Belajar dari Belas kasihan Yesus Mrk, 1:40-45

Penulis: Drs. Fransiskus Sili, M.Pd

Perikop Injil Mrk. 1: 40-45 berbicara tentang Kisah Peyembuhan orang yang sakit kusta. Kisah mujisat penyembuhan ini ditempatkan dalam konteks pewartaan Yesus, yaitu tentang Kerajaan Allah. Maka sebelum merenungkan tentang kisah dan mujisat penyembuhan itu sendiri, kita perlu memahami terlebih dahulu konteks pewartaan Yesus.

 

Kerajaan Allah: Pokok Pewartaan Yesus

 

Satu-satunya program hidup Yesus dalam rangka tugas perutusanNya ke dunia adalah mewartakan tentang Kerajaan Allah. Ketika mulai mengajar, Yesus langsung mengetengahkan pokok ajaranNya: warta gembira kedatangan Kerajaan Allah. Ia sekaligus mengundang orang untuk bertobat, yaitu membuka hati kepada Allah supaya Allah dapat meraja di dalam hati: “Waktunya telah dekat, bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:15). Supaya Allah dapat meraja dalam hati, dan demikian Kerajaan Allah dapat terjadi, orang perlu aktif mengusahaknnya, tetapi tidak mampu mewujudkannya lagi. Dari sebab itu, Yesus mengajarkan berharap, memohon dan berdoa Datanglah KerajaanMu (Mat. 6:10). Kepenuhan Kerajaan Allah yang sempurna, final dan dan definitif adalah Allah menjadi semua di dalam semua (bdk. 1Kor15:28).

Tema Kerajaan Allah tidak khas hanya untuk Yesus sendiri melainkan juga ada para rabi atau guru Yahudi. Tetapi yang khas pada Yesus adalah bahwa  tema ini menjadi satu-satunya  pewartaan dan proyek hidup Yesus sendiri. Seluruh hidup dan karya, dan pewartaanNya diabdikan hanya demi  pewartaan Kerajaan Allah itu.

Kerajaan Allah bukanlah suatu wilayah pemerintahan manusiawi, seperti ketika kita berbicara atau mempelajari Kerajaan Majapahit dalam pelajaran Sejarah Nasional, melainkan diri Allah sendiri yang bertindak secara efektif dalam sejarah. Pada pokoknya Kerajaan Allah menunjuk diri Allah sendiri, yang datang, hadir dan bertindak untuk menyelamatkan manusia. Dengan itu mau dinyatakan bahwa Allah datang dan masuk dalam sejarah hidup kita dan membuat hidup kita yang manusiawi dan biasa menjadi sejarah keselamatan Allah.. Bagi kita, Allah tidak pernah bertindak di luar sejarah atau di luar ruang dan waktu. Apa yang kita alami hanyalah apa yang terjadi dalam sejarah.

Yesus mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah secara konkret, melalui sabda dan perbuatan. Supaya  orang selalu ingat dan berusaha ke arah terjadi Allah meraja di hati, Yesus mewariskan gagasan-gagasanNya yang disuguhkan dengan perumpamaan, di samping contoh hidupNya sendiri. Dalam mengajar dan berkotbah untuk menyampaikan sabda-sabdaNya, Yesus banyak menggunakan perumpamaan. Ini dimaksudkan agar misteri Kerajaan yang tersembunyi itu dapat disampaikan menurut bahasa dan simbol-simbol yang dikenal oleh manusia. Bahasa dan simbol-simbol itu bisa berasal dari dunia pertanian, perikanan atau kehidupan sehari-sehari seperti perjamuan, perkawinan dan sebagainya.  Perumpamaan itu membuat orang berpikir, tersapa, mencari penerapannya, memperkembangkannya, memperbaharui pengertiannya. Perumpamaan menuntun orang berpikir bahwa ada sesuatu yang perlu diketemukan dan ‘sesuatu’ ini perlu terus berkembang di dalam hati orang: perlunya Allah meraja di hati.

Tentu saja misteri Kerajaan Allah itu tidak lalu terungkap tuntas.  Tetapi melalui bahasa dan simbol-simbol yang kita kenal baik dalam hidup sehari-hari,  kita dapat dibawa kepada suatu realitas ilahi yang memang mengatasi kita. Dalam realitas inilah kita mengalami Allah berkarya secara konkret untuk menyelamatkan kita.

