Kisah Penjual Kue, Lepas Dari Jeratan Rentenir Berkat Bank NTT

Keterangan Foto: Florentina Jumiatun (Mama Budi) saat menjual dagangannya di depan Gereja katolik St. Yoseph Pekerja Penfui.

PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Suara ayam berkokok riuh memecah keheningan pagi, mengusir buntunya kesunyian malam. Jarum jam dinding saat itu menunjukkan pukul 05.00 wita.

Udara pagi yang dingin, sering seakan menggoda tubuh untuk tetap larut dalam balutan selimut malam dan meneruskan mimpi. Namun, godaan itu tak menggoyahkan sedikitpun semangat Florentina Jumiatun. Wanita paruh baya ini selalu terjaga dan langsung bangkit saat ayam berkokok. Suara itu bagaikan alaram, membangunkannya di pagi hari, menjadi isyarat tetap baginya untuk mulai beraktivitas.

Florentina Jumiatun yang sudah bangun dari tempat tidurnya dan doa pagi bergegas ke dapur. Di satu sudut dapur, ada 3 buah kompor yang siap menyambutnya, seakan menyapa dengan senyum segar. Ketiganya selalu menjadi bagaikan teman setianya di pagi hari dan sahabat karib sepanjang hari ‘tuk mengais rezeki.

Di sudut yang lain, nampak sebuah wadah berisikan adonan kue yang telah dipersiapkan sejak malam, sebelum membersihkan kompor-kompor yang habis dipakai.

Ia bergegas menghampirinya, mengangkat wadah berisi itu perlahan dan meletakkannya di dekat kompor dan siap diolah. Untuk memecah kesunyian sering ia bernyanyi kecil seakan mengajak semesta mensyukuri anugerah sang Pencipta. Inilah rutinitas yang dilakukan wanita kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 26 Oktober 1972.

Meski tampak mulai dimakan usia, tangan wanita ini begitu lincah, memainkan setiap adonan dan membentuknya menurut selera dan mengolahnya menjadi aneka jenis kue. Kedua tangannya seakan telah membagi tugas untuk berbagai jenis kue yang selalu dicari para pelanggan. Tak perlu diragukan lagi, aneka jenis kue hasil tangan ibu empat anak ini akan memanjakan lidah setiap pengunjung yang datang. Betapa tidak, mereka datang dan pergi, seakan membagi cerita tentang lesatnya kue-kue dari gerobak berjalan ibu Jumiatun.

Semula ketika mulai merintis usaha ini ia hanya menyiapkan kue. Namun penatnya tantangan hidup dan panasnya kota Karang membuatnya bertambah akal. Ia juga menyiapkan nasi kuning yang dimasukkan dalam mika plastik dan aneka jenis minuman. Kue dan aneka minumannya dijual seharga Rp 1000. Sedangkan dari setiap kotak nasi kuning dijual dengan harga Rp 3000.

Waktu berlalu begitu cepat, seakan memaksanya untuk berlari pagi disemangati daya juang penuh harap, tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 06.00. Saat dimana Jumiatun harus beranjak dari rumahnya. Ia keluar rumah penuh harapan menuju lokasi, tempat dimana ia harus beradu nasib menjual kue-kuenya.

Dengan sebuah kereta, hasil buatan Agus Raring suaminya yang telah dipenuhi aneka kue, nasi kuning dan beberapa jenis minuman, Jumiatun, yang lebih dikenal tetangga sekitar dengan panggilan mama Budi, melangkahkan kaki dan mendorong gerobak itu.

Warga kompleks dimana ia berada hafal betul, saat-saat dimana Mama Budi akan melintasi setiap ruas jalan sekitar mereka dan menjual kue-kuenya. Mereka seakan kenal dengan deru gerobak ketika mendekat. Mereka hafal suara lembut Mama Budi ketika menawarkan.

Kehadiran mama Budi memang selalu dirindukan. Di sepanjang jalan menuju lokasi tempat ia berjualan, keretanya selalu berhenti melayani pembeli yang tak kuasa menahan hati untuk merasakan betapa lezatnya kue-kue hasil olahan tangan yang kreatif.

Mama Budi, terkenal ramah, santun, dan pandai memikat hati pembeli. Selalu ia tak lupa mengucapkan terima kasih. Sering karena panasnya udara kota membuatnya harus berteduh di bawah pohon dan dengan handuk kecil mengeringkan peluh. Sama seperti rekan penjual lainnya, ia tak lupa memakai masker dan menggunakan handzanitiser. Meski hidupnya sulit, solidaritas demi tanggungjawab bersama tetap jadi tekad. Baginya, Corona mengajarkan banyak hal. Di pagi hari ia pergi berbekal semangat dan berharap di sore nanti pulang membawa berkat.

