Suatu permenungan , Selasa, Pekan XXXIII
(Why 3:1-6.14-22; Mzm 15:2-3ab.3cd-4ab.5; Luk 19:1-10.): “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” [Luk 19: 10]
Drs. Fransiskus Sili, MPd, Pengawas Ahli Madya Kementrian Agama Kota Manado
Injil hari ini juga berkisah tentang pertemuan Yesus dengan Zakeus, suatu kisah yang membawa kita ke jantung misi Yesus: menjangkau mereka yang terpinggirkan. Ketika Yesus mendekati Yerusalem, Dia berhenti di Yerikho, bertemu dengan Zakheus, seorang pemungut cukai yang dijauhi oleh masyarakatnya. Terlepas dari kekayaannya, Zakheus merindukan sesuatu yang lebih dan, dengan menembus batasan-batasan sosial, ia memanjat sebuah pohon untuk bertemu dengan Yesus. Tanggapan Kristus tidak terduga dan radikal: Dia dengan sepenuh hati mengunjungi rumah Zakheus, mengabaikan penghakiman orang-orang yang menyebut Zakheus sebagai orang berdosa. Melalui kehadiran-Nya yang sederhana, Yesus menawarkan penerimaan, dan penerimaan ini mengubah hati Zakheus.
Perikop ini mengajarkan kita bahwa setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau kesalahan mereka, dikasihi oleh Tuhan. Kita dipanggil untuk melihat orang lain seperti yang Yesus lakukan, melihat potensi mereka untuk berubah dan bukan melihat masa lalu atau keterbatasan mereka. Realitas manusiawi kita bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan, punya masa masa lalu yang kelam. Tapi tiap orang pun berhak untuk mendapatkan kesempatan untuk berubah, yang dimungkinkan oleh penerimaan dan pengakuan diri mereka sebagai pribadi, yang punya kelemahan dan kelebihan. Tugas kita sebagai umat Katolik adalah meruntuhkan sekat-sekat yang mengucilkan dan membangun jembatan belas kasih dan pengertian. Karena sikap Yesus terhadap Zakeus menjadi kritik atas pola hidup kita, atas cara berpikir, cara merasa bertindak kita, yang lebih suka menghakimi atau mempercakapkan kelemahan orang. Yang lebih banyak adalah fitnah. Sebagai suatu prilaku yang mengada-ada kelemahan orang dan diceritakan ketika orang itu sendiri tidak berada di tempat, sehingga ia tak punya kesempatan membela diri. Itulah salah satu bentukk kebohongan yang sering terjadi dan mewartanai hidup bersama kita, dimana saja. Mengikuti Pastor paroki, bukan di umat sini.. di sebelah sana, bukan di umat kita yang di sini…
Kita semua dipanggil untuk terus belajar menghayati kasih.. “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu ( 1 Kor 13 : 4-7).
Dari semua pengajaran mengenai sikap-sikap kasih di Surat Paulus kepada jemaat Korintus 13 di atas, sikap “menutupi segala sesuatu” selalu menarik perhatian saya semenjak masa kanak-kanak, karena artinya tidak langsung jelas bagi saya, sebagaimana arti dari sikap-sikap kasih yang lainnya. Apa yang harus saya tutupi, mengapa harus saya tutupi, dan bagaimana saya menutupinya? Tetapi dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit hati saya menuntun saya untuk mengerti bagaimana saya dipanggil untuk menutupi kelemahan sesama dan tidak membeberkannya di depan orang lain, kecuali dalam kasus-kasus di mana informasi itu diperlukan.
Tetapi di dalam sebagian besar peristiwa dalam hidup ini, pengetahuan mengenai keburukan orang lain seringkali tidak perlu dibeberkan di muka umum atau diberitahukan kepada pihak lain, karena memang tidak ada perlunya, walau kadang itu mengasyikkan. Ya, itulah yang dalam kehidupan sehari-hari sering disebut sebagai bergosip, memang ibarat sebuah jalan yang lebar dan mengasyikkan, namun yang tidak membawa kepada hidup. Membicarakan keburukan orang lain juga kadang dilakukan sebetulnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan diri sendiri. Mengenai kelemahan orang lain, kalau kebetulan kita tahu, cukuplah diri kita sendiri yang mengetahuinya, dan menyimpannya rapat-rapat.
