Suatu Permenungan Kristiani Melawan Budaya Maut
oleh: Drs Fransiskus Sili, M.Pd,
(Pengawas Ahli Madya Kementrian Agama Kota Manado)
Pendahuluan
Saya sengaja memulai tulisan ini dengan menampilkan gambar di atas. Gambar dari suatu lokasi yang hampir setiap hari saya lewati karena memang dekat ke arah rumah tempat tinggal saya. Bagi masyarakat Manado tidak banyak kesulitan memastikan bahwa gambar ini adalah lokasi jembatan ring road interchange Manado.
Jembatan yang penuh misteri, seakan menjadi daya tarik tersendiri, karena sejak selesainya dibangun jembatan ini, sampai saat ini, selalu terjadi kasus kecelakaan lalu lintas, dan yang paling mengerikan adalah kasus bunuh diri. Dan tercatat, beberapa saat terakhir ini sudah terjadi tiga kasus bunuh diri di lokasi penuh misteri ini. Dan terjadi juga tiga kasus percobaan bunuh diri.
Karena menarik perhatian bagi warga masyarakat Manado, sampai-sampai ketika Ikatan Siswa Katolik di SMK Negeri 1 Manado (21/2) memilih tema rekoleksi: Aku Berharga dan dicintai oleh Allah. Panitia kegiatan ini meminta saya untuk membahasnya secara khusus tentang bunuh diri di samping tindakan lain yang tidak menghargai hidup.
Tulisan ini merupakan pengembangan materi rekoleksi yang penulis berikan untuk para siswa Katolik dalam kegiatan kerohanian ini.
Bunuh diri adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan nyawa atau hidup berdasarkan keputusan pribadi. Dalam proses terjadinya bunuh diri tidak melibatkan orang lain secara langsung. Bunuh diri adalah pembunuhan langsung terhadap diri sendiri berdasarkan kehendak sendiri. Umumnya dilakukan sendiri, meski sering dalam kasus tertentu terjadi secara masal.
3 kasus terakhir di lokasi ini di Manado dan juga pasti di banyak tempat lain, meski tidak ditampilkan datanya di sini, namun memperlihatkan bahwa kecenderungan untuk bunuh diri akhir-akhir ini terus meningkat. Belum lagi berbagai tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang mendatangkan banyak korban. Pada titik ini, pertanyaan dan kesadaran tentang keluhuran dan penghargaan atas hidup manusia, baik hidup sendiri dan hidup orang lain mulai terus dipertanyakan. Apakah hidup manusia dan kompleksitas persoalan di dalamnya ditutup dengan kata kunci kematian melalui bunuh diri semata? Apakah hidup manusia masih bernilai dan bermakna?
Mengapa terjadi?
Mengapa sampai orang mengambil keputusan dan pilihan untuk bunuh diri? Sebabnya pasti bervariasi, terutama kalau menganalisa setiap kasusnya untuk menemukan siapa pelakunya, apa motifnya dan seterusnya. Ketika menjadi guru Agama Katolik, terutama sejak tahun 2003 sampai 20023, dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik di Kelas XI, semester genap, para siswa selalu diberikan tugas. Menemukan contoh kasusnya dan membuat analisa atas kasus itu dan diakhiri dengan komentar/pandangan pribadi dan menyusun doa baik bagi para pelaku yang adalah korbannya dan doa untuk diri sendiri dan masyarakat. Syukurlah saya masih menyimpan dokumen kumpulan tugas ini di labtob-labtop saya.
Dari analisa tentang sebab terjadinya kasus bunuh diri, sekurang-kurangnya yang saya dapatkan dari kumpulan tugas para siswaku itu, dapat disebutkan beberapa di antaranya.
Sebabnya bisa ditambahkan lagi. Namun menurut para Psikolog, di dalam kehidupan terdapat kecendrungan bunuh diri, yakni dambaan untuk beristirahat tanpa konflik/masalah. Di antara alasan2 yang paling kerap bagi kasus-kasus bunuh diri menurut analisa psikologis, sebab utamanya adalah ketidakmampuan pribadi untuk menghadapi masalah, isolasi social, perasaan tak berguna dan merasa dirinya hanya menjadi beban bagi orang lain, penderitaan yang tak terkontrol, penderitaan yang seolah2 tanpa makna dalam penyakit tanpa harapan akan kesembuhan. Jadi putus asa adalah alasan yang paling sering untuk bunuh diri. Namun ada juga motif lain dengan alasan yang lebih bersifat altruistic.