Kesibukannya menyiapkan aneka jualan setiap pagi, membuatnya tak punya waktu mengisi perut. Sepotong kue dan segelas air baru dinimkati ketika telah tiba di tempat jualan. Sering ia merasa lelah dan seakan lari dari kenyataan ini. Tetapi ketika kelelahan datang dari bumi dirinya, kesabaran dan harapan turun dari langit memberinya kekuatan. Sungguh sebuah kesabaran yang berpengharapan, demi masa depan keluarga dan dan bukti cintanya bagi keempat buah hatinya, Dus, Budi, Ola dan Jaka.

Hidup Ini Keras

Mama Budi begitu telaten menekuni rutinitasnya itu, karena dirinya sadar betul untuk bertahan hidup, dibutuhkan kerja keras. Tak pernah dirinya mengeluh. Ia sadar betul bahwa kenyataan hidup ini sering berat dan pahit. Berusaha keras saja sedikit hasilnya, apalagi kalau hanya duduk berpangku tangan dan menanti belas kasihan.

Sering pula ia merenungi posisi dirinya secara sosial. Seakan ia tahu, di dunia sosial, ada berbagai tipe orang. Ada orang/keluarga yang tiap harinya bertanya, ini hari makan atau tidak ya? Hidup ini tidak pasti bagi mereka. Ada yang bertanya ini hari makan apa? Mulai ada kepastian dan pilihan.

Ada pula yang bertanya ini hari makan dimana? bahkan ada yang bertanya, ini hari makan siapa? Keras memang. Ia tak peduli di kelompok pertama. Tetapi usahanya untuk maju membuatnya berani melangkah.

Ketika badai covid mulai menerpa, dampaknya juga amat ia rasakan. Omsetnya sering menurun. Demi menyambung hidup, ia tak boleh patah arang. Inilah salah satu keungulan yang dimiliki banyak orang kecil seperti dirinya.

Mereka yang nasibnya lebih beruntung belum tentu sanggup bertahan karena terbiasa hidup enak. Kalaupun ada mungkin tidak dimiliki oleh mereka yang berprofesi sama dengan dirinya.

Mama Budi begitu menikmati rutinitasnya, sehingga jarak tempuh dari rumahnya kurang lebih 2 km lebih, pergi dan pulang bukanlah halangan berarti bagi dirinya. Kebetulan, lokasi tempat ia berjualan, persisnya di depan Gereja Katolik St. Yoseph Pekerja Penfui. Di sana, ia tidak sendiri karena di lokasi yang sama, selalu ada sekumpulan anak-anak Ojek yang biasa mangkal di situ.

Mereka adalah temannya sekaligus pelanggan tetap yang setia membeli aneka jualan yang disajikan. Belum lagi anak-anak sekolah di kompleks Gereja Katolik.

Mama Budi, begitu ia sering disapa, telah menekuni usahanya sudah sejak 10 tahun yang lalu. Mungkin ada yang bertanya, dimanakah keluarganya? Ketika suaminya yang berprofesi sebagai seorang tukang bangunan mengalami sakit, pada saat itulah, mama Budi harus banting tulang dan menjadi tulang punggung keluarganya, berganti peran dengan suaminya.

Keterangan Foto: Mama Budi sementara melayani pembeli.

Dengan segala keterbatasan skill dan ketiadaan modal, mama Budi memiliki tekad yang kuat untuk bekerja dan bertahan hidup. Berbekal ketrampilannya membuat kue dan nasi kuning, ia berani memulai usaha ekonomi kreatif ini.

Mungkin ia terinspirasi dari kata-kata Lao Tze, orang pintar dari Cina itu. Menurut filsuf ini, suatu perjalanan yang panjang atau suatu pekerjaan yang berat, kalau langkah pertama sudah dimulai, separuh perjalanan atau pekerjaan itu sudah selesai. Syukurlah langkah pertama itu suda ia mulai.

Awal Merintis Usaha

Sayang sekali, saat merintis usahanya, Mama Budi dihadapkan pada situasi sulit karena ketiadaan modal. Ia malu meminta bantuan keluarga atau tetangga. Pernah ia berniat meminjam di bank. Tetapi niatnya segera dibatalkan karena rumitnya proses dan beratnya tuntutan mengajukan kredit.

