Penulis Drs. Fransiskus Sili, MPd.
Selama berkarya di tengah bangsaNya, Yesus mewartakan Kerajaan Allah dan menurut penginjil Markus, harapan akan Kerajaan Allah yang sudah sekian lama bertumbuh dan berkembang di antara umat waktu itu sekarang akan segera terlaksana. Dan Yesuslah manifestasi Allah dan perwujudan turun tangan Allah, bukan dengan cara-cara kekerasan dan kemenangan gemilang melainkan melalui sengsara, penderitaan dan salib.
Injil yang diwarakan Yesus berarti Khabar gembira dan isi dari Injil itu tidak lain adalah Kerajaan Allah sudah dekat (Mrk. 1:14) dan juga berarti Kristus sebagai Pribadi. Maka Injil yang diwartakanNya berisikan ajaran bahwa Allah melaksanakan janji penyelamatanNya dalam diriNya. Maka juga mewartakan Injil berarti mewartakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Dengan demikian tuntutan Kerajaan sekaligus juga menjadi sama dengan tuntutan Yesus dan semua tuntutan Yesus merupakan anugerah Allah yang harus diperjuangkan oleh para pengikutNya.
Perikope Injil ini memperlihatkan kepada kita tentang tuntutan seorang murid Yesus, tentang kebesaran seorang pengikut Yesus. Ajaran ini muncul di tengah tendensi manusia waktu itu yakni tergila-gila mengejar kekuasaan, kekayaan dan kenyamanan hidup. Sementara jalan mengejar ambisi-ambisi itu dengan mengorbankan banyak orang. Mereka berkuasa di atas darah rakyat tak berdosa, kaya dan makmur di atas derita banyak orang miskin, merasa aman di sekitar kekacauan sosial rakyat kecil.
Ternyata ambisi seperti itu juga dimiliki para muridNya. Mereka yang selama ini menjadi muridNya dan calon pemimpin masa depan, ternyata punya rupa-rupa motivasi dan motivasi ini lebih bercorak sosial politik.
Hal ini nampak dari perdebatan di antara para murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka mungkin membayangkan bahwa kalau Yesus mewartakan Kerajaan Allah, kalau Yesus adalah Raja, maka dalam kerajaanNya mereka boleh mendapatkan kekuasaan dan jabatan, dan ikut memerintah. Yesus tahu bahwa para murid dan pengikutNya belum bersih dari ambisi-ambisi di atas. Maka dalam pengajaranNya Ia membuka mata mereka untuk melihat rahasia kemesiasanNya yang menjadi hamba dan mengajar para pengikutNya untuk siap mengemban tugas pelayanan yang penuh cinta, solidaritas dengan orang kecil, miskin dan terlantar, memikul salib dan mengorbankan hidup bagi orang lain. Karena Kerajaan Allah adalah cinta dan belas kasih, keadilan, persaudaraan dan damai. Markus pun mencatat perkataan Yesus: “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan menjadi pelayan dari semuanya”.
Di sini Yesus mengajarkan para muridNya dan para pengikutNya untuk berjuang bukan untuk tempat tertinggi, tetapi untuk tempat yang terendah, bukan tempat terdepan tetapi tempat yang terakhir. Ini adalah kenyataan yang bertolak belakang dengan ambisi kemanusiaan kita. Orang berlomba-lomba mencari jalan untuk ikut menikmati kue kekuasaan.
Dan untuk menjelaskan ajaranNya ini, Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya sebagai model dari pelayanan dan kepemimpinan yang berdasarkan kerendahan hati dan kesederhanaan hidup. Ia sudah memperlihatkan melalui cara hidupNya sendiri, yang turun membasuh kaki para muridNya.
