PORTALNTT.COM, JAKARTA – Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 9 Mei 2022.
Undang-undang ini berlaku bagi semua masyarakat Indonesia tak terkecuali institusi TNI dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan anggota Paspamres Mayor Inf Bagas Firmansiaga terhadap Letda Caj GER.
Belum lama publik dihebohkan dengan kasus perkosaan yang terjadi di tubuh TNI. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kepada media menyatakan bahwa kasus laporan adanya perkosaan yang dilakukan anggota Paspamres Mayor Inf Bagas Firmansiaga terhadap Letda Caj GER berubah menjadi tindakan asusila.
Sebelumnya Mayor Inf Bagas Firmasiaga telah menjalani penyidikan di Makassar dan Puspom TNI mengambil alih kasus ini karena pelaku merupakan anggota Paspampres di bawah Mabes TNI. Pelaku dijerat sanksi pidana Pasal 285 KUHP dan juga dikenai hukuman tambahan dari institusi berupa pemecatan dari anggota TNI. (Pojoksatu.id, Senin (5/12/2022).
Penggunaan KUHP dalam penanganan kasus ini menunjukkan belum digunakannya UU TPKS. Adapun terhadap korban, TNI telah melakukan pendampingan untuk memulihkan kondisi mental.
Namun, setelah Polisi Militer TNI (POM TNI) melakukan penyelidikan, hasilnya berubah, sebagaimana keterangan ya g disampaikan kepada publik oleh Panglima TNI. Bahwa kasus
tersebut diatas bukan lagi tindakan perkosaan tetapi sebagai tindakan asusila yang melanggar Pasal 281 KUHP, hasil menunjukkan tidak ada peristiwa pemerkosaan (9/12/2022). Baik Mayor Paspampres maupun Kowad Kostrad berpotensi menjadi tersangka. Sebab dugaan sementara keduanya melakukan tindak asusila atas dasar suka sama suka dan bukan perkosaan.
Terhadap kasus yang terjadi di tubuh TNI, kami dari Jaringan Pembela Hak Perempuan sangat menghormati kewenangan dan hasil proses yang telah dilakukan POM TNI dalam penanganan kasus tersebut. Namun, sebagai masyarakat sipil yang peduli pada perempuan korban yang terlibat dalam perkara terkait kekerasan seksual mengingatkan kembali bahwa kita memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diundangkan pada 9 Mei 2022 dan diberlakukan sejak UU ini diundangkan.
Oleh karenanya proses penyelidikan yang dilakukan TNI seharusnya memberlakukan ketentuan yang tertuang dalam UU TPKS yaitu:
▪ Dalam hal perkara melibatkan perempuan, apalagi antara Mayor Bagas dengan Letda Caj
GER terdapat relasi kuasa dalam ranah pekerjaan dan ranah sosial, sehingga terdapat dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Mayor Bagas selaku senior dalam kedinasan yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan tugas yang sedang dilakukan Letda Caj GER, maupun dalam relasi laki-laki terhadap perempuan berdasarkan UU Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW), maka penanganan tidak dapat dilakukan seperti penanganan perkara lainnya. CEDAW memandatkan agar negara melindungi perempuan korban dalam pengadilan nasional, termasuk dalam Polisi Militer.
Sebagaimana mandat CEDAW, diberlakukan guna menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan analisis gender dan sosial sebagai salah satu kekhususan bagi perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama mendapatkan keadilan. UU TPKS telah
menetapkan bahwa relasi kuasa menjadi unsur tindak pidana kekerasan seksual.
▪ Aparat Penegak Hukum (APH) harus menerapkan prinsip-prinsip dan pedoman
“perempuan yang berhadapan dengan hukum” sebagaimana diatur Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dan tunduk pada ketentuan pasal.
▪ Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasaan seksual harus memenuhi persyaratan memiliki kompetensi penanganan korban yang berperspektif hak asasi manusia dan sensitivitas gender dan telah mengikuti pelatihan penaganan perkara TPKS. Aparat POM yang menangani perkara ini tak terkecuali juga memiliki pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual, menjunjung tinggi HAM, tanpa intimidasi, tidak menjustivikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi.
▪ Dalam korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, dalam hal ini POM TNI, wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus (UPTD PPA) yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh petugas atau penyidik yang melaksanakan pelayanan khusus bagi korban.
▪ Memenuhi hak korban dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan sebagaimana UU TPKS. Dan apabila belum tersedia, dapat berjejaring dengan Layanan Berbasis Masyarakat dan/atau Pemerintah Daerah
Untuk itu, kami dari JARINGAN PEMBELA HAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN SEKSUAL MENDESAK:
1. Kepada Pimpinan dan Institusi TNI
o POM TNI dalam melakukan pemeriksaan terhadap Letda GER menggunakan analisis gender dan analisis sosial sebelum menentukan sebagai korban atau pelaku;
o POM TNI agar mematuhi ketentuan UU TPKS sejak menerima laporan Korban TPKS,
dimana Polisi Militer mempunyai kewajiban berkoordinasi dengan pendamping korban, berkoordinasi dengan pendamping seperti LPSK, layanan pendamping berbasis masyarakat dan/atau Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan saksi dan/atau korban, KemenPPPA sebagai penyelenggara Pelayanan Terpadu tingkat Pusat;
o Bahwa kondisi korban dalam memberikan keterangan, ada masa emasnya. Saat
dipercaya dan didukung, jadi TNI jangan sia-siakan.
o TNI memastikan bahwa proses penanganan kasus ini menjamin asas transparansi dan
akuntabilitas sejalan dengan arah reform TNI dan Equity Gender.
2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
o Melakukan asesmen kebutuhan, dan memberikan perlindungan saksi dan/atau korban Letda Caj GER.
3. Kementerian Peemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.:
o Segera memberikan pendampingan sebagaimana mandat UU TPKS
o Berkoordinasi dengan pendamping lainnya, termasuk layanan berbasis masyarakat agar
dapat memberikan penguatan kepada Letda Caj GER dan pemulihan.
4. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan):
o Melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap penanganan kasus guna upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
5. Masyarakat dan Media:
o Masyarakat dan Media agar menahan diri untuk tidak memberikan stigma – stigma kepada letda Caj GER yang dapat memperdalam diskriminasi dan viktimisasi atas laporan yang telah dibuat.
Memberikandukunganbagipemulihandalammenghadapiproseshukum.