Makna Natal: Tanda Cinta Allah

Oleh: Drs. Fransiskus Sili, MPd, (SMK Negeri 5 Manado)

Kisah Natal, Segi Historis

Dalam Injil Lukas 2:1-19, kita mendapatkan sejumah informasi historis. Kaiser Agustus  (Luk. 2:1) adalah penguasa Romawi. Ia memerintah cukup lama yaitu sejak  tahun 29 SM sampai tahun 14 M. Waktu itu ia mengeluarkan perintah untuk mengadakan cacah jiwa, semacam pendaftaran atau sensus penduduk. Ia mewajibkan setiap orang dewasa untuk mencatatkan diri di kampung halaman leluhur. Dari sejumlah data, ia mengadakan cacah jiwa di sejumlah propinsi antara lain di Spanyol, Gallia (kini Prancis), Mesir, Siria. Maksud sensus ini antara lain untuk menentukan besarnya kekayaan mereka demi beban pajak bagi negara. Dan juga untuk mencari tenaga yang siap dilatih sebagai tentara atau dinas militer. Hal ini terjadi ketika Kirenius menjadi gubernur di Siria.

Dalam Injil Lukas 2:4-5 disebutkan bahwa Yusuf pergi dari Nasareth ke kota Daud, Betlehem. Meskipun dalam Perjanjian Lama julukan kota Daud selalu diterapkan pada Yerusalem saja, tapi dalam teks Lukas diterapkan juga pada Betlehem. Yusuf bergi mengungsi ke sana dengan Maria, tunangannya. Pada waktu itu Maria sudah resmi menjadi isterinya. Lukas menggunakan kata tunangan untuk menekankan bahwa  buah rahim Maria, ketika sedang hamil tua ini bukan dari Yusuf. Jadi Maria adalah tunangan Yusuf, artinya meskipun belum kawin namun sudah hamil, suatu keadaan yang memalukan bagi manusia pada umumnya. Dengan memilih mendaftarkan diri di sana dengan Maria, diharapkan juga bahwa Yesus yang bakal lahir secara resmi tercatat sebagai keturunan Daud, baik bagi orang Yahudi maupun demi tertib administrasi Romawi. Lukas ingin  menyingkapkan lebih awal apa yang akan dituliskannya kemudian dalam Kisah Para Rasul. Bahwa kedatangan Juru Selamat bukanlah melulu bagi orang Yahudi, melainkan bagi semua orang di kekaiseran Romawi, bahkan bagi  semua orang di muka bumi.

Menurut Luk. 2:7, ketika tiba di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk melahirkan anaknya yang sulung. Penyebutan ini terutama dimaksudkan untuk menggarisbawahi makna yuridis, bukan biologis. Di kalangan Yahudi, anak sulung memiliki hak yang khas di hadapan saudara-saudaranya, dan bagi Yesus, dalam hal ini hak sebagai keturunan Daud dengan segala keleluasaannya.

Di mana itu terjadi? Karena tak ada tempat di rumah penginapan. Rupanya tidak dimaksudkan bahwa Maria dan Yusuf tidak diterima di mana-mana. Tempat-tempat yang biasa untuk menerima  tamu sudah penuh dengan mereka yang mau mendaftarkan diri juga di sana. Pondok-pondok penginapan di Betlehem memang disediakan untuk para tamu dan ada juga tempat khusus untuk ternak seperti kuda dan keledai yang dipakai sebagai angkutan bagi para pendatang. Tempat-tempat seperti ini memiliki beberapa kelengkapan dasar, misalnya palungan tempat menaruh makanan bagi kuda atau hewan tunggangan lainnya. Atas cara ini Lukas mau mengungkapkan bahwa kelahiran Yesus terjadi di tempat yang terjangkau umum. Tempat pertemuan banyak orang dan karena itu berita kelahiran dan tempatnya dapat dengan mudah ditemukan para gembala.

Yusuf dan Maria akhirnya menemukan tempat umum itu yang  biasa dipakai sebagai tempat istirahat rombongan pendatang bersama hewan angkutan mereka sebagai tempat kelahiran Putera mereka. Ketiadaan tempat penginapan bagi mereka ini bisa menjadi simbol penolakan bagi orang yang tak punya uang atau kekuasaan atau koneksi? Dalam masyarakat kita pun mereka yang tak punya biasanya menjadi kaum marginal, yang tinggal atau dipaksa tinggal di pinggiran kota dan kehidupan publik banyak kali mereka sudah mendapat stigma dan menjadi sasaran bulan-bulanan penguasa atau alatnya.

