yang faktual dan aktual melibatkan pembicaraan berbagai unsur yang terkait langsung di dalam proses pendidikan.
Karena pendidikan melibatkan berbagai komponen dan banyak unsur terkait di dalamnya, maka tidak mengherankan bahwa dalam proses pendidikan pada umumnya, dan pembelajaran khususnya, sering muncul masalah, baik karena kelemahan para pelaku pendidikan itu sendiri maupun yang muncul sebagai tantangan zaman yang berubah.
Kemajuan zaman dengan tantangan yang kian kompleks menantang guru, untuk terus belajar dan kreatif dalam mengembangkan diri, serta terus berupaya menyesuaikan diri dengan pengetahuan dan cara mengajar yang memadai dengan aneka penemuan baru, baik dalam pendidikan itu sendiri maupun bidang ilmu lain yang terkait. Dengan demikian pemahaman beragam unsur dan kendala dalam pendidikan dapat diantisipasi. Berbagai masalah dalam bidang pendidikan apabila tidak dapat dihilangkan paling tidak diminimalisir sehingga persoalan yang muncul itu tidak menghambat tercapainya pendidikan pada umumnya atau tujuan pembelajaran pada khususnya.
Karena pendidikan melibatkan berbagai komponen, maka ia lalu menjadi sistem, yang dalam konteks bangsa menjadi sistem pendidikan nasional, seperti yang dikembangkan di Indonesia. Namun sistem pendidikan yang dibangun dan dikembangkan harus diletakkan atas dasar yang kokoh kuat. Pertanyaannya, manakah dasar atau landasan itu? Dalam tulisan ini, kami membatasi diri pada Landasan Budaya/Kultural dalam Sistem Pendidikan Nasional.
Suatu landasan pendidikan hendaknya dibangun diatas pemahaman tentang manusia. Siapakah manusia? Jawaban atas pertanyaan di atas berkenaan dengan hakekat manusia, dan salah satu hakekat dasar manusia adalah manusia sebagai makluk yang multi dimensional, kumpulan terpadu (integrated) dari hakekat manusia itu sendiri: (makluk fisik-biologis), makluk individual dan makluk sosial, makluk rasional, makluk religius, makluk berbudaya dan sebagainya. Disebut hakekat manusia, karena secara hakiki sifat-sifat di atas hanya dapat dikenakan kepada manusia. Karena itu sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan dimaksudkan untuk membantu manusia mengembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Maka pemahaman kita tentang hakekat manusia ini akan membantu membentuk peta tentang karakteristik manusia, dan akan menjadi landasan serta acuan untuk bertindak, bersikap, menyusun strategi dan metode serta teknik, dan memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional dalam interaksi edukatif.
Sifat hakekat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil membedakan manusia dan hewan. Sifat hekekat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Memahami sifat hakekat manusia penting karena pendidikan adalah praktek berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sisematis dan universal tentang ciri hakiki manusia. Dan bersifat normatif karena pendidikan memiliki tugas menumbuh-kembangkan sifat hakekat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Ciri khas manusia itu misalnya adanya kemampuan menyadari diri dan lingkungan, kemampuan bereksistensi, memiliki hati nurani dan moralitas, kemampuan berkehendak bebas dan bertanggungjawab, dan sebagainya.
Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sangat kompleks sifatnya. Karena kompleksitas sifatnya itu, maka tak suatu batasan pun dapat menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan seperti yang diperlihatkan banyak tokoh pun beragam dan kandungannya saling berbeda. Perbedaan itu diberi tempat mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan atau falsafah yang melandasinya. Pendidikan dalam pengertian yang paling luas memainkan peranan yang amat besar untuk mewujudkan perubahan mendasar dalam cara hidup kita dan bertindak. Ia adalah kekuatan masa depan karena merupakan alat perubahan yang amat ampuh.