Dalam Gereja dan masyarakat, kita mengenal banyak pemimpin dan terlibat dalam tugas kepemimpinan ini. Nah, terdapat perbedaan tajam antara pemimpin dan pejabat. Pejabat setelah jabatannya selesai, dia seperti wayang yang sudah masuk ke kotak, tak dikenang lagi sebagai pejabat, apalagi bila dalam masa pemerintahannya, ia memanfaatkan jabatannya untuk mengembangkan ego sendiri atau kelompoknya ataupun nepotisme keluarganya. Meskipun selama memangku jabatan resminya dan berkuasa, ia menggunakan kekuasaan dan jabatannya untuk mengatakan bahwa aku ini adalah pemimpin sejati, pejuang harapan rakyat, seperti yang dijnjikan saat kampanye, namun masyarakat dan umatlah yang akan menilai dan mengujinya dalam kekonsekuenannya, antara kata-kata dan tindakan, antara janji nan muluk dan realitasnya di lapangan, dan bagaimana ia benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat yang telah mempercayakan haknya untuk mengatur dan bukannya menggelembungkan nepotisme keluarga dan memperkaya diri di balik jabatan dan kekuasaannya itu. Begitu ia turun dari jabatannya, ia tak akan dihiraukan lagi.
Legitimasi pemimpin adalah legitimasi moral. Dalam politik misalnya, ia dinobatkan oleh rakyat oleh karena kontribusi dan perjuangan moralnya, juga moral agamanya. Bahwa ia berjanji dengan bantuan Allah akan berjuang memiliki dan menghayati ide, visi dan pemerdekaan manusia agar bebas dari ketakutan dan tampil percaya diri menuruti hati nurani untuk mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah dikatakan salah. Apa yang dijanjikannya itulah yang dituntut dalam realitas.
Kita belum lama ini melewati pilkada serentak, untuk memililih gubernur, bupati dan wali kota untuk berbagai daerah di tanah air. Kita telah memilih secara langsung untuk pertama pemimpin-pemimpin kita. Kita mengharapkan dan mendoakan agar apa yang mereka janjikan dalam masa-masa kampanye atau saat penyampaian visi-misi sungguh-sungguh tidak saja di bibir tetapi dapat dibuktikan. Untuk mereka semua Yesus mengingatkan dalam kotbahNya di bukit: “Kamu telah mendengar… jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: janganlah sekali-kali bersumpah…” (Mat. 5:33-34). Mudah-mudahan rakyat kita pun mulai kritis menilai dan mempertimbangkan mana yang pemimpin dan mana yang pejabat saja. Mana janji yang real dan mana yang irasional.
Mungkin cara pandangan umat Israel dapat menjadi inspirasi bagi para pemimpin kita. Ketika mulai mengenal bentuk kerajaan, bangsa Israel punya raja-raja. Dalam keyakinan Israel, Raja Israel yang sebenarnya adalah Allah Perjanjian, sedangkan raja manusia adalah hanya wakil Yahwe. Karena itu raja manusia tak boleh bertindak sewenang-wenang. Sebagai wakil Allah, raja manusia bertugas antara lain mengusahakan pelaksanaan Perjanjian Sinai dan menjamin keamaan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Tugas ini hanya akan terlaksana kalau ia sendiri dekat dengan Allah dan hidup dan menjalankan tugasnya menurut kehendak Allah. Mari kita doakan dan mengharapkan agar siapa saja yang diserahi tugas untuk memimpin, menjalankan tugasnya tidak saja menurut hukum, kesepakatan atau musyawarah saja, tetapi dengan pertimbangan hati nurani. Dan dasar dari pertimbangan hati nurani adalah takut akan Allah. Kalau mereka takut akan Tuhan maka perjuangan dan kinerja mereka pun berkenan kepada Tuhan dan mensejahterakan rakyat. Kalau demikian mereka bukan saja pejabat di mata kita tetapi sungguh-sungguh pemimpin.
Menjadi pemimpin yang dimaksudkan tidak dimaksudkan hanya untuk bidang politik semata. Dalam pelbagai situasi dan artinya yang luas, kita pun adalah pemimpin: di rumah, di tempat kerja atau di mana saja, bahkan dalam Gereja sekalipun. Sekurang-kurangnya menjadi pemimpin untuk diri sendiri. Sering kita tergoda untuk menyalahgunakan anugerah ini untuk mencari tempat yang aman sendiri. Padahal Yesus menegaskan pada para muridNya, dan kepada kita sekalian bahwa mereka yang melayani akan menjadi yang terbesar, yang paling akhir akan menjadi yang terdahulu dalam Kerajaan Allah. Sifat melayani akan membuat orang menjadi yang terbesar dan terdahulu. Sesungguhnya, pemimpin adalah melayani dan bukan dilayani.