Di samping berkotbah dan menyampaikan ajaranNya melalui perumpamaan, Yesus melakukan karya tindakan konkret untuk mewartakan, menjelaskan dan memperlihatkan secara konkret Kerajaan Allah itu. Yang menonjol dalam karya dan tindakan Yesus adalah mujisat.. Mujisat-mujisat yang dibuat Yesus dapat dipandang dari sisi ini. Mujisat apa pun yang dibuat Yesus, bukan demi mujisat itu sendiri, tetapi selalu dalam konteks untuk menjelaskan makna Kerajaan Allah. Dari kisah-kisah Injil, kita dapat mengelompokkan mujisat menjadi mujisat alam, mujisat penyembuhan penyakit, mujisat pengusiran setan dan mujisat pembangkitan orang mati. Kisah dalam teks ini adalah salah satu mujisat penyembuhan penyakit.

 

 

Tergeraklah Hati karena belas kasihan ….

 

Perikope Injil Markus di atas diberi judul: “Yesus menyembuhkan Orang Kusta”. Dalam tulisan ini kita diajak untuk  mencari tahu, apakah memang penyembuhan menjadi masalah pokok dalam kisah  ini?

Tujuan orang kusta mendatangi  dan mendekati Yesus, jelas sekali: ia mengharapkan bantuan Yesus yang didengarnya, diakuinya sebagai penyembuh. Dan  ia merumuskan tujuannya itu secara sangat simpatik: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku”, katanya.

Permintaan ini datang dari keyakinan bahwa  Yesus dapat  menyembuhkannya. Tetapi ia  tidak tahu, apakah Yesusmau menyembuhkannya atau tidak. Maka bagaikan seorang pengemis, ia sesunguhnya mengharapkan belas kasihan Yesus. Ia berharap, bahwa  Yesus tidak hanya menggunakan atau menunjukkan kemampuannya sebagai seorang tabib, tetapi terutama memperlakukannya dengan kasih, selayaknya ia manusia. Suatu sikap yang berbeda dari kebanyakan orang Yahudi waktu itu.

Orang kusta itu sungguh rindu akan belas kasih manusia, sesamanya. Di kalangan orang Yahudi, penderita kusta selalu dijauhi, diteriaki, bahkan diusir kembali ke tempat penampungan resmi. Mereka selalu diasingkan dari pergaulan atau keterlibatan sosial, karena anggapan bahwa penyakit kusta itu akibat kutukan dari Allah karena dosa si penderita.

Di  zaman itu, dalam masyarakat Yahudi, barangkali tak ada manusia yang lebih malang daripada orang kusta. Karena sakitnya parah dan menular, ia dipandang sebagai mayat hidup. Bersentuhan sekali saja dengan orang kusta dianggap malapetaka. Nah, orang semacam ini, yang amat menjijikkan, najis dan berpotensi menajiskan, menurut pandangan agama Yahudi, sedang menghadap Yesus. Sambil memandang, matanya dengan penuh harapan: “Jika Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku…”. “Aku mau”, jawab Yesus tegas, “Jadilah engkau tahir”. Maka seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu dan ia sembuh..

Dalam versi Injil Mateus (Mat. 8:1-4), kisah pendek ini dilanjutkan dengan cerita tentang penyembuhan hamba seorang perwira di Kaparnaum. Orang itu sakit lumpuh dan tak bisa berjalan, lagi sangat menderita. Sebenarnya Yesus ingin datang ke rumah perwira itu, namun  perwira itu merasa tak layak menerima Yesus. Maka ia meminta Yesus mengatakan saja sesuatu agar hambanya sembuh. Yesus tidak saja mengatakan “Aku akan datang menyembuhkannya”, tetapi sungguh menjadikan hamba yang sakit itu sembuh, dengan kekuatan ilahi”.

Kalau kita terburu-buru membaca teks ini, kita mungkin segera puas, karena Yesus yang kita imani adalah seorang penyembuh hebat. Apalagi hanya dengan bersabda. Anggapan inilah yang ingin dihindari. Jangan-jangan kita sebagai orang kristen hanya berhenti pada kebanggaan kita pada Yesus; bangga karena Yesus kita bisa melakukan banyak mujisat.  Akan tetapi, kalau kita memperhatikan juga laporan serupa dalam injil Mateus 8:1-4, penulis mencatat hal lain yang kiranya lebih penting tentang Yesus. Intinya terungkap dalam kalimat: “Maka tergeraklah hati oleh belas kasihannya, lalu Ia mengulurkan tanganNya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: jadilah engkau tahir”.