Sebelum menjelaskan tentang pengertian pendidikan, sekedar kilas balik, kita ingat kembali istilah Ilmu Pendidikan (paedagogik) dan Pendidikan (paedagogie), yang sebetulnya punya makna berbeda. Ilmu pendidikan punya makna yang sama dengan Paedagogik, sedangkan Pendidikan sama dengan paedagogie. Ilmu Pendidikan (paedagogik) menunjuk pada pemikiran dan permenungan tentang pendidikan, misalnya bagaimana tentang sistem pendidikan, tujuan pendidikan, materi pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, yang semuanya berkaitan dengan teori. Sedangkan pendidikan (paedagogie) menunjuk pada praktek, misalnya kegiatan belajar-mengajar. Meskipun memiliki makna berbeda, keduanya tak bisa dipisahkan, dan harus berdampingan dan memperkuat demi peningkatan mutu dan tujuan pendidikan.
Secara etymologis, paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata yakni: pais (anak) dan againditerjemahkan dengan membimbing. Jadi pendidikan secara etimologis menunjuk pada bimbingan yang diberikan kepada anak. Pengertian ini nampak pula dalam batasan pendidikan menurut Prof. Langeveld, seorang ahli paedagogik dari Belanda, bahwa pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh seorang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan.
Pendapat beberapa tokoh diangkat sebagai model. John Dewey: pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Hoogeveld: mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggungjawabnya sendiri. SA. Branata, dkk: Pendidikan adalah usaha sengaja yang diadakan baik langsung maupun tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya. Ki Hajar Dewantara: mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Dari batasan dan sejumlah pengertian di atas, terkandung sejumlah aspek yang berhubungan dengan usaha pendidikan, yaitu bimbingan sebagai suatu proses, orang dewasa sebagai pendidik, anak sebagai manusia yang belum dewasa dan yang terakhir adalah tujuanpendidikan. Dengan istilah bimbingan dimaksudkan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang disadari, serta penuh tanggungjawab dilaksanakan oleh orang yang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi keduanya, dan anak tersebut dalam berkembang mencapai kedewasaan dan berlangsung terus-menerus.
Masalah dasar dan tujuan pendidikan adalah suatu masalah yang fundamental dalam pelaksanaan pendidikan. Dari dasar pendidikan itulah kita akan menentukan corak dan isi pendidikan. Dan dari tujuan pendidikan kita akan menentukan ke arah mana anak didik itu dibawa. Karena pentingnya pendidikan itu bagi bangsa dan negara, maka hampir seluruh negara di dunia menangangi secara langsung masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan dari sanalah ditentukan dasar dan tujuan pendidikan itu.
Menurut Socrates, tujuan pendidikan ialah mengembangkan daya pikir sehingga memungkinkan orang mengerti pokok-pokok kesusilaan. Dan menurut Plato, tujuan pendidikan adalah menjadikan individu bahagia dan berguna bagi negara, bahkan keadilan melalui pimpinan raja yang bijaksana. Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan membuat kehidupan rasional. Individu bersama dengan orang lain hendaknya tingkahlakunya dipimpin oleh akal. Akhirnya menurut Santo Agustinus, tujuan pendidikan adalah cinta sepenuhnya kepada Tuhan agar mendapatkan ketentraman di alam baka kelak. John Locke, tujuan akhir pendidikan adalah pembentukan watak, perkembangan manusia sebagai suatu kebulatan moral, jasmani dan moral. John Dewey, tujuan pendidikan adalah membentuk anak untuk menjadi warga negara yang baik.
Kalau kita memperhatikan rumusan tujuan-tujuan pendidikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membantu manusia agar berkembang dalam semua dimensi hidupnya sebagai manusia.
Hampir dimana-mana terjadi, negara berkepentingan mengurusi pendidikan bagi warga negaranya. Hal ini berangkat keyakinan dasar hakekat manusia, adanya manusia adalah ada bersama dan dalam kebersamaan ini bisa berkembang secara wajar sebagai manusia seutuhnya, lewat proses sosialisasi diri, asuhan dan tuntunan pendidikan. Hasil dari kebersamaan itulah yang kemudian membentuk negara, yang merupakan sesuatu dari, oleh dan untut rakyat.