Anak Yesus yang baru dilahirkan itu dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan, tempat makan hewan, di atas jerami, penuh lalat dan kotor lagi. Dari sepenggal laporan historis ini nampak bahwa  tak tempat bagi yang romantis bagi mereka dalam cerita ini. Tak ada sesuatu yang sedikit saja memberi harapan kepada dunia yang menanti-nantikan. Ini cerita mengenai osang-orang susah, malang, anak sial. Memang ada banyak jutaan orang dan anak sial seperti ini yang tak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Namun tak satu pun juga orang yang mengharapkan sesuatu dari mereka.

Berita tentang kelahiran Yesus  kemudian tersebar di kalangan para gembala yang sedang menjaga kawanan mereka di waktu malam. Para gembala memang tidak mendapat tempat di kalangan pimpinan Yahudi, terutama karena mereka memang tidak memperdulikan praktek hidup keagamaan seperti ziarah ke Yerusalem.

Mengapa dalam kisah kelahiran Yesus para gembala mendapat perhatian. Kelahiran Yesus Sang Mesias bukansaja terjadi di daerah berdekatan dengan tempat kerja para gembala, melainkan dan terutama bahwa Bayi yang lahir ini kemudian pada waktunya akan menjadi Gembala sejati, Gembala bagi jiwa-jiwa berdosa. Khabar gembira tentang kelahiran Yesus diberitakan kepada para gembala. Ini adalah tanda bahwa mereka diperkenankan Allah. Mereka adalah kaum lemah, orang miskin dan rendahan, namun justru terbuka mendengarkan pesan surgawi dan menerima Yesus. Karena itu para gembala berutung mendapat kesempatan menyaksikan perkara ilahi dan perkara duniawi dalam wujud yang sama.

Justeru karena kehadiran mereka ini maka kisah selanjutnya menjadi berarti. Tanpa ini, maka kelahiran Yesus yang sudah terjadi itu tidak diperhatikan oleh siapa pun, kecuali oleh orangtuanya. Dan dari kesederhanaan dan kemiskinan para gembala inilah kita melangkah pada segi pewartaannya.

Arti di Balik Kisah

Sekarang dalam kisah Natal, situasi tiba-tiba berubah. Seakan kita pindah ke panggung lain, bukan panggung dunia ini, melainkan panggung suatu dunia baru. Tiba-tiba surga dibuka dan seorang utusan Allah tampil. Kemuliaan Allah bersinar meliputi para gembala yang sedang menjaga kawanan ternaknya. Malaekat itu memberi khabar yang membawa kegembiraan besar bagi semua bangsa: Hari ini telah lahir bagimu, Sang Penyelamat, Kristus, Tuhan!

Para gemba bereaksi dengan rasa takut. Siapa tidak merasa takut kalau waktu tengah malam mendapat berita yang mengerikan begitu. Mereka diberi tanda: seorang Bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring dalam palungan, suatu tanda yang tidak menarik.

Cerita yang sederhana di atas  ternyata begitu dalam artinya karena menjadi tanda. Tanda apa itu? Tuhan memberikan suatu tanda bahwa Sang Penyelamat sudah tiba, bahwa akhirnya dunia dan zaman baru mulai, bahwa harapan para bangsa mulai terwujud, nubuat para nabi tergenapi. Dan tanda yang diberikan tidak lain daripada seorang Bayi dalam kain lampin di tempat makan ternak. Bukan seorang raja di istana, atau seorang bayi ajaib, yang pada saat kelahirannya sudah mulai mengucapkan kata-kata bijaksana, melainkan seorang bayi biasa yang kurang beruntung karena lahir dari keluarga yang susah, seperti dulu dan sekarang, jutaan bayi dilahirkan tanpa diharapkan, atau lahir tanpa diperhatikan, atau diperhatikan namun tanpa cinta atau dengan cinta tapi tanpa belas kasihan.

Yang diberikan sebagai tanda bukan sejumlah besar bala tentara surgawi yang memuji Allah dan bernyanyi. Bukan itulah tandanya, melainkan  si Bayi yang ada dalam palungan itu.

Tentang si Bayi itu, malaekat-malaekat bernyanyi: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya”. Suatu cerita yang aneh, yang penuh dengan banyak hal yang tak terduga dan bertentangan dengan apa yang kita harapkan. Mengapa Tuhan memberikan tanda demikian? Mengapa Si Bayi dalam palungan itu diberikan sebagai tanda bagi kita?