Dengan menempatkan  kalimat ini sebelum laporan tentang penyembuhan, penginjil sebenarnya mengungkapkan inti pemikirannya tentang Yesus. Dan ini penting untuk kita,  untuk kita yang hidup di zaman yang semakin canggih, tapi yang sering tidak manusiawi, di alam reformasi tetapi yang salah dimengerti: Yesus memang menyembuhkan, tetapi yang penting adalah belas kasihanNya. Tindakan penyembuhan adalah buah dari belas kasihan dan cintaNya. Karena mujisat tidak dilakukan demi mujisat itu serndiri maka penyembuhan ini justru hendak memperlihatkan sesuatu tentang Allah, bahwa Allah yang hadir dalam diri Yesus adalah Allah yang berbelas kasihan.

Berbeda dengan orang sezzamanNya yang menolak dan mengucilkan orang kusta dari pergaulan publik karena dianggap najis; najis karena menderita sakit itu dan najis pula karena penderitaan itu adalah akibat kutuk atas dosa, Yesus tak pernah membuang muka dari seorang kusta. Ia tak pernah terpaku pada penampilan  luar manusia; Ia selalu memandang hati manusia. Yesus justru paling sibuk dengan manusia buangan. Ia banyak kali pergi ke tempat, yang biasanya menimbulkan rasa jijik masyarakat. Yesus tak pernah takut berpihak pada masyarakat yang diabaikan, bahkan tidak diperhitungkan.

 

Dalam bahasa modern, dapat dikatakan bahwa  Yesus termasuk pembela HAM yang paling hebat dalam sejarah umat manusia. Sebab dengan berpihak pada manusia buangan, ia menentang perilaku para pimpinan. Ia malah tak enggan menyentuh orang kusta, walaupun sesudahnya ia dicap sebagai orang najis pula, bahkan sebagai penentang hukum dan negara.

Dengan melakukan tindakan penyembuhan ini, dua akibat terjadi sekaligus: orang itu sembuh dan orang itu memiliki lagi rasa harga diri. Pertemuan si kusta dengan Yesus sungguh mendatangkan makna tak tergantikan dalam hidupnya. Ia mengalami kesembuhan dari fisik, dan terutama harga dirinya sebagai manusia. Karena dengan demikian ia dapat bargabung kembali dalam kehidupan sosial, meskipun harus terlebih dahulu memperlihatkan diri pada para imam. Sayang sekali bahwa banyak di antara kita sekarang kehilangan harga dirinya, kehilangan rasa belas kasihan bagi orang lain, karena terpesona dengan berbagai godaan yang dialaminya.

Memang hidup dalam dunia sekarang berarti masuk dalam godaan. Banyak orang menyebutnya sebagai tiga ta:. Pertama, harta. Manusia ingin memiliki harta sebanyak-banyaknya dan tak pernah merasa puas. Sesudah memiliki ini maunya itu. maka orang bisa menjadi pencuri, pembunuh, koruptor, pemeras dan sebagainya.

Kedua, wanita.. ada banyak laki-laki, entah pejabat, entah tokoh agama atau masyarakat, penguasa atau siapa saja yang jatuh karena wanita. Juga ada banyak wanita yang jatuh, gagal cinta dan cita-citanya karena laki-laki. Laki-laki termakan oleh penampilan wanita dan wanita terbuai oleh rayuan kaum lelaki. Ketiga, tahta, ini adalah godaan untuk menjadi penguasa dan menang di bidang politik. Godaan ini mendorong orang untuk menipu waktu suksesi atau pemilu, melakukan banyak ancaman, politik uang atau melakukan korupsi dan manipulasi serta banyak tindakan lain yang tak terpuji. Dan ketika ketiga godaan ini begitu mendominasi dalam dirinya, orang bisa saja mengorbankan, memanipulasi atau menyingkirkan orang lain yang dianggapnya lawan atau hambatan dalam mengejar ambisi dan kepentingan dirinya. Akibat lanjutnya, orang bisa kehilangan rasa harga diri dan sikap belas kasihan kepada orang lain. Dan sebagai gantinya, melakukan berbagai tindakan jahat, bahkan menjijikkan sekalipun.

 

Belajar Dari Belas Kasihan Yesus

 

Gereja dan masyarakat kita masih berada dalam lingkaran situasi sulit, khususnya sejak 1996 sampai saat ini. Suatu daftar panjang yang tak pernah selesai tentang berbagai kisah memilukan. Terjadi berbagai pertikaian, pembunuhan, pembakaran dan konflik berbau SARA, atau berbagai pelanggaran HAM lainnya. Berbagai isu dapat dengan gampang membakar api pertikaian dan membakar manusia dan harta benda. Agama dapat dijadikan kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu.

