PORTALNTT.COM, KUPANG – Emanuel Melkiades Laka Lena dan Johni Asadoma secara resmi dilantik Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTT oleh Presiden Prabowo Subianto di istana Negara, pada tanggal 20 Februari 2025.
Di tangan pemimpin baru ini, publik tentunya menaruh harapan besar, termasuk menata kembali manajemen Bank NTT dengan semangat “Ayo bangun NTT”.
Namun di sisi lain, Melki-Johni juga wajib membuka ke publik soal besarnya kepemilikan saham Bank Jatim di PT Bank NTT yang sejak 16 Desember 2024 lalu telah dilakukan penandatanganan Shareholder agreatment (perjanjian yang mengatur hubungan antara pemegang saham dan perusahaan) antara Bank Jatim dan Bank NTT, untuk memenuhi POJK 12 tahun 2020.
Dalam perjanjian ini, mengharuskan perbankan untuk memenuhi modal inti sebesar 3 trilyun rupiah dengan batas waktu sampai 31 Desember 2024, dan apabila pada jangka waktu tersebut tidak memenuhi pemenuhan modal inti, akan diturunkan statusnya menjadi BPR.
Akibat dari tuntutan PJOK tersebut, pemegang saham PT Bank NTT, tidak mampu memenuhi modal inti sebesar Rp 3 trilyun, maka Bank NTT melakukan kerja sama Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan Bank Jatim.
Misteri soal berapa persen kepemilikan saham Bank jatim di Bank NTT itu sudah dipertanyakan publik sejak penandatangan SHA per 16 Desember 2024.
Ironis memang, hingga kini Komisaris Utama dan direktur Utama Bank NTT belum membuka ke publik berapa persen kepemilikan saham Bank Jatim di Bank NTT. Bank NTT malah menutup diri dengan gencar mempromosikan diri sebagai Bank kebanggaan masyarakat NTT.
Perlu dipahami, Share Holder Agratment (SHA) juga dikenal sebagai perjanjian pemegang saham. Perjanjian ini mengatur tentang pembagian saham, pembagian keuntungan, pengambilan keputusan, prosedur jika pemegang saham ingin menjual sahamnya. Bagaimana mungkin sudah tandatangan SHA, tetapi berapa persen kepemilikan saham Bank Jatim di Bank NTT belum diketahui. bahkan Komisi III DPRD Provinsi NTT yang memiliki fungsi pengawasan BUMD pun mengaku tidak pernah tau soal itu.
Padahal DPRD Provinsi NTT telah menyetujui Rancangan Peraturan Daerah Penambahan Modal daerah untuk tahun anggaran 2025 senilai 150 milyar kepada PT Bank NTT, disaat kebijakan efisiensi anggaran setiap organisasi perangkat daerah, apa urgensinya? Toh modal inti Bank NTT sejak penandatanganan SHA dengan bank Jatim, sudah lebih dari 3 trilyun rupiah, sebagaimana yang telah disyaratkan dalam POJK nomor 12 tahun 2020. Pertanyaannya, kenapa Pemerintah Provinsi NTT harus menambah modal lagi? dan apakah Ranperda Penambahan modal kepada BUMD PT Bank NTT tersebut telah dibicarakan dan disetujui oleh Bank Jatim?
Jangan sampai karena ketidakterbukaan informasi publik ini, pada akhirnya mengikis kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan Melki dan Johni yang baru saja dilantik. Tentu saja ini menjadi preseden buruk di awal masa kepemimpinan mereka.