Makna Natal: Tanda cinta Allah

Misteri Natal  yang kita ulang tutur pada perayaan Natal setiap tahunnya, juga pada malam (hari) ini adalah misteri cinta kasih Allah yang tak terduga. Putera Allah menjadi Manusia. Allah yang sejak Perjajian Lama hadir dengan kekuatan sabdaNya yang menciptakan dan membebaskan umat Perjanjian, kini hadir sebagai Manusia. Dalam diri Yesus, Allah tinggal bersama kita, menjadi Imanuel, Allah beserta kita. Allah menjadi sesama kita dalam diri manusia Yesus. Ia mengalami apa yang kita alami. Seluruh pergumulan hidup seorang manusia, Yesus, Imanuel telah tempuh: sebagai janin dari rahim ibunya, sebagai bayi dan Kanak-kanak, sebagai anak dan nyong-nyong, sebagai remaja dan orang dewasa. Seandainya dulu Ia digugurkan ibunya atau dipaksa (calon) bapaknya, seperti yang kini dilakukan banyak pasangan remaja atau orang tua, maka pengalaman-pengalaman itu tak pernah terukir.

Allah tahu betapa menyenangkan kalau dicintai oleh ibu dan bapaknya yang baik hati, yang kelahirannya direncanakan, atau yang meskipun tidak direncanakan harus dibiarkan hidup sebagai manusia yang punya hak, betapa bangga kalau ia sebagai anak mulai membuat langkah-langkah pertama di atas bumi, kalau mulai bicara, kalau mulai belajar pegang alat atau perkakas, mulai belajar berdoa, belajar di sekolah atau belajar membuat keputusan sebagai makluk yang punya budi dam nurani, seperti kita.

Allah mengalami apa artinya menang dan gagal, tertawa dan ditertawakan, diejek, rasa bahagia dan menderita, kagum dan jijik, bangga dan malu. Tak satu punyang asing bagi Dia. Semuanya, seluruh hidup kita, kita semua satu demi satu, Dia terima tanpa syarat dan tanpa reserve. Allah menunjukkan cinta bagi kita sebagai seorang Bayi yang tidak menuntut apa-apa.

Dengan demikian, kisah natal yang aneh-aneh itu tak dapat dimengerti kalau tidak dibaca sebagai kisah cinta kasih Allah. Dan cinta Allah itu aneh-aneh. Dia tidak datang untuk menegur kita sebagai seorang nabi; tidak untuk menjatuhkan vonis atau eksekusi sebagai seorang hakim, Ia tidak datang untuk mengajar kita sebagai Guru, Ia tidak datang untuk mendoakan kita sebagai imam atau pemuka agama. Ia datang untuk menerima diri kita, menerima hidup kita, menerima kemiskinan dan kesusahan kita, kesuksesan atau kegagalan dan dosa hidup kita. Ia datang untuk menganugerahkan damai sejahtera dan memberikan kehidupan dalam segala kelimpahannya. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia menganugerahkan PuteraNya yang Tunggal, sehingga setiap orang yang percaya kepadaNya memperoleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).

Semua pengalaman manusiawi kita dijadikan bagian  dari hidupNya sendiri. Allah mencintai kita tanpa syarat, tanpa tuntutan, tanpa paksaan. Ia mencintai kita dengan rahmatNya, anugerah semata, namun harus juga diperjuangkan  sebagai tanggungjawab hidup kita. Ia datang sebagai seorang anak, seoarang bayi yang polos, supaya dicintai oleh kita semua. Tak seorang pun malu ketika mendekati seorang bayi, apalagi Bayi yang ada dalam palungan yang sederhana. Bayi yang demikian itulah yang kemudian menumbuhkan iman dan membuahkan cinta.

Para gembala yang datang ke kandang, mereka adalah wakil kita semua yang menjadi pengikut dan muridNya yang sedang belajar dari Dia sebagai Guru Kehidupan. Mereka bukanlah orang-orang suci, sebaliknya mereka dikenal sebagai orang yang kasar, yang sering mencuri dan merampok atau omong porno. Tapi di hadapan Bayi itu mereka berubah: suara hati mereka mulai berbicara, mereka berlutut dan menyembah Allah di dalam Bayi itu. Bagi mereka, sang Bayi sungguh suatu tanda bahwa Allah sendiri datang  mengunjungi umatNya.

Maka bersama para gembala, kita berdiri di depan pohon-pohon natal di gereja, bukan yang dipajang di etalase, kita berlutut dan menyembah, bersyukur dan berdoa: hidup kita adalah rahmat Allah, berarti dan jangan dipenuhi dengan kesia-siaan. Kalau kita berdosa, mari kita membuka hati menerima rahmat pengampunanNya. Inilah tanda cinta Allah bagi kita. Tanda itu memberi suatu pesan, suatu khabar: Lihatlah, betapa Aku mencintaimu satu per satu, dan kamu masing-masing, berbuatlah seperti Aku: belajarlah mencintai tanpa syarat. Itulah pengorbanan, kerja keras dan berdoa tak kenal lelah.