Satu-satunya cara yang bisa menolongnya saat itu, adalah dengan medapatkan pinjaman dari sebuah koperasi harian. Bermodalkan KTP, proses pencairan dana bisa segera didapatkan dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Tapi di balik kemudahan itu, ada kewajiban berat sudah menanti.

“Pihak pengelola koperasi harian menetapkan bunga sebesar 20 persen. Kasihan ya, nasib kami. sudah jatuh, tertindis tangga pula,” ujarnya pilu, ketika bertutur pada awak media ini, Sabtu (17/4/2021).

Tanpa berpikir panjang ia pun bangun dan segera mewujudkan usahanya sambil mulai menjadi salah satu nasabah Koperasi harian.

“Waktu itu saya pinjam uang Rp 500.000. Modal itu dipakai untuk perlancar semua kebutuhan untuk usaha,” kisahnya mengenang awal usahanya. Kenangan akan pengalaman pahit itu membuatnya sesekali mengusap air mata.

Dengan modal seadanya, Mama Budi memulai usahanya itu. Kehadirannya belum banyak diketahui oleh orang. Maklum, sebagai pemula di usahanya ini, ia belum banyak pelanggan.

“Saya kan orang baru, nasibku tidak seutung pemain-pemain lama,” ujarnya mengakui.

Tentang hasilnya, tuturnya, ia mengaku sering merugi. Ia merasakan hasil jualannya, yang tidak laris manis. Sering sisa jualan dibawa pulang untuk dimakan sendiri. Sementara itu tuntutan koperasi harian, tetap wajib dipenuhi setiap harinya.

Bagi istri dari Agus Raring ini, resiko berusaha memang sudah seperti itu, sehingga ia tak pernah patah semangat.

“Sekali melangkah, tetaplah berlanjut. Maka dengan segala keterbatasan ini, kami pun terpaksa harus menambah beban pinjamannya, karena modal awal tak mampu membuat usaha ini bertahan. Kesulitan masih tetap sama, saya belum dikenal banyak orang. Dan tak mungkin mereka berlari pada saya. Saya pasrah pada nasib,” katanya merendah.

Supaya tetap bertahan, lanjutnya, ia pun akhirnya mendapatkan suntikan modal tambahan, Rp 5 juta lagi. Beban dan tanggung jawab mama Budi kini semakin bertambah karena dia harus berusaha keras untuk bisa mendapatkan keuntungan agar mampu membayar tagihan koperasi setiap harinya.

“Saya minta tambahan pinjaman lagi dan akhirnya diberi tambahan modal Rp 5 juta lagi. Waktu itu pas ada keperluan untuk anak yang sekolah di Atambua. Setiap hari saya harus setor Rp 200.000. Syukur-syukur kalau jualan laku semua bisa bayar angsuran tiap hari,” tuturnya mengenang.

Tak kenal maka tak sayang, makin dikenal makin disayang. Waktu terus berlalu, dan mama Budi pun semakin dikenal. Aneka jualan yang dibawa selalu habis terjual. Teringat tekadnya sejak awal, kalau ada untung, semuanya harus dikelola secara baik untuk membayar angsuran di koperasi dan sisanya baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan kepentingan sekolah anak-anaknya.

Setiap hari Senin – Sabtu, adalah waktu dimana mama Budi harus berjuang dan bertahan untuk tetap kuat menjaga barang jualannya. Sering ia pun selalu dibantu suami dan anak-anak.

Datang Bantuan, Bagai Gayung Bersambut

Waktu terus berlalu, Tanpa terasa, kini Mama Budi telah 10 tahun menekuni usahanya. Meski telah lama berusaha, mama Budi masih menjadi nasabah setia koperasi harian. Sering terlintas dalam benaknya untuk segera mengakhiri ketergantungannya pada koperasi harian.

Namun hal itu tidak mungkin terjadi karena kemana lagi ia menyandarkan harapan untuk suntikan dana selain di koperasi harian. Semua jalan lain terasa buntu. Ia mengakui jujur, sering menangis, meratapi nasibnya. Untunglah, sesudah setiap kali menangis, doa menjadi jalan terakhir.

“Saya tidak mengharapkan mujizat, karena itu anugerah Tuhan semata. Yang saya minta dariNya adalah kekuatan dan kesehatan. Di dalamnya saya menyadari diri sebagai mahkluk terbatas dan di lain pihak berhadapan Allah yang tak terbatas tapi penuh belas kasih,” ujarnya mengungkapkan pengalaman teologisnya.