Jadi, kisah Zakheus di atas juga mengundang kita untuk membuka hati kita, mengizinkan Yesus tinggal di dalamnya. Iman yang sejati memanggil kita untuk melangkah melampaui kenyamanan dan norma-norma sosial untuk masuk lebih dalam, dalam kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Seperti Zakheus, kita dapat memeriksa hidup kita dan bertanya: Apa yang menghalangiku untuk lebih mengasihi Tuhan Dan sesama? Bagaimana saya dapat hidup dengan cara yang bermanfaat bagi sesama?
Sambutan Yesus kepada Zakheus mengingatkan kita bahwa keselamatan adalah sebuah perjalanan komunal setiap hari. Kita dipanggil untuk membina komunitas yang penuh inklusi dan harapan di mana setiap orang menemukan martabat dan rasa memiliki. Dengan mengikuti teladan Yesus – hidup dengan adil, merangkul belas kasih, dan mengasihi dengan berani – kita menghidupi Injil. Marilah kita berdoa agar mempunyai hati seperti hati Kristus, yang terbuka dan siap untuk menyambut, dan memiliki keberanian untuk hidup sebagai mercusuar kasih-Nya di dunia kita. Dan mohon rahmatNya untuk menempuh cara hidup: ingat 2 dan lupa dua. Apa itu, ada 2 hal yang harus selalu diingat: kebaikan orang lain, dan kekurangan diri sendiri. Lupa dua, kebaikan sendiri dan kesalahan atau kekurangan orang lain.
Di ruang tunggu sebuah rumah sakit, ada sebuah foto berbingkai di dinding ruang tunggu itu, yang sangat menarik perhatian saya, karena tidak biasa. Foto itu menggambarkan suatu daerah di permukaan bumi di atas permukaan lautan luas. Sebetulnya daerah itu sangat biasa dan tidak terdapat detil apapun di situ, tetapi dalam foto itu bentuknya sangat unik, yaitu seperti suatu lidah raksasa dengan latar belakang yang kontras di belakangnya. Saya mengamati ada tanda tangan yang digoreskan di bagian kanan bawah foto itu. Dan di bawah bingkainya, saya membaca sebaris keterangan yang diketik dengan rapih, “The Tongue of The Ocean and the Bahamas” (Lidah Lautan dan Bahama). Kalimat selanjutnya di bawah keterangan itu yang membuat saya tercenung, bunyinya demikian, “The key to this picture is getting in position to take it – Walt Cunningham – Apollo 7”. Jadi rupanya daerah itu adalah salah satu sudut kepulauan Bahama, difoto oleh salah satu awak pesawat Apollo 7, astronot Walt Cunningham. Ia memotretnya dari sebuah pesawat ruang angkasa yang sedang mengorbit ribuan kilometer di atas permukaan bumi, sehingga sudut pengambilan gambar yang dihasilkan adalah sudut yang tidak biasa, dan tentu saja, dari sebuah ketinggian yang tidak biasa pula. Hasilnya adalah sebuah “sudut pandang” atau “sudut fotografi” yang menghasilkan bentuk yang unik dari daerah yang difoto itu, yang tentu saja tidak dapat dihasilkan oleh kamera-kamera yang dioperasikan di bumi, secanggih apapun juga kameranya. Sang astronot menuliskan bahwa rahasia keindahan foto permukaan bumi yang ia hasilkan adalah menemukan posisi yang tepat untuk mengabadikannya.
Seni menemukan posisi yang tepat untuk mengabadikannya. Inilah yang membawa inspirasii untuk saya. Bagaimana kalau saya ‘memotret’ sesama dari sudut terbaiknya, dan menyimpannya dalam suatu bingkai yang indah, untuk kemudian saya letakkan di dinding hati saya, menghiasinya dengan kenangan akan kasih, kelebihan, kebaikan yang tentu ada pada diri setiap orang, bahkan kadang tanpa perlu dicari-cari, dan mungkin bahkan pernah kita alami juga dalam relasi pergaulan kita dengannya. Bila sudut terbaik itu yang selalu kita kenang dan ingat, kita pandangi selalu dalam ruang hati kita, apakah akan lebih mudah bagi kita untuk menerima kekurangan orang lain, mengasihinya apa adanya sebagaimana Tuhan mengasihi dia dan saya, serta mengampuni kesalahan-kesalahannya
Tuhan, Engkau telah menunjukkan belas kasih yang besar kepadaku. Ajarlah aku untuk berbelas kasih kepada sesama. Tolonglah aku untuk mengasihi, merangkul dan menjaga mereka serta memilih untuk tidak menghakimi. Jadikanlah hatiku seperti hati-Mu. Amin.