Maka hari-hari ini ketika berbagai media memberitakan pelantikan para gubernur, bupati dan wali kota terpilih, harapan dan doa yang sama kita panjatkan.
Dengan demikian, pesan teks ini terutama juga ditujukan untuk kita masing-masing. Kalau ajaran Yesus tentang hakekat dan semangat kepemimpinan ditujukan juga untuk kita maka perubahan yang diharapkan semestinya dimulai dari diri sendiri. Dengan kata lain, pertobatan sejati mesti dimulai dari diri sendiri. Karena itu di akhir permenungan ini, ini beberapa butir dapat diangkat:
Pertama, krisis kepemimpinan yang sedang dialami manusia, termasuk bangsa Indonesia, disebabkan sirnanya roh kepemimpinan sejati dari sebagian pemimpin. Yang tersisa hanya posisi formal pemimpin. Pemimpin tanpa roh kepemimpinan hanya tinggal menunggu waktu kejatuhannya, karena posisi pemimpin tanpa roh adalah seperti tubuh tanpa jiwa dan semangat.
Kedua, banyak calon pemimpin cenderung hanya melihat kepemimpinan dari segi kedudukan dan kekuasaan yang dapat diraih dan hal-hal yang bersifat kebendaan, tetapi tidak banyak yang melihat dari segi tugas dan tanggung jawab moral dan sosial yang harus dipikul. Krisis kepemimpinan terjadi karena para pemimpin terlalu mengejar kekuasaan dan hal-hal duniawi. Mereka lupa bahwa menjadi pemimpin adalah menjalankan amanat Tuhan untuk menyelamatkan orang-orang yang dipimpinnya.
Kepemimpinan telah berubah menjadi komoditas daripada amanat Tuhan untuk menyelamatkan orang lain.
Ketiga, perkembangan politik dengan praktik menghalalkan cara untuk mencapai tujuan menumbuhkan money politic dan KKN, akan cenderung memilih para pemimpin yang semu. Dan kalau demikian, reformasi yang dikumandangkan sejak lama di negara kita akan terancam gagal. Salah satu langkah untuk menyelamatkan reforamasi ini adalah dengan reformasi kepemimpinan. Para pemimpin harus kembali kepada jati diri kepemimpinan yang melayani dan kembali kepada roh kepemimpinan sejati yang selama ini sudah diabaikan.
Kalau demikian Indonesia yang kini sudah berusia 74 tahun akan berkembang menuju suatu komunitas persaudaraan dan hidup dalam budaya kasih, karena dipenuhi dengan anak-anak bangsa yang ingin maju, dan menjadikan hidup dan karyanya sarana rahmat untuk mengabdi dan melayani Allah dalam pelayanan kasih bagi sesama. Dan pemimpinnya adalah mereka yang punya jiwa untuk melayani orang yang dipimpinnya. Baik atau buruk suatu kelompok bangsa atau negara, secara tidak langsung menggambarkan potret dari kualitas pemimpinnya dan kepemimpinan yang dijalankan. Untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis multidimensi dibutuhkan pemimpin yang berkualitas dengan kepemimpinan yang demokratis, memiliki integritas dan sifat kenegarawan, berani dan mampu memperbaiki keadaan karena sendiri mampu menjadi teladan.
Tugas dan panggilan ini memang berat. Tetapi kita yakin, bahwa Tuhan yang mempercayakan tugas pelayanan ini kepada kita akan menyertai kita dengan pelbagai berkatNya, asal saja kita tetap takut akan Dia. Setiap pejabat sebelum melaksanakan tugasnya pasti dilantik. Di sana masing-masing calon akan mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaan masing-masing sambil meletakkan tangan di atas kitab suci masing-masing. Ini memberikan makna janji ini diungkapkan di hadapan Tuhan dan Tuhan pasti akan selalu menyertai setiap utusanNya. Syaratnya, tidak menggeser Tuhan menjadi tuan, dan menjadikan harta, tahta dan kenikamatan sebagai yang disembah. Para gubernur, bupati dan walikota dan wakilnya yang terpilih, selamat menjadi pemimpin sejati!