Beratnya beban hidup membuatnya sering pasrah tapi tetap aktif berusaha. Awal bulan Juli 2020, di saat pandemi Covid-19, ia merasa seakan hidup begitu mencekam. Dari cerita dengan tetangga ia tahu bahwa banyak terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), banyak pegawai yang dirumahkan karena anjuran pemerintah untuk Work From Home (bekerja dari rumah). Kehidupan semakin sulit di semua sektor. Tetapi, lagi-lagi ia terus berdoa.

“Mungkin secara manusiawi tidak mungkin, tetapi saya percaya bagi Tuhan tiada yang mustahil,” ujarnya lagi.

Di tengah keterpurukan ekonomi yang mencekam saat itu, Bank NTT sebagai bank kebangaan masyarakat NTT dengan motto Melayani Lebih Sungguh mengeluarkan sebuah produk perbankan, Skim Kredit Merdeka. Program ini diluncurkan bertepatan dengan HUT Bank NTT, 17 Juli 2020. Nasabah akan diberikan kredit maksimal 5 juta dengan jangka waktu maksimal 1 tahun dengan bunga pinjaman nol persen. Tujuannya untuk membantu masyarakat agar bebas merdeka dari rentenir dan juga agunan.

keterangan Foto: Wakil Gubernur NTT, Josef Nae Soi saat melaunching Skim Kredit Merdeka, 17 Juli 2020.

Kredit merdeka ini merupakan kerjasama Bank NTT dengan Pemerintah Provinsi NTT, OJK, JAMKRIDA NTT, BPJS Ketenagakerjaan dan juga TPAKD.

“Hal ini merupakan inisiasi dari Gubernur NTT dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat dari rentenir,” ungkap Plt Dirut Bank NTT, Harry Alexander Riwu Kaho saat launching skim kredit merdeka.

Persyaratannya juga tidak mempersulit masyarakat hanya dengan fotokopi identitas atau KTP suami dan istri serta kartu keluarga maka kredit merdeka sudah bisa diperoleh tanpa waktu lama karena waktu pelayanannya cuma 1 jam.

Bagai gayung bersambut, mama Budi mendapat informasi tentang Kredit Merdeka dari pengurus Karang Taruna Adisucipto Penfui. Pengurus yang dihubungi terpisah dan tak mau namanya disebutkan ini memberikan tawaran kepada Ibu Jumiatun.

“Mengapa info ini diteruskan kepada Ibu Jumiatun,” tanyaku kepada pengurus ini. “Saya kagum pada ketekunannya, motivasi berusaha dan doa yang tak pernah putus,” kata pengurus ini. Begitu ditawari untuk ikut program ini, ia begitu antusias. Mungkin ini adalah jawaban dari doa-doanya selama ini agar bisa bebas dari rentenir.

Ia pun lalu mengurus kelengkapan administrasi untuk mendapatkan pinjaman kredit merdeka dari Bank NTT.

“Terserah orang ngomong apa, tapi inilah kesaksian dan keyakinan saya. Inilah mujizat Tuhan bagi saya. Tuhan kan menolong manusia lewat cara manusiawi. Berarti bank NTT adalah malaekat penolong bagi saya,” ungkapnya dengan pengalaman iman mendalam.

Mama Budi sangat mengharapkan bantuan kredit merdeka, karena dana segar yang diterimanya itu akan dipakai menutup hutangnya di koperasi harian.

Saat ini, mama Budi tidak perlu cemas dan seolah dikejar-kejar petugas koperasi harian yang setiap haru harus menagih uang angsurannya.

Ia kini bisa lebih bersemangat mengais rejeki tanpa terbeban bunga yang mencekik leher.

“Saat ini sudah jalan 8 bulan. Saya merasakan lebih nyaman tanpa takut dikejar-kejar setoran. Terima kasih Tuhan, terima kasih Gubernur NTT, terima kasih Bank NTT,” ungkap Mama Budi penuh syukur.

Masih menurutnya, kredit Merdeka Bank NTT sungguh membuatnya merdeka dari rentenir. Ia menjadi bagaikan the voice of the voiceless.

“Terima kasih Bank NTT, semoga ke depannya kami masyarakat kecil bisa diberikan kemudahan dalam pinjaman seperti ini,” harapnya lagi mengakiri percakapannya dengan awak media ini.

