Antara Realita dan Tantangan Target Bank NTT Penuhi Modal Inti Rp 3 Triliun di 2024

PORTALNTT.COM, KOTA KUPANG – Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan regulasi yang mendorong industri perbankan domestik melakukan konsolidasi. Regulasi ini tertuang pada Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang berlaku sejak diundangkan pada 17 Maret 2020. Dalam peraturan tersebut disebutkan modal inti minimum bank sebesar Rp 3 triliun.

POJK tersebut sebagai upaya dari OJK mengikuti dan menyesuaikan perkembangan ekosistem perbankan Indonesia yang