Karena negara terbentuk oleh individu yang ingin mendelegasikan haknya untuk mengatur hidup bersama, maka sebenarnya tujuan negara adalah tujuan rakyat yang membentuk negara tadi. Negara adalah organisasi politik yang dibentuk oleh rakyat. Negara inilah yang berkepentingan mengurusi masalah pendidikan bagi para warganya. Sebabnya antara lain, faktor tumbuhnya demokrasi politik, dan kebutuhan akan warga negara yang terdidik yang diperlukan untuk memajukan bangsa dan negara di era modern.
Karena itu sekolah, akademi, universitas, sertaagen-agen pendidikan yang memberikan informasi ilmiah, pengalaman teknis, dan pendidikan kepada rakyat banyak diselenggarakan oleh pemerintah. Sedangkan lembaga-lembaga swasta yang ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraannya, justru perlu didorong dan dibantu usahanya oleh pemerintah. Sebab perkembangan satu negara banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan dan kualitas keahlian rakyatnya. Karena itu perlu diadakan sistem pendidikan dan persekolahan yang teratur, maju, progresif dan diurus oleh negara.
Tentang tujuan pendidikan di Indonesia, perumusannya pun telah berkembang seiring dengan perkembangan dan tuntutan kemajuan. dalam UU no. 20 tahun 2003 (pasal 3): Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Setiap negara memiliki Sistem Pendidikan Nasional masing-masing bangsa berdasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaannya. Setiap kebudayaan tentu sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingga mewarnai gerak hidup negara itu. Begitu pun dengan Indonesia.
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia disusun berdasarkan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa sehingga, meskipun secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional negara lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan bangsa Indonesia yang secara geografis, demografis, historis dan kultural memiliki cirinya yang khas. Namun selalu ditempatkan dalam bingkai tujuan negara bangsa kita, seperti terungkap dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan negara itu antara lain, antara mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam sistem pendidikan nasional kita diatur antara lain, kelembagaan, program dan pengeloloaan pendidikan. Dalam UU RI no. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, tentang jalur pendidikan dibedakan pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal dan pendidikan informal, pendidikan anak usia dini, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan jarak jauh, pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Namun semua sistem Pendidikan Nasional disusunatas dasar landasan tertentu: Landasan filosofis, yuridis, sosial, budaya, iptek dan sebagainya. Saya membatasi diri untuk membahas tentang landasan kultural/budaya sistem pendidikan nasional.
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangsetiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 ayat 3 disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Ini menunjukkan kaitan antara pendidikan dan kebudayaan, kebudayaan yang mesti menjadi landasan suatu sistem pendidikan.
Secara harafiah kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhiyang berarti budi atau akal. Budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada juga ahli yang menyatakan bahwa budaya berasal dari kata budi-daya yang berarti daya dari budi. Jadi, kata budaya atau daya dari budi itu berarti cipta, karsa, dan rasa.
Budaya sebagai kata benda sebenarnya merupakan terjemahan dari culture (Inggris) atau cultuur (Belanda). Kata-kata asing tersebut berasal dari bahasa Latin cultura yang berarti pemeliharaan, pengolahan, dan penggarapan tanah. Kata kerjanya adalah colere, mengelolah atau memelihara. Kemudian muncullah culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.Antropologi mengakui adalah sulit untuk mendefinisikan budaya dalam satu batasan yang baku. Misalnya Sir Edwar Burnet Tylor, seorang ahli antropolgi dari Inggris, pada tahun 1871 untuk pertama kalinya mendefinisikan budaya secara rinci sebagai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lain-lain kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Prof. Dr. Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar; William A. Haviland, seorang ahli antropolgi Amerika, mendefinisikan budaya sebagai seperangkat peraturan yang standar, yang apabila dipenuhi atau dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya akan menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh anggota masyarakatnya.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Adanya unsur-unsur budaya berupa perilaku yang nyata di satu pihak dan di lain pihak adanya unsur-unsur budaya berupa nilai-nilai, kepercayaan, norma dan perilaku manusia. 2) Budaya dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. 3) Budaya terbentuk sebagai hasil belajar.
Dari budaya ini kemudian berkembanglah istilah kebudayaanSelo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, ciptamerupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta merupakan baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat.
Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional melihat kebudayaan sebagai buah budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuatyakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran hidup, dan atas cara itu dapat membantu manusia hidup dengan aman dan tertib.
Kebudayaan sebagai gagasan dan karya manusia beserta hasil budi dan karya itu akan selalu terkait dengan pendidikan, utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti luas tersebut dapat berwujud: ideal seperti ide, gagasan, nilai dan sebagainya; kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; fisik yakni benda hasil karya manusia. Semuanya dapat dibentuk, dilestarikan atau dikembangkan dan melalui pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal, kelakuan dan teknologi dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan fungsi pokok setiap sistem pendidikan adalah untuk mengajarkan anak-anak pola tingkah laku dan karakter yang esensial. Pertanyaan yang muncul dalam kondisi masyarakat kita sekarang, dalam konteks PJJ, bagaimana menanamkan nilai dan karakter sementara guru hanya berjumpa dengan siswanya secara virtual. Di sinilah peran orang tua dan keluarga sebagai pendidik pertama dan terutama.
Cara-cara untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkahlaku kepada generasi baru, berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain. Umumnya ada tiga cara yaitu cara informal, nonformal dan formal. Dengan cara formal melibatkan lembaga yang khusus dibentuk untuk tujuan pendidikan. Pendidikan formal tersebut dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Masyarakat senantiasa melakukan perubahan yang disesuaikan dengan kondisi baru sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai dan norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha menuju pola tingkah laku, norma dan nilai-nilai baru disebut transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.
Pertanyaannya, mengapa Landasan Kultural?Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa sistem pendidikan kita harus dibangun di atas landasan budaya.Pertama, Pendidikan sebagai perwujudan aspirasi dan kebudayaan bangsa. Wawasan kultural mengenai pendidikan diperlukan karena upaya mendidik selalu berlangsung dalam satu lingkungan budaya tertentu. Untuk tanah air kita adalah lingkungan kebudayaan Indonesia. Pendidikan sebagai kegiatan membangun wujud anak manusia akan terus-menerus mengalami perubahan, seiring dengan berubahnya kondisi sosio-kultural wilayahnya, yang dipengaruhi faktor waktu dan proses modernisasi sebagai intervensi akal dan tangan manusia terhadap alam sekitar. Oleh karena pentinglah bagi kita bahwa, pertama, memahami fungsi pendidikan di tengah lingkungan bangsa dan konteks kulturalnya, tempat anak dan orang dewasa menyadari kemanusiaannya secara bersama-sama dengan orang lain; dan yang kedua, khususnya memahami bagaimana satu generasi menghayati lingkungan sosio-budaya sendiri, sehingga muncul gaya hidup yang khas dan unik. “Aktivitas mendidik dan dampaknya itu selalu saja mencakup hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu pembangunan sistem pendidikan harus berakar pada kebudayaan bangsa, bagi kita adalah kebudayaan Indonesia. Jadi pembangunan pendidikan nasional juga harus dikaitkan dengan kerangka kebudayaan bangsa kita sendiri. Oleh karena itu wawasan kultural mengenai gejala pendidikan dan tujuan pendidikan nasional kita tetap diperrlukan, demi penghayatan wawasan-wawasan lainnya” (Kartini Kartono,hal 71).
Dengan demikian pendidikan diharapkan pula akan menjadi salah satu perwujudan aspirasi bangsa, dan perwujudan dari kebudayaan bangsa kita. Maka ketekunan mencari dan menemukan kembali nilai-nilai budaya Indonesia asli adalah identik dengan mencari asas-asas dinamik yang ada pada bangsa sendiri dan yang bersumber kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena kebudayaan kita lebih tepatnya disebut kebudayaan nusantara yang beragam. Puncak kebudayaan nusantara itu dan yang diterima secara nasional disebut sebagai kebudayaan nasional. Atas cara ini maka aktivitas mendidik yang diwujudkan dalam bentuk pendidikan nasional pasti akan sesuai dengan sifat alami kebudayaan Indonesia, di samping selaras dengan sifat khas suku-suku bangsa kita. Dalam perspektif ini benarlah apa yang dikatakan van Peursen, bahwa seluruh kebudayaan manusia adalah produk atau hasil dari kegiatan belajar. Dan kegiatan belajar ini berlangsung terus sepanjang sejarah manusia. Salah satu upaya pendidikan jalur sekolah dengan keberagaman latar belakang sosial budaya itu adalah dengan memberlakukan di dalam kurikulum sekolah muatan lokal.
