Refleksi Minggu sengsara VI, 6 April 2025 (Pdt. Boy Nggaluama, S. Th)
Bacaan: Markus 11:15-19
Shalom, selamat memasuki minggu sengsara Yesus (pra paskah)yang keenam. Hari ini, kita dituntun untuk menjalani minggu ini dengan tema “Berkomitmen untuk menegakkan kebenaran.” Kisah Yesus menyucikan Bait Allah menjadi bacaan yang menuntun kita untuk memahami tema kita. Mari saya ajak kita untuk merefleksikan beberapa hal penting dari bacaan ini disesuaikan dengan tema kita:
Kisah Yesus menyucikan Bait Allah ini terdapat dalam ketiga injil sinoptik dan juga dalam injil Yohanes 2:13-17. Dalam injil sinoptik peristiwa ini di tempatkan di akhir pelayanan Yesus, sedangkan dalam injil Yohanes justru di tempatkan di awal pelayanan Yesus.
Dalam catatan injil Markus ini, Yesus baru saja memasuki Yerusalem dengan dielu-elukan sebagai Mesias. Harapan banyak orang adalah Ia akan mengusir penjajah Romawi sehingga orang Israel bebas dari penjajahan. Namun, tindakan pertama-Nya bukan melawan Romawi, tetapi menyucikan Bait Allah, pusat keagamaan umat Yahudi. Ini mengejutkan dan menggoncangkan! Yesus justru mengusir para pedagang yang berjualan di Bait Allah. Yesus tidak hanya sekadar “menegur”, tetapi mengusir, membalikkan meja, dan melarang aktivitas yang mencemarkan kekudusan Bait Allah. Mengapa Yesus melakukan hal ini? Ini tindakan yang tegas, penuh otoritas, bukan sekadar teguran halus. Kejadian ini terjadi di pelataran luar Bait Allah (halaman bangsa-bangsa lain) — seharusnya tempat untuk berdoa dan mencari Tuhan, tapi berubah jadi “pasar religius.”
Bait Allah terdiri dari beberapa pelataran:
Court of Gentiles, pelataran ini adalah satu-satunya tempat di mana non-Yahudi boleh datang berdoa kepada Allah Israel.Namun, tempat ini justru diubah menjadi pasar, menghalangi bangsa-bangsa lain untuk menyembah Tuhan—hal ini bertentangan langsung dengan maksud Allah (Yesaya 56:7: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa”).Nampaknya hal inilah yang membuat Yesus marah dan mengusir mereka dari situ.
Selain itu, ada 2 aktivitas yang juga membuat Yesus marah sampai membalikkan meja dan bangku-bangku Yakni:
Dalam zaman Perjanjian Lama, setiap laki-laki Yahudi berusia 20 tahun ke atas diwajibkan membayar ½ syikal setiap tahun(Keluaran 30:13–14). Uang itu digunakan untuk kebutuhan operasional Kemah Suci (dan kemudian Bait Allah), termasuk untuk pemeliharaan tempat kudus, pembelian bahan bakar korban, gaji imam dan Lewi. Dalam zaman Yesus, pajak ini disebut juga “pajak Bait Allah” (Temple Tax), pajak ini dibayarkan menjelang Paskah. Karena banyak orang tinggal di luar negeri (diaspora), pungutan juga dilakukan di luar Yerusalem, lalu dikirim ke Bait Allah (Matius 17:24–27). Tetapi kebanyakan orang Yahudi akan membayar pajak ini pada saat perayaan Paskah sehingga semua orang Yahudi diaspora akan berbondong-bondong datang ke Yerusalem untuk merayakan paskah sekaligus membayar pajak (ex: Simon dari Kirene/Afrika Utara).
Uang Romawi dan Yunani (Denarius, Drachma) umumnya memiliki gambar Kaisar atau dewa-dewa, yang dianggap berhalaoleh umat Yahudi yang taat. Hukum Taurat melarang membawa benda najis ke tempat kudus (bdk. Imamat 22:2-3, Ulangan 7:25-26). Sehingga untuk memberi persembahan di Bait Allah maka perlu menukar uang asing dengan mata uang “Shekel Tirus” yang dianggap paling murni dan layak untuk persembahan (karena standar kemurnian perak yang tinggi). Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para penukar uang (money changers) untuk mengambil keuntungan secara pribadi dan berkelompok. Para money changers mengenakan biaya penukaran yang tinggi (diperkirakan 8–12% atau lebih), memanfaatkan kebutuhan umat. Praktik ini diawasi dan dimonopoli oleh para imam (Hanas), yang menerima bagian keuntungan yang cukup besar dari praktik ini.