Pandangan Gereja tentang Bunuh Diri
Meskipun filsafat moral memberikan penilaian beragam terhadap bunuh diri, namun Teologi Krisitiani mengecam dengan tegas dan keras, khususnya Teologi Moral Katolik umumnya menolak setiap bentuk bunuh diri sebagai pelanggaran yang amat berat. Dasar penolakannya seperti dijelaskan Karl-Heinz Peschke dalam Etika Kristiani, antara lain:
Alasan pertama yang diajukan berlaku untuk berbagai bentuk pembunuhan, entah itu oleh diri sendiri (bunuh diri) atau oleh orang lain (pembunuhan, euthanasia, aborsi). Alasannya adalah kenyataan bahwa orang tidak memiliki hak atas diri dan kehidupannya. Ia hanya mempunyai hak kelola dan hak pakai secara bertanggungjawab. Pemilik dan tuan satu-satunya atas kehidupan ini adalah Tuhan Allah sendiri. Ia memberikan kehidupan kepada manusia sebagai hadiah semata, agar dengan itu berguna dalam pelayanan terhadap rencana Ilahi terhadap manusia dan alam ciptaan. Karena itu kita manusia harus menyeleraskan dan menghayati kehidupan kita sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana termaktub dalam rencana tersebut. Karena itu bunuh diri atau pembunuhan terhadap orang lain melanggar hak milik Allah yang berdaulat atas hidup manusia.
Kedua, bunuh diri adalah pelanggaran terhadap kewajiban seseorang untuk mencintai dirinya sendiri, dan terhadap kehidupan persekutuan dan sanak keluarganya. Karena proses pertumbuhan hidup seseorang melibatkan juga prestasi, sarana dan pengorbanan dari orang lain, terutama mereka yang dekat dengannya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ketiga, bunuh diri adalah pelanggaran terhadap kewajiban untuk mencintai diri sendiri dan mendambahakn proses pertumbuhan menuju kesempurnaan. Seseorang yang melakukan bunuh diri berarti mematikan kemungkinan untuk bertumbuhnya kedewasaan pribadi lebih lanjut. Ia enggan mencapai kesempurnaan, ke arah mana ia dipanggil oleh Allah, dan putus hanya karena kebekuan masalah yang tengah ia hadapi. Hanya karena masalah tertentu ia telah melakukan suatu keputusan yang final dan tak dapat direvisi kembali, yang tidak bisa ditarik kembali dan tidak memperkenankan koreksi. Cita-cita hidup, usaha dan karier yang sedang dirintis atau dijalani putus di tengah jalan.
Meskipun demikian, penegasan dalam argumen ketiga di atas tetap ada kekecualian. Karena sarana yang penting untuk mencapai kesempurnaan dan keselamatan adalah pengorbanan, mengapa tidak dapat terjadi bahwa dalam kasus2 tertentu pengorbanan diri sendiri, terutama pengorbanan tak langsung kehidupan sendiri semi suatu nilai lain yang lebih tinggi diperbolehkan dan kadang2 bisa dituntut?. Dengan demikian, kedua argument pertama berlaku untuk semua kasus, dan argumen ketiga berlaku untuk kasus2 tertentu.
Jadi harus dikatakan bahwa kehidupan adalah harta fana yang paling tinggi, namun bukan nilai tertinggi satu-satunya. Karena itu tradisi sudah selalu memperbolehkan bunuh diri tak langsung dalam kasus-kasus tertentu, bahkan apabila ada alasan-alasan yang kuat hal itu dipandang sebagai kewajiban. Semakin besar untuk kehidupan sendiri, bobot alasannya juga harus semakin tinggi. Pengorbanan hidup harus memiliki alasan yang sepadan yang lebih tinggi atau palilng tidak sama tinggi dengan kehidupan itu sendiri; dan alasan2 itu terutama iman dan kepentingan umum(Bdk. Luk. 14:26, Yoh. 12:25). Contoh paling mengesankan dari pengorbanan diri dalam semangat Kristus sudah ditunjukkan oleh imam Polandia, St. Maximilianus Maria Kolbe, yang bersedia menggantikan seorang tahanan, bapa keluarga, yang akan dihukum mati dalam kamp konsentrasi Auschtitz, 1941, dan ia kemudian digelari martir. Kisah kehidupan para martir dalam Gereja menjelaskan tentang bunuh diri tak langsung ini.