Kedua, manusia sebagai makluk sosiobudaya. Pendidikan pada umumnya dan pendidikan formal khususnya selalu berlangsung dalam suatu relasi pergaulan antara yang mendidik (guru) dan yang dididik (anak didik). Relasi ini merupakan konsekuensi dari eksistensi manusia sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial, manusia selalu saling berinteraksi, berintegrasi, saling membantu demi kemajuan pribadi dan bersama. Sebagai makluk sosial pula, manusia selalu memiliki sifat ketergantungan dengan manusia lainnya. Di dalamnya ia memiliki pula sifat adaptabiliti dan intelegensi. Bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri, meniru dan beridentifikasi, ada kemauan untuk mempelajari tingkah laku, memanfaatkan tingkah laku dan mengubah tingkah laku. Proses ini selalu berlangsung dalam suatu kelompok tertentu, yang menuntut dari padanya tokoh idola atau pola anutan.
Menurut. Burhanuddin Salam, dalam bukunya Pengantar Pedagogik, baik terdidik maupun terdidik, masing-masing dengan pengalaman dan potensi tertentu, serta pendidik secara kodrati bersimpati, dan terdidik memiliki potensi untuk meniru sehingga terjadilah pergaulan pendidikan yang secara terpadu membantu yang terdidik berkembang menuju kedewasaan dengan ciri-ciri tertentu.
Setiap bangsa selalu memiliki nilai yang mungkin berbeda satu dengan yang lain. Meskipun demikian pada hakekatnya terdapat perbedaan yang sifatnya universal, bahwa aturan, norma atau nilai selalu dianut demi kebaikan. Dengan aturan, nilai atau norma itu membantu terciptanya suatu kehidupan yang harmonis, karena terdapat misalnya sikap saling percaya, saling menghormati, membantu dan sebagainya. Sekaligus itu mengandung di dalamnya pedoman soal baik-buruk, boleh dan tidak boleh dan sebagainya.
Agar semua nilai yang membantu kehidupan bersama dalam masyarakat itu tidak hilang, maka masyarakat itu harus mewariskannya kepada generasi berikutnya. Dan jalan untuk melaksanakan proses ini adalah pendidikan. Melalui pendidikan inilah masyarakat mengajarkan konsep dan sikap dalam pergaulan hidup, bagaimana seharusnya bertingkahlaku. Singkatnya, pendidikan merupakan cara dan proses mengajarkan konsep dan cara bertingkah laku.
Dari uraian di atas, tampak bahwa tujuan pendidikan adalah untuk melestarikan budaya, terutama budaya yang baik dari suatu masyarakat. Nilai-nilai budaya yang baik dari masyarakat lewat pendidikan disalurkan dan diteruskan kepada generasi muda, sehingga mereka dapat menghidupinya, dan dengan demikian memungkinkan budaya itu tumbuh dan berkembang. Melalui pendidikan jugalah nilai budaya yang tak baik dapat dikritisi, dan akhirnya coba ditinggalkan. Maka dalam konteks ini pendidikan dapat juga mengembangkan dan melestarikan budaya yang ada, bahkan memperbaikinya (Paul Suparno, dalam Reformasi Pendidikan, 2002)
Mengapa ini penting, karena terdapat pengaruh Budaya bagi pendidikan? Kalau kita berbicara tentang kebudayaan, maka kebudayaan dapat dibedakan dalam dua hal, kebudayaan ditinjau dari sudut individu dan dari sudut masyarakat. Bila ditinjau dari sudut individu, maka peran individu adalah mempelajari hasil-hasil yang telah diperoleh dari generasi terdahulu, agar individu dapat menyadari posisi kedudukannya dan mengetahui perjuangan yang telah dilakukan para pendahulu; di samping itu untuk mengembangkan hasil yang sudah diperoleh generasi terdahulu; dan menghubungkan nilai yang dipelajari dan dikembangkan kepada generasi yang akan datang (Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan).