Realisasi Kredit Merdeka

Sejak diluncurkan pada tanggal 17 Juli 2020, bertepatan dengan HUT Bank NTT ke-58, Kredit Merdeka Bank NTT telah disalurkan ke debitur (nasabah) sebanyak 1486 orang. Penyebaran ini merata di seluruh kantor cabang Bank NTT.

Keterangan Foto: Direktur Pemasaran Kredit, Paulus Stefen Messkah, SE.

Direktur Pemasaran Kredit, Paulus Stefen Messkah, SE, menjelaskan spirit pemberian kredit merdeka ini bagaimana bisa memberdayakan usaha-usaha ultra mikro, mereka yang memang tidak mampu (uncapable) atau dijangkau dengan teknis persyaratan bank, tapi dengan skema skim kredit merdeka ini bisa membantu meringankan beban debitur yang terkendala modal seheingga merdeka atau bebas dari rentenir. Sistem kredit yang dijalankan adalah sistem kredit tanpa bunga dan agunan.

“Kita sebenarnya mengedukasi debitur untuk menabung dan dari hasil menabung itu sebetulnya adalah bentuk setoran dari pinjaman debitur,” ungkap Paulus Stefen Messakh saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (20/4/2021).

Diakuinya respon masyarakat di semua kantor cabang luar biasa. Hal ini ditandai dengan realisasi anggaran pada tri wulan I melampaui target yang ada.

“Target kita pada tri wulan pertama Rp 5,5 miliar, tapi realisasi sampai dengan akhir tri wulan I, bulan Maret kemarin sudah mencapai Rp 7,3 miliar,” jelas mantan kepala divisi SDM ini.

Menurut Messakh, kredit merdeka ini merupakan cikal bakal untuk membentuk seorang wirausaha yang bagus dan mampu mengembangkan usahanya menjadi besar dengan sistem kredit yang ditawarkan oleh Bank NTT dengan menerapkan pola pendampingan dan pembinaan usaha.

“Dari pemberian kredit yang nilainya Rp 5 juta/orang itu, kalau memang dalam perkembangannya kita melihat dia (debitur) menunjukkan perkembangan yang luar biasa dari sistem yang diberikan, secara bertahap kita akan membina dia menjadi wirausaha yang lebih baik lagi. Artinya tidak terbatas di Rp 5 juta saja, bisa kita naikkan ke pemberian kredit lain bukan kredit merdeka lagi tapi yang lebih besar untuk mengembangkan usahanya,” kata Messakh.

Messakh mengakui kredit merdeka ini tidak ada di bank-bank lain, hanya ada di Bank NTT. Program ini berkat kerjasama Bank NTT dengan Pemerintah Provinsi NTT, OJK, JAMKRIDA NTT, BPJS Ketenagakerjaan dan juga TPAKD.

“Komitmen pak Gubernur NTT juga untuk memperhatikan usaha-usaha kecil supaya bisa mengakses ke bank. Kita ini Bank Pembangunan Daerah kalau kita tidak bisa memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah ya berarti ada yang salah di situ,” tandasnya.

Lebih lanjut Messakh menjelaskan, tantangan terbesar yang dihadapi di masyarakat adalah bagaimana meningkatkan literasi keuangan di masyarakat.

“Tantangan sebetulnya bukan ada di kita (Bank) tapi di debitur. Bagaimana kita merubah mindset mereka. Ada istilah almarhum pak Gubernur Piet Tallo dulu, Politik dari tangan ke mulut. Artinya kerja hanya sekedar berpikir untuk bisa makan. Nah bagaimana mindset ini kita rubah agar berpikir bahwa usaha yang kita jalankan bisa menghidupi anak cucu dan lain sebagaianya. Dan juga mindset bagaimana hidup yang tidak konsumtif. Jangan usaha sudah jadi lalu hidup foya-foya sehingga tujuan akhir dari Bank NTT kepada para debitur untuk mencapai kesejahteraan tidak akan tercapai,” pungkas Stefan Messakh.

Kepala subdivisi mikro kredit, Reinhart Riwu Kahi Djo menambahkan sebagai tindak-lanjut dari program direktur pemasaran kredit, Bank NTT akan memebantu para pelaku UKM untuk diberikan standardisasi produk.