Baiklah ketika merayakan Vigili Natal kali ini, kita ingat cerita tentang Piet dari buku Fatamorgana Kehidupan Kristen, yang ditulis Pastor Dori Wuwur Hendrikus, SVD (Seri Buku Pastoralia). Seorang anak sekolah bernama Piet, berdiri di depan kandang natal di gereja. Dia perhatikan patung-patung natal: domba, para gembala, Maria, Yusuf… Waktu sedang melihat anak Yesus, tiba-tiba anak Yesus mulai bicara: “Saya minta sesuatu dari kamu”. Piet mulai menangis. Lalu anak Yesus mulai tanya, mengapa engkau menangis? Dia menjawab: “Karena saya tidak bawa apa-apa. Saya anak orang miskin”. Anak Yesus berkata lagi: “Tidak apa-apa, hanya minta dua barang, dan saya tahu engkau punya barang-barang itu” “Coba sebut”, kata Piet. Pertama, beri saya raportmu. Saya mau lihat hasil ujian semestermu! Muka Piet menjadi merah. Lalu dia tunduk dan berbisik” “Eh, saya malu memberikan raport itu, karena ada banyak nilai kurang (banyak tugas tidak saya penuhi atau ujian yang tidak saya tuntaskan), dan karenanya banyak angka merah! Anak Yesus menjawab: “Justeru karena nilai kurang itu saya mau dapat. Serahkan sekarang semua yang kurang dalam dirimu, hidupmu dan kerjamu. Jangan  takut, semua yang kurang akan saya tambahkan. Kedua?, tanya Piet. “Saya minta  piringmu, yang biasa engkau gunakan waktu makan”. Piet terdiam, lalu dengan suara serak dia berkata: “Eh, jangan marah lagi, saya sudah pecahkan tadi pagi waktu mencuci sesudah makan. Saya tak mau beri apa yang sudah hancur. Tetapi anak Yesus menjawab: “Ya, justeru karena pecah, hancur dan tidak utuh lagi, saya mau minta!”

Yesus minta kepada kepada si kecil Piet untuk memberikan segala sesuatu dalam dirinya,. Hidupnya, kerja dan usahanya yang kurang, yang rusak dan sudah hancur. Dan Yesus katakan: “Jangan takut, yang kurang akan saya tambahkan, yang rusak, akan saya perbaiki, yang hancur akan saya pulihkan… dan yang berdosa akan saya ampuni dan selamatkan.

Ketika merayakan Vigili Natal untuk menjumpai Anak Yesus, yang hadir secara simbolis dalam patung di kandang natal (atau hadir dalam Ekaristi), Piet membawa beban hidupnya, nilai kurang dan piring yang hancur, dan karenanya dia sedih. Mungkin kita seperti Piet. Kita tidak hanya membawa nyanyian merdu, lilin gemerlap di kandang natal, tapi juga beban hidup, kesulitan dalam diri, kegagalan dalam hidup dan kerja atau studi, kesulitan dalam keluarga dan setumpukan beban yang sering tak terpikulkan. Kita serahkan juga semua yang kurang: kurang berdoa, kurang berusaha, kurang jujur, kurang tekun, kurang adil, kurang disiplin, kurang setia… Semua yang kurang ini ada pada diri kita, keluarga kita, tempat kerja kita, masyarakat atau bangsa dan negara kita.

Maka Khabar sukacita yang disampaikan oleh malaekat pada malam natal berlaku juga untuk kita: “Jangan takut, Kristus Penyelamat datang untuk menopang, membaharui dan menyelamatkan hidup kita.

“Bangsa yang berjalan dalam lembah kegelapan telah melihat terang yang besar, mereka yang diam dalam negeri kekelaman, atasnya terang telah terbit” (Yes. 9:1). Semoga bangsa dan negara kita pun melihat terang menuju kebersamaan yang pluralis. Semoga karena rahmatNya, natal kali ini membawa pengharapan kepada dunia yang diguncang oleh kerusuhan, pertikaian yang membawa maut, di tengah kehidupan yang terhimpit  karena ketidakpastian ekonomi, hukum dan politik.

Semoga Ia membawa secercah harapan dan kasih yang menguatkan hati dan meringankan tangan untuk terulur berdamai satu sama lain; atau meringankan kaki mencari jalan keluar demi perubahan hidup bersama yang berarti. Ini menuntut pemerintahan kita diharapkan membawa pembaharuan, mengusahakan reformasi total yang dimulai dari pembentukan habitus baru, cara peradaban baru menuju Indonesia baru. Dengan demikian Indonesia di tahun 2008 boleh menjadi rumah hunian yang layak bagi setiap anak negeri ini, di mana ada kejujuran, keadilan dan penghormatan atas hak asasi manusia, dimana perbedaan diterima sebagai kekayaan dan hidup tiap pribadi dibangun di atas moralitas yang tinggi karena takut akan Tuhan.Selamat merayakan Natal 2020 dan menyongsong tahun baru 2021.

Komentar Anda?

Related posts