D. F.F. Bruce (Jesus and Christian origins outside the New Testament) berpendapat: “Pembayaran pajak Bait Allah adalah ekspresi konkret dari ketaatan umat kepada hukum Musa. Tapi sistem ini akhirnya menjadi beban sosial dan sarana penindasan terhadap orang miskin.” Pajak yang awalnya bermakna rohani, berubah menjadi alat eksploitasi. Hal inilah yang membuat Yesus marah dan membalikkan meja penukar uang di Bait Allah.
Hukum Taurat menetapkan persembahan binatang untuk pengampunan dosa, syukur, dan ibadah (lihat Imamat 1–7).Orang miskin boleh mempersembahkan merpati atau burung tekukur (Imamat 5:7). Peziarah dari luar kota tidak mungkin membawa hewan kurban dari kampung halaman (risiko mati, cacat, tidak layak). Oleh karena itu, disediakan hewan kurban yang “resmi” di pelataran Bait Allah — disertifikasi oleh imamsebagai layak dipersembahkan. Namun, Hewan-hewan itu dijual dengan harga jauh lebih mahal dari pasar biasa. Bahkan hewan yang dibawa sendiri sering “ditolak” oleh imam, agar mereka dipaksa membeli yang dijual resmi. Ada kerjasama antara pedagang dan imam untuk mengontrol dan memonopoli penjualan. Ini adalah penindasan atas kaum miskin dan umat yang tulus, di mana ibadah menjadi beban ekonomi yang menyiksa. Craig Keener memberi pandangan: “Imam-imam menjadikan sistem persembahan sebagai bisnis menguntungkan, merampas esensi rohani dari ibadah.”
Walaupun kata hagiazō (menyucikan) tidak dipakai, makna tindakan Yesus jelas mengarah pada penyucian Bait Allah dari segala praktik yang menajiskannya secara moral dan rohani.Pernyataan mulailah Ia mengusir… meja-meja dan bangku-bangku dibalikkan-Nya… Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah mengindikasikan bahwa semua aktivitas itu terkesan mengganggu ibadah yang sedang berlangsung di Bait Allah. Lebih khusus bagi para Yahudi diaspora yang tidak dapat berdoa karena terganggu dengan aktivitas penukaran uang dan juga jual beli hewan kurban (kita bisa bayangkan bagaimana mereka bisa berdoa kalo mereka dikelilingi oleh kambing dan domba serta para penukar uang yang sedang bertransaksi). Matthew Henry berpendapat: Perbuatan mereka itu terutama menghina ibadah orang-orang asing karena mereka dipaksa berkumpul bersama kambing, domba dan lembu dan ibadah merekapun menjadi terganggu karena kegaduhan pasar, sebab pasar ini berada di pelataran bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi.
Yesus kemudian mengajar mereka, kata-Nya: bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa?
Pernyataan ini adalah kutipan dari Yesaya 56:7 “…rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” Konteks Yesaya 56berbicara tentang:
Jadi, Yesus sedang menegaskan kembali maksud sejati dari Bait Allah: Bait Allah bukan eksklusif untuk Israel, tapi pusat doadan penyembahan bagi semua orang — semua bangsa!
Yesus marah karena fungsi suci dan terbuka dari Bait Allah telah dirusak oleh:
Dengan kata lain: Mereka menjadikan rumah Allah sebagai milik pribadi, bukan tempat suci bagi segala bangsa. Mereka menganggap orang bukan Yahudi tidak penting, mereka memandang sebelah mata doa-doa orang bukan Yahudi sehingga mereka meremehkan mereka dan menjadikan mereka orang asing yang terasing dan tak layak di Bait Allah.
Yesus kemudian melanjutkan dengan pernyataan tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun.
Pernyataan ini adalah kutipan dari Yeremia 7:11 “Apakah rumah yang atasnya nama-Ku diserukan telah menjadi sarang penyamun di matamu? Memang, Aku sendiri telah melihatnya, demikianlah firman TUHAN.” Konteks Yeremia 7 adalah khotbah profetik Yeremia di gerbang Bait Allah, menegur bangsa Israel karena:
Tuhan melalui Yeremia berkata: “Kalian menyangka Bait Allah tempat berlindung, padahal kalian sudah mengubahnya jadi ‘sarang penyamun’!”. Penyamun yang setelah merampok dan mencelakai orang, lalu bersembunyi di gua — merasa aman, tidak terlihat, dan tidak tersentuh hukum.
Jadi, Yesus sedang menegur (mengingatkan mereka tentang nubuatan nabi Yeremia) bahwa para pemimpin agama dan para pedagang di Bait Allah sedang menjadikan rumah Tuhan sebagai tempat berlindung dari dosa mereka sekaligus tempat praktik untuk melakukan aksi kejahatan dan dosa mereka (sarang penyamun yang mirip dengan yang terjadi di zaman Yeremia).