“Mereka (pelaku UKM) yang sudah naik level pada tingkat selanjutnya, pembinaan awal yang kita mulai dari ultah mikro ini mereka akan naik pada standar berikutnya lagi. Bahwa produk yang dihasilkan itu harus berstandarisasi. Kita bekerjasama dengan Hukum dan HAM untuk standarisasi produk dan juga Balai POM. Hal ini bermaksud agar para pelaku UKM ini bisa tetap survive walaupun mereka masih dalam tahap kecil, mereka dibina betul-betul sampai pada tahapan mereka bisa jual produk mereka ke pasar bebas dengan produk yang sudah standarisasi,” jelas Rey.

Berikut rincian detail kredit merdeka yang tersebar di 22 kantor cabang, 1 Kantor Cabang Utama (KCU) dan 1 Kantor Cabang Khusus (KCU) per tanggal 22 Maret 2021:

1. Kantor Cabang Utama (KCU) Kupang, plafond kredit Rp. 334.500.000. Baki Kredit Rp. 250.018.077, jumlah debitur 86 orang.
2. Kantor Cabang Maumere, plafond kredit Rp. 319.500.000. Baki kredit Rp. 204.409.478, jumlah debitur 68 orang.
3. Kantor Cabang Atambua, plafond kredit Rp. 193.000.000. Baki kredit Rp. 154.470.666, jumlah debitur 39 orang.
4. Kantor Cabang Ende, plafond kredit Rp. 356.100.000. Baki kredit Rp. 267.811.404, jumlah debitur 78 orang.
5. Kantor cabang Waingapu, plafond kredit Rp. 223.000.000. Baki kredit Rp. 149.166.666, jumlah debitur 47 orang.
6. Kantor cabang Ruteng, plafond kredit Rp. 306.000.000. Baki kredit Rp. 238.999.999, jumlah debitur 80 orang.
7. Kantor cabang Kefamenanu, plafond kredit Rp. 330.000.000. Baki kredit Rp. 240.406.666, jumlah debitur 66 orang.
8. Kantor cabang Soe, plafond kredit Rp. 237.000.000. Baki kredit Rp. 180.916.666, jumlah debitur 48 orang.
9. Kantor cabang Waikabubak, plafond kredit Rp. 75.000.000. Baki kredit Rp. 57.711.731, jumlah debitur 15 orang.
10. Kantor cabang Lewoleba, plafond kredit Rp. 467.000.000. Baki kredit Rp. 303.166.666, jumlah debitur 89 orang.
11. Kantor cabang Larantuka, plafond kredit Rp. 621.000.000. Baki kredit Rp. 491.174.333, jumlah debitur 132 orang.
12. Kantor cabang Bajawa, plafond kredit Rp. 420.000.000. Baki kredit Rp. 287.541.406, jumlah debitur 89 orang.
13. Kantor cabang Kalabahi, plafond kredit Rp. 344.000.000. Baki kredit Rp. 235.283.379, jumlah debitur 82 orang.
14. Kantor cabang Rote Ndao, plafond kredit Rp. 387.500.000. Baki kredit Rp. 285.734.767, jumlah debitur 78 orang.
15. Kantor cabang Surabaya, plafond kredit Rp. 26.000.000. Baki kredit Rp. 15.583.333, jumlah debitur 6 orang.
16. Kantor cabang Khusus Kupang, plafond kredit Rp. 323. 500.000. Baki kredit Rp. 206.499.999, jumlah debitur 65 orang.
17. Kantor canang Betun, plafond kredit Rp. 299.500.000. Baki kredit Rp. 197.267.186, jumlah debitur 60 orang.
18. Kantor cabang Labuan Bajo, plafond kredit Rp. 150.000.000. Baki kredit Rp. 100.637.166, jumlah debitur 30 orang.
19. Kantor cabang Waitabula, plafond kredit Rp. 343.000.000. Baki kredit Rp. 291.618.780, jumlah debitur 69 orang.
20. Kantor cabang Mbay, plafond kredit Rp. 357.000.000. Baki kredit Rp. 274.999.999, jumlah debitur 72 orang.
21. Kantor cabang Borong, plafond kredit Rp. 255.000.000. Baki kredit Rp. 198.748.666, jumlah debitur 51 orang.
22. Kantor cabang Anakalang, plafond kredit Rp. 99.000.000. Baki kredit Rp. 69.500.000, jumlah debitur 20 orang.
23. Kantor cabang Sabu, plafond kredit Rp. 395.000.000. Baki kredit Rp. 293.083.333, jumlah debitur 79 orang.
24. Kantor cabang Oelamasi, plafond kredit Rp. 165.000.000. Baki kredit Rp. 154.922.373, jumlah debitur 37 orang.

Komentar Anda?

Related posts