Gereja Katolik. Gereja melarang keras tindakan bunuh diri dengan alasan tidak menghargai hidup sebagai manusia yang memiliki akal budi dan ciptaan Tuhan. Gereja berpedomaan pada Kitab Suci yang tidak mengenal penilaian defenitif terhadap tindakan bunuh diri (bdk, Hak, 9:54;16:30;2Mak 14:41-46).
Gereja melihat bunuh diri sebagai suatu tindakan yang melawan perintah Allah untuk menjaga kehidupan sebagai suatu pemberian cuma-cuma dari Tuhan. Iman dan keyakinan religius yang mendalam dapat menjadi benteng perlindungan terbaik dan niat sempit terhadap keinginan untuk bunuh diri. Agama dan Gereja memiliki peran penting untuk mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Karena itu, dalam setiap kasus Gereja harus menjadi yang terdepan dalam melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat tentang pentingnya hidup dan tanggungjawab moral terhadap hidup tersebut. Sejauh ini gereja sebagai satu institusi agama telah memberikan pemahaman kepada seluruh umat untuk menghindarisegala bentuk tindakan yang dapat menghilangkankehidupan pribadi manusia.
Dalam Gaudium Et Spes, art 14, ditegaskan bahwa “… oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri, yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir”
Namun demikian, peran gereja sebagai institusi moralbelum maksimal dan hanya berada pada posisi sebagai penentang yang kurang turut terlibat aktif dalam mengatasi bunuh diri di Indonesia. Gereja seharusnya menjadi garda terdepan dalam melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakt dari segala rentang usia untuk menghindari bunuh diri. Sosialiasi tentang perlawanan terhadap bunuh diri menjadi suatu agenda khusus pastoral dalam satu kurun waktu tertentu, di samping banyak agenda strategis lain, untuk memberikan pengertian kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga dan menghargai hidup sebagai manusia ciptaan Allah. Allah telah menciptakan manusia untuk hidup dan melakukan segala sesuatu dalam keadaan hidup. Manusia akan mengalami kematian dan kembali bersatu dengan Allah dengan cara yang wajar dan pantas sesuai dengan tujuan penciptaanya. Bunuh diri menjadi tindakan yang melawan kehendak Allah karena bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia.
Oleh karena itu, Gereja sebagai perpanjangan tangan Allah di dunia, memiliki tugas untuk memberikan pemahaman kepada seluruh umat Allah demi menjaga kehidupan sebagaimana Allah telah memberikan hidup itu.
Kembali ke Pesan Sabda Tuhan
Umat Perjanjian Lama percaya akan Allah Pencipta, yang gembira atas karyaNya. Bagi Tuhan, hidup khususnya hidup manusia, amat berharga. Umat percaya akan Allah yang cinta akan hidup, mengandalkan Allah yang membangkitkan orang mati dan membela hidup melawan maut. Dalam Kel. 20:13, Firma Allah ke-5 berbunyi: Jangan membunuh! Maksudnya jangan membunuh diri sendiri dan orang lain. Tetapi pengaturannya tidak begitu sederhana untuk situasi khusus misalnya dalam situasi perang.
Secara rohani, hidup dilukiskan sebagai anugerah istimewa dari sang pencipta langit dan bumi (Kej 2:7). Tuhan adalah sumber hidup (Mzm 36:10). Manusia berada dalam perlindungan pencipta (Kej 4:10). Sebagai citra sang pencipta, manusia bermartabat luhur. Hidup setiap manusia berharga dihadapan Sang Khalik. Hidup manusiatelah direncanakan dan dirancang dalam satu bingkai dan tatanan keselamatan. Kehadiran ilahi pencipta tampak dalam diri manusia sebab hidup dianugerahkan-Nya.
Kemuliaan ditemukan dalam diri manusia dan karena itu manusia diminta untuk tidak membunuh (diri dan orang lain, Kel 20;13). Hidup manusia selalu dalam konteks keberadaan manusia sebagai satu pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial dalam keberadaanya dengan orang lain. Dalam satu sisi hidup adalah anugerah dan di sisi lain hidup juga adalah suatu tanggung jawab moral yang harus dan wajib dimiliki oleh setiap individu manusia. Tanggung jawab manusia tersebut harus nyata dalam tanggungjawab untuk menjaga hidupnya sebagai suatu pemberian dari Allah. Oleh karena itu, setiap pribadi yang berusaha untukmenghilangkan hidupnya sebagai pribadi pemberian dariAllah, secara tidak langsung membangun jarak dengan Allah.