Orang dengan gampang memusuhi, menganiaya, bahkan membunuh  orang tanpa merasa bersalah sedikitpun. Orang tak takut menghancurkan hidup orang, apalagi yang  bukan sesuku, seagama, seras atau yang segolongan atau sekelompok dengan dia. Sebaliknya lingkaran sesama manusia dibatasi saja pada suku. agama, ras dan antargolongan. Ini semua terjadi karena orang tak lagi punya belas kasihan terhadap sesamanya. Kita sekarang lebih cenderung hidup dalam budaya kematian. Karena manusia hidup lebih sebagai serigala bagi yang lain.

Syukur, bahwa di sana-sini kita masih dapat menyaksikan berbagai perbuatan baik, yang menghargai manusia dan martabatnya, entah yang dilakukan orang per orang atau oleh berbagai kelompok umat beragama dan masyarakat. Meskipun kecil, toh masih memberi harapan bahwa masih ada juga orang atau kelompok orang yang mau hidup dalam budaya kasih. Kalau demikian, kita tak perlu berpangku tangan.

Di sekitar pun banyak terdapat orang-orang kusta, dalam arti luas. Orang miskin, sakit, orang buangan, mereka yang menjadi korban para penguasa, menjadi mangsa dari mereka yang punya harta, kekuasaan dan jabatan. Banyak orang disingkirkan atau tak punya lagi kekuatan atau kesempatan untuk melawan pihak penindas, mereka tak punya kesempatan untuk mendapatkan keadilan, damai dan rasa aman.

Pertanyaannya, apakah kita adalah bagian dari orang-orang Yahudi yang ikut menolak dan menyingkirkan mereka, atau kita masih punya hati, dan karenanya memberikan perhatian, penghargaan atau kesempatan untuk mengembangkan dirinya secara lebih manusiawi? Atau lebih tegas lagi, apakah kitalah yang menyebabkan mereka menjadi tersingkir atau menjadi korban karena kerakusan dan keserakahan kita?

Masing-masing kita telah mengalami dicintai oleh Allah, kita telah percaya akan kasih Allah dan mengalami belas kasihanNya melalui Yesus. Marilah kita belajar dari Yesus, untuk menaruh cinta, menunjukkan perhatian dan belas kasihan pada orang lain. Ini mesti dimulai dari lingkungan kita yang paling kecil. Dan idealnya memang dimulai dari diri kita sendiri dan  dari keluarga,  yang diharapkan semakin meluas ke lingkungan yang lebih besar. Dalam lingkungan tugas di tengah masyarakat, di bidang politik, ekonomi, atau pergaulan hidup harian, di jalan raya sekalipun. Agar melalui kita orang lain juga dapat mengalami dicintai oleh Allah.

Sudah lama kita hidup di alam reformasi, tetapi reformasi yang efektif hendaknya dimulai dari diri sendiri, keluarga dan Gereja dan masyarakat kita. Kita hidup dalam masyarakat yang majemuk. Dalam masyarakat majemuk seperti bangsa kita, unsur SARA sering dapat membuat orang tidak rukun, karena begitu mudah bermusuhan hanya orang berbeda. Perbedaan juga dalam hal pikiran atau pandangan tertentu tentang suatu hal, di samping unsur yang sudah disebutkan di atas. Aneka perbedaan ini semestinya tak perlu diperdebatkan atau dipertentangkan, tetapi diterima untuk saling memperkaya. Kalau ada perbedaan, rasio adalah instrumen untuk membedah persoalannya dan hendaknya diterima dengan hati dingin. Malapetaka sering muncul karena kita lebih mudah terpancing oleh cinta diri, cinta kelompok sendiri, karena kesombongan dan mengikuti naluri manusia purba untuk membunuh atau menghancurkan. Banyak orang mengatakan kita gagal sebagai bangsa yang berbudaya, beragama dan beriman.  Atau agak lebih optimis dikatakan kita sedang belajar hidup sebagai orang beriman di negeri kita. Dan proses belajar ini memang tak pernah berhenti. 

Maka belajar dari Yesus dan memohon rahmatNya, marilah kita bersama semua orang yang berkehendak baik membangun budaya cinta, sebagai tanda kita beriman, dan sebagai ganti budaya kekerasan. Atas cara ini, kita terus membangun membangun suatu Indonesia Baru, Indonesia Maju, di mana ada keadilan, cinta, damai, belas kasihan dan pengampunan. Kita mewujudkan Kerajaan Allah dengan  membangun Indonesia ini menjadi suatu rumah hunian yang layak didiami oleh siapapun dia, agama dan suku apa pun dia, kaya atau miskin. (***)

Komentar Anda?

Related posts