Kebudayaan ditinjau dari aspek masyarakat, maka wujudnya dapat berbentuk hasil pikiran (logik), norma (etika), perasaan (estetika). Masyarakat perlu mempelajari hasil pemikiran generasi terdahulu, dan hasil itu menggambarkan cara kerja yang dilakukan menuju ke arah pemikiran yang lebih sempurna.
Karena itu sistem pendidikan dengan sistem lain dalam masyarakat mempunyai hubungan yang erat.Pendidikan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, agama dan sebagainya. Hubungan pendidikan dengan nilai dan sikap-sikap modern, bahwa pendidikan dapat mengubah tingkah laku, sikap dan kepribadian seseorang, sehingga sikap dan nilai seseorang berkembang ke arah yang lebih dinamis. Pengaruh perubahan ini menjadi konsekuensi logis dari pendidikan dan sebaliknya.
Akhirnya: Perlunya Pendidikan /Studi Kultural. Karena perkembangan kebudayaan ditentukan juga oleh kemajuan pendidikan dan pendidikan mempengaruhi perkembangan budaya suatu masyarakat, maka menurut Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, MSc.Ed, perlu dikembangkan suatu pendidikan kultural, seperti yang sudah berkembang dan memasuki dunia perguruan tinggi dibanyak negara. Untuk membantu mengembangkan suatu studi kultural, menurut Cary Nelson, seperti dicatat oleh Prof. Tilaar, menyajikan 16 hal pokok yang mesti diperhatikan . Dari pokok-pokok itu tiga kesimpulan dapat ditarik. Bahwa pertama, studi kultural merupakan suatu bidang kajian antardisiplin dan lintas disiplin mengenai budaya kontemporer, tanpa perlu membedakan budaya dan sivilisasi, peradaban. Dalam UUD 1945 dijelaskan mengenai masyarakat yang berbudaya dan beradab. Di sini muatan lokal budaya daerah bagi pendidikan di sekolah bisa mendapatkan tempatnya. Kedua, studi kultural merupakan suatu kajian kritis mengenai masalah-masalah kebudayaan dalam arti yang luas, seperti identitas suatu masyarakat, kesusastraan, masalah imperalisme, kapitalisme, budaya massa yang kebanyak dipelopori kaum muda, budaya kaum elite. Ketiga, akhirnya, studi kultural meliputi ranah pemikiran yang sangat mendominasi kehidupan umat manusia, seperti masalah kekuasaan, gerakan feminisme mengenai kesetaraan gender, pengaruh media massa dalam perkembangan kebudayaan, globalisasi.
Bagaimana keberadaan studi kultural dalam masayrakat kita? Apabila kita melihat perkembangan studi kultural dan asalnya dari Inggris dan bisa menyebar ke seluruh dunia, apakah studi kultural yang dimaksud ada di Indonesia? Atau apakah keberadaannya masih perlu digali demi perkembangan kebudayaan dan masyarakat Indonesia, khususnya di dunia pendidikan. Masih menurut Prof. Tilaar, studi kultural belum dikaji secara ilmiah sebagaimana yang dikenal di negara-negara lain. Ini perlu studi khusus.
Sebagai penutup dapat ditarik beberapa hal: Pertama, manusia adalah makluk multi dimensional. Dia disebut manusia karena merupakan kesatuan berbagai dimensi, yang semuanya ikut menentukan keseluruhan hakekatnya. Salah satu dimensi dari manusia adalah bahwa ia merupakan makluk sosial, dan sebagai makluk sosial hidup menurut budaya tertentu. Kedua, pendidikan bermaksud membantu manusia agar berkembang dalam semua dimensi hidupnya itu, sekaligus mengandaikan bahwa proses pendidikan bagi manusia itu harus dibangun di atas landasan budaya tertentu. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia hanya akan berkembang sebagai manusia kalau ia berkembang dan mengembangkan keseluruhan hakekatnya dalam konteks budaya tertentu. ***