Gereja sebagai institusi perwakilan diri kristus didunia mengarahkan setiap individu untuk menghormatihidupnya sebagai suatu pribadi yang diberikan oleh Allah.Gereja diharapkan membimbing umat ke jalan menuju Allah yang kudus. Hidup manusia diarahkan kepada tujuan yang ditentukan oleh Allah sendiri sang pemberi hidup itu.
Perjanjian Baru tidak hanya melarang pembunuhan tetapi juga ingin membangun sikap hormat dan kasih akan hidup. Yesus sendiri dalam kotbah di bukit menegaskan: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum, siapa yang berkata kepada saudaranya, kafir! Harus dihadapkan ke Mahkama Agama dan siapa yang berkata jahil harus diserahkan ke dalam neraka yang bernyala-nyala “ (Mat. 5:21-22),
Pertanyaannya, apakah yang menjadi dasar penghormatan terhadap hidup manusia dan karenaya terus bekerja sama dengan semua manusia melawan kecendrnungan sempit ini? Iman kepada Allah menjadi alasan dasar manusia menghormati dan menghargai pribadi manusia. Kebenaran iman tersebut dimaknai dan dihayatai dalam kehidupan orang beragama. Iman mengarahkan manusia kepada penghormatan danpenyembahan kepada Allah. Konsep tentang Tuhan yangbenar, dan iman akan Allah sebagai awal dan akhir hidup manusia harus menjadi dasar bagi manusia untuk menyembah dan mengakui keberadaan Tuhan sebagaipemberi kehidupan. Keterarahan manusia kepada Tuhandimakanai sebagai wujud nyata dari pandangan bahwamanusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia dalam segala bentuknya adalah gambaran dari Allah sendiri dan konsekuensinya harus dihormati, apapun alasannya. Juga karena sebagai makluk ciptaan Allah termulia, yang dianugerahi akal budi,kehenak bebas dan hati nuraninya, manusia dianugerahi kemampuan untuk menata dan mengolah hidupnya dengan segala dinamika dan perjungannya. Allah menghembuskan Roh di dalam dirinya.
Dengan roh Allah yang bekerja dalam dirinya, manusia dimampukan untuk selalu mengarahkan dirinya kepada Allah dan menjalin hubungan dekat dengan-Nya. Kedekatan hubungan manusia dengan Allah seharusnya mencerminkan kekudusan diri manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Namun demikian, nilai luhur dalam kehidupan manusia sering kali dibatasi dengan keinginan manusia untuk tidak memikirkan hidupnya maupun hubungannya dengan Allah. Sikap putus asa dan egois merupakan alasan mendasar yang terdapat dalam diri manusia dan merusak hubungannya dengan Allah dan sesama. Sikap egois yang terdapat dalam diri manusia kerap kalimenjadi pemicu lahirnya keputusan tanpa pertimbangan rasional.
Bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan anugerah hidup yang diberikan secara cuma-cuma dari Allah. Selain itu, bunuh diri juga merusak hubungan manusia dengan Allah. Allah tidak lagi dipandang sebagai pencipta, melainkan sebagai yang tidak memiliki arti penting dalam hidup manusia. Ini amat terasa terutama ketika manusia menghadapi masalah. Lagi, dalam tindakan bunuh diri seseorang juga tidak mempertimbangkan hubungannya dengan sesama. Dia tidak mempertimbangkan bagaiamana reaksi dari orang-orang yang berada di sekitarnya ketika dia mengambil tindakan tersebut. Dengan demikian, Gereja menolak dengan tegas tindakan bunuh diri yang dilakukan manusia. Gereja tetap pada pendiriannya untuk menghargai kehidupan manusia sebagai sesuatu yang luhur. Nilai kehidupan manusia adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena nilai kehidupan itu diberikan oleh Allah kepada manusia secara cuma-cuma. Gereja tetap menjunjung tinggi martabat manusia sebagai anugerah hidup dari Allah.
Akhirnya sebagai penutup dapat ditambahkan sejumlah usaha untuk tetap menghargai Hidup.