Yesus marah karena:
Jadi, Yesus bukan hanya marah karena ada aktivitas ekonomi, tapi karena kesucian telah digantikan dengan kemunafikan. R.T. France “Yesus menyebut tempat itu ‘sarang penyamun’ karena telah menjadi tempat perlindungan semu — mereka berpikir bahwa sekadar berada di rumah Tuhan sudah cukup untuk membuat mereka benar, walau hidup mereka jahat.”
Berkomitmen berarti: “Menunjukkan kesungguhan, ketekunan, dan tanggung jawab untuk tetap setia dan melaksanakan sesuatu hingga selesai, meskipun menghadapi tantangan atau kesulitan.” Contohnya: Seorang pelayan Tuhan yang berkomitmen akantetap setia melayani meski ada tekanan, godaan, atau kesulitan. Atau seorang petani yang berkomitmen akan tetap mengolah tanah dengan tekun, walau cuaca tidak mendukung.
Menegakkan kebenaran berarti: “Berani menyatakan dan membela yang benar, adil, dan sesuai dengan prinsip moral, hukum, atau nilai-nilai yang diyakini, meskipun hal itu berisiko atau tidak populer.” Orang yang berkomitmen pada nilai-nilai kebenaran akan berani menegakkannya, walaupun menghadapi risiko. Tanpa komitmen, kebenaran bisa diabaikan. Sebaliknya, komitmen yang sejati selalu berakar pada kebenaran.
Kebenaran dalam Alkitab bukan hanya soal pengetahuan benar dan salah, tetapi tentang:
Beberapa point penting bacaan ini disesuaikan dengan tema:
Yesus tidak mulai dari pasar atau pengadilan, tetapi dari rumah Tuhan (Bait Allah).
Ini mengajarkan bahwa penegakan kebenaran harus dimulai dari dalam gereja, dari hati umat Tuhan sendiri. Kita tidak bisa bersaksi tentang kebenaran di luar jika kita tidak menjaga kekudusan di dalam.
Yesus tidak diam, tidak hanya mengkritik dalam hati — Iabertindak tegas: Mengusir pedagang, membalikkan bangku dan meja dan melarang aktivitas yang merusak kekudusan Bait Allah. Ini adalah contoh komitmen sejati: tidak kompromi terhadap ketidakbenaran. Menegakkan kebenaran seringkali menuntut keberanian menghadapi sistem yang rusak, bahkan ketika kita sendirian.
Yesus sangat murka karena Bait Allah telah menjadi tempat transaksi, bukan doa. Ini adalah peringatan keras bahwa ibadah harus murni dan bebas dari manipulasi ekonomi, politik, atau kepentingan pribadi/golongan tertentu. Kita dipanggil untuk menjaga kemurnian pelayanan, tidak menjadikan ibadah sebagai sarana keuntungan, pencitraan, atau popularitas.
Yesus menyatakan amarah-Nya bukan hanya karena kekudusan dicemarkan, tetapi karena orang-orang miskin dan peziarah dieksploitasi: Harga kurban dinaikkan dan uang ditukar dengan kurs yang curang. Penegakan kebenaran harus berpihak pada keadilan sosial dan belas kasih. Hal ini berarti: komitmen kita harus melibatkan pembelaan bagi mereka yang tertindas atau dimarjinalkan, termasuk dalam lingkungan gereja.
Ayat 18 mencatat bahwa imam-imam kepala dan ahli Taurat mulai mencari cara untuk membunuh Yesus setelah tindakan-Nya. Ini menegaskan bahwa menegakkan kebenaran bisa mengundang penolakan, konflik, bahkan penderitaan namun kita dipanggil untuk setia pada kebenaran walau harus menghadapi risiko.
Yesus tidak hanya mengusir, tapi juga mengajar (ay.17). Artinya, tindakan harus disertai pemahaman akan Firman. Jangan hanya menegur kesalahan, tetapi bantu orang memahami kehendak Allah yang benar melalui pengajaran kasih dan kebenaran.
William Barclay: “Kemarahan Yesus bukan sembarang kemarahan, tapi kemarahan yang kudus karena melihat orang-orang merusak hubungan manusia dengan Tuhan demi keuntungan pribadi.”
Selamat memasuki minggu sengsara keenam, selamat mempersiapkan khotbah, kiranya refleksi ini menambah referensi dan semakin “memperkaya” khotbah-khotbah kita di hari esok. Roh Tuhan ada pada kita semua dan menuntun kita untuk menemukan kebenaran dan berkomitmen untuk menegakkan kebenaran.