PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Masyarakat dari Desa Bena dan Desa Polo kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merasa kecewa karena kondisi irigasi persawahan di desa mereka terancam kering. Mereka menuding petugas pengelola air tidak maksimal mengelola jaringan irigasi air dari hulu ke hilir.
Merasa tidak puas puluhan warga setempat terpaksa melakukan aksi unjuk rasa di DPRD NTT, Rabu (5/2/2020). Mereka dimotori aktifis Front Perjuangan Rakyat NTT. Sebelumnya mereka sempat berorasi di kantor Gubernur NTT, lalu bergeser menuju gedung DPRD NTT.
Di Komisi IV DPRD NTT, mereka diterima oleh ketua sidang Yohanes De Rosari yang didampingi oleh Agustinus Bria, Vinsen Pata, Aleks Fonay dan Dominggus Dama.
Dalam dialog, Fadli Aneto, koordinator Front Perjuangan Rakyat NTT, mengatakan area irigasi persawahan seluas 2700 hektar kondisinya memprihatinkan. Sejak 2015 hingga sekarang petani sawah selalu mengeluh kondisi yang sama saluran air irigasi tidak merata dari hulu hingga hilir.
Fadli menuturkan sejumlah pintu utama irigasi tidak dibersihkan sehingga aliran air tersumbat lumpur. Padahal ada petugas air dibiayai negara untuk bertanggung jawab mengatur aliran air. Berbagai pendekatan sudah dilakukan untuk mengingatkan petugas P3A tapi tidak juga lancar.
“Pintu besar banyak lumpur, petugas tidak dibersihkan, kasian warga sawahnya kering. Masyarakat sudah berinisiasi bertemu kepala dan petugas air tapi sama saja selalu terulang masalah yang sama,” katanya
Ketua P3A, Desa Bena, Markus Nomleni, mengaku kesal musim hujan tapi area persawahan belum bisa di olah karena kering. Padahal debit air besar bisa memenuhi kebutuhan area sawah merata dari hulu hingga ke hilir. Tapi karena tersumbat lumpur sehingga air merembes keluar saluran. Biasanya Desember hingga januari sudah selesai tanam tapi karena air tidak ada sehingga baru sekitar 500 hektar yang sudah siapkan lahannya sementara 3000 hektar belum diolah.
“Bapak Ibu Dewan turun lokasi lihat langsung. Pintu air dipenuhi lumpur sehingga air tidak mengalir. Volume air disejumlah pintu setelah di buka melebihi standar sehingga air terbuang saja. Ini salahnya dari petugas. Kita heran selama ini petugas tidak ada di tempat,” kesalnya
Hal serupa disampaikan Esa Nabuasa, menuturkan sebagai petani sawah minta supaya revisi pegawai P3A karena kinerjanya sangat buruk. Hingga sekarang para petani setempat tidak mengenal pegawai irigasi yang ditempatkan Dinas PUPR NTT. Dalam papan struktur tercatat sebanyak 18 pegawai tapi mereka tidak berada di lokasi. Sehingga Dinas PUPR perlu mengingatkan para petugas bila perlu digantikan saja.
Menanggapi pengaduan masyarakat Anggota Komisi IV DPRD Provinsi NTT, merekomendasikan untuk segera turun lokasi melihat kondisi irigasi yang dikeluhkan warga Bena. Selain itu mereka meminta Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan untuk membantu selesaikan bila tidak pihak Komisi IV akan mengundang Dinas PUPR dan Balai Sungai untuk dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP).
“Besok kita turun lokasi Bena. Kita harap Pemerintah Kabupaten untuk selesaikan. Kita juga akan gelar RDP setelah pulang pantau di lokasi. Kalau kita tidak menghadirkan pemerintah tentu tidak akan selesai,” tegas Yohanes De Rosari, anggota Fraksi Golkar yang saat itu memimpin jalannya sidang.
Anggota Komisi IV DPRD NTT lainnya Dominggus Dama mengatakan, terjadi mis komunikasi antara para kelompok masyarakat yang tergabung dalam P3A dengan penjaga yang ditempatkan oleh Dinas PUPR Provinsi NTT.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan kemelut yang terjadi agar manajen pengelolaan air menjadi teratur dan para petani bisa terlayani,” kata politisi PPP dari Dapil Sumba ini.
Kepala Dinas PUPR Provinsi NTT Maksi Nenabu melalui Kabid Operasi dan Pemeliharaan SDA dan Irigasi pada Dinas PUPR NTT Benyamin Nahak, ST. MT menjelaskan persoalan yang terjadi di lapangan, bukan saja urusan dinas PUPR tetapi juga ada Pertanian.
“Tetapi ini menyangkut dengan air dan irigasi maka kita segera selesaikan,” katanya.
Ia menjelaakan, sejumlah petugas yang ditempatkan di lokasi irigasi selalu dievaluasi kinerjanya meskipun beban kerjanya sangat berat.
“Tugas mereka adalah membuka dan membersihakan pintu air dengan upah Rp 1,5 juta dan selalu dievaluasi setiap tiga bulan,” katanya.
Menurut Nahak, pihaknya telah menjadwalkan pertemuan dengan para petani di Kantor Desa Bena.
“Sebelum mereka datang ke DPRD NTT, kami sudah jadwlakan, dan kami juga senang ada aksi seperti ini sebagai kontrol terhadap kinerja petugas di lapangan. Petugas kami kerja penuh resiko karena jika banjir besar dan membawa kotoran dan sedimen lumpur dan sebagainya akan menutup pintu air dan mereka harus membersihkan,” katanya.
Meski demikian, setelah ada pertemuan bersama itu akan dilakukan evaluasi untuk memperbaiki kinerja petugas agar pasokan air untuk petani bisa terlayani dengan baik. (Jefri)