Kisah Pilu Pemulung di Kupang Yang Luput Dari Bantuan Pemerintah

  • Whatsapp
banner 468x60

PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Tumpukan botol-botol minuman berserakan di halaman sebuah gubuk kecil berdinding bebak. Bagaikan sebuah gudang barang-barang bekas, keadaan tempat itu sungguh memprihatinkan. Namun di lahan kosong yang terhimpit bangunan warga itu hidup dua orang pria yang sederhana.

Waktu menunjukkan kira-kira pukul 10.05 wita, di saat mentari perlahan-lahan begitu menyengat kulit. Saya menyusuri tanaman jagung milik warga menuju sebuah gubuk tua dihiasi tumpukan botol plastik yang mengunung seperti di lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Read More

banner 300250

Tak lama berselang, seorang pria datang memikul sebuah karung berisikan barang-barang bekas plastik dan botol minuman dan meletakkan pada tumpukan itu.

Pria paruh baya itu kemudian masuk ke dalam gubuknya, menyimpan beberapa perlatan. Dengan wajah pucat berbalut pakian lusuh, pria ini kemudian datang menghampiriku.

Pria yang bernama lengkap Syukur Arakian (48) kelahiran Lamahala, Solor, kabupaten Flores Timur ini mengisahkan tentang rutinitasnya setiap hari sebagai pemulung, mengais rejeki diantara tumpukan sampah demi mengumpulkan barang-barang bekas yang dibuang orang karena tidak bermanfaat lagi.

Tapi bagi Arakian, barang-barang bekas itu sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya, maupun istri dan anak-anaknya.

Menjadi pemulung, memang bukan impian Arakian, namun karena keterhimpitan ekonomi di Ibu Kota provinsi NTT, membuat ayah dua anak ini harus menekuni pekerjaan yang bagi sebagian orang penuh cibiran ini sejak tahun 2004.

Arakian mengakui ketika awal menjadi pemulung, ada gejolak luar biasa dalam dirinya karena harus menahan malu dan cibiran orang-orang. Tetapi karena keinginan kuat demi mendapatkan rupiah secara halal ia mengalahkan segala hal yang membebani dirinya.

Waktu terus berlalu dan Arakian tetap setia menekuni kegiatannya sebagai pemulung.

Bagi sebagian masyarakat di wilayah Fatufeto dan sekitarnya, wajahnya tidak asing lagi karena setiap hari mulai pukul 05.00 wita, ia telah bangun dan mulai berkeliling di tempat-tempat sampah milik warga demi mendapatkan barang-barang bekas dan botol plastik untuk dibawa pulang.

Bermodalkan karung dan tanpa makanan pengalas perut, Arakian begitu setia menyusuri setiap sudut-sudut rumah.

Jika karungnya mulai terisi penuh dan perut mulai lapar, barulah Arakian kembali ke rumah.

“Terkadang pulang tidak ada makanan jadi terpaksa masak air panas dan buat teh untuk minum lalu beristirahat. Nanti sore baru kembali bekerja mulai jam 3 sampai 6 sore,” kata Arakian pada PortalNTT, Minggu (22/3/2020).

Sungguh menyedihkan kondisi Arakian, tapi ia rela berjuang sepenuh tenaga demi membahagiakan istri dan kedua anaknya yang kini duduk di bangku SMA.

“Kalau Plastik itu kita timbang 1kg dibayar Rp 1000, dan botol-botol minuman 1kg Rp 4000. Biasanya satu kali timbang untuk plastik itu 120-130kg dan botol-botol minuman itu 40kg. Dalam sebulan bisa dapat Rp 700.000 – 800.000. Biasanya dapat Rp 700.000, nanti kirim kasih istri Rp 500.000 sisanya Rp 100.000 bayar kos dan sisanya untuk makan,” ungkap Arakian dengan polosnya.

Arakian mengaku harus berhemat demi menyekolahkan kedua buah hatinya.

“Saya memiliki impian anak-anak cukup bisa mendapatkan Ijasah SMA saja sudah sangat bersyukur. Kalau mau kuliah itu tidak mungkin karena biayanya mahal dan saya tidak sanggup,” kata pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai di kelas 3 SD saja.

Sementara di samping rumah Syukur Arakian, ada seorang warga lainnya yaitu Syarifudin. Pria yang diketahui mengalami sedikit gangguan mental ini hanya hidup sebatang kara, di gubuk berukuran 1,5 meter.

Persis di pagar tembok milik warga, Syarifudin hidup apa adanya, tanpa ada cahaya listrik. Semua aktifitas dilakukan di ruangan sempit itu.

Luput Dari Bantuan Pemerintah

Dalam kesulitan hidup yang dijalaninya, Arakian tak pernah mengenal lelah. Setiap waktu dipergunakan untuk bekerja dan terus bekerja, karena ia menyadari jika tidak bekerja maka ia tak bisa berbuat banyak untuk tetap bertahan hidup.

Sebagai warga Kota Kupang yang tinggal di RT 13, RW 04, kelurahan Fatufeto, Arakian mengaku saat ini tidak lagi mendapatkan bantuan pemerintah.

“Dulu waktu jaman Wali Kota Pak Jonas dapat bantuan raskin (beras miskin) tapi setelah ganti Wali Kota tidak dapat lagi. Mereka (pengurus RT) hanya bilang kalau nama saya telah dihapus dari daftar penerima bantuan pusat,” kata Arakian.

Selain raskin yang tak diterimanya lagi, tak ada lagi bantuan yang diterimanya.

“Mau dikasih ya bersyukur, tidak dikasih juga tetap bersyukur. Kami orang susah begini ya mau bagaimana lagi,” katanya dengan pasrah.

Sementara itu Lurah Fatufeto, Yunda Bunga, mengatakan saat ini sementara dilakukan pendataan ulang warga masyarakat yang benar-benar harus mendapatkan bantuan pemerintah.

Terkait warganya yang kini tidak mendapatkan bantuan pemerintah lagi, dikatakan Yunda Bunga, karena yang bersangkutan (Arakian,Red) seturut informasi yang diperoleh dari warga sempat pergi menikah di Flores.

“Informasi yang kami dapat pak Arakian pernah pulang ke kampung halamannya untuk menikah dan memiliki kartu keluarga di sana,” kata Yunda Bunga pada PortalNTT melalui sambungan telepon.

Sedangkan pak Udin tidak memiliki kartu keluarga sehingga belum bisa diberikan bantuan.

“Kalau pak Udin mengalami sedikit gangguan mental. Dia juga tidak memiliki kartu keluarga sehingga kami tidak bisa memberikan bantuan,” kata Yunda Bunga. (Jefri Tapobali)

Komentar Anda?

banner 300x250

Related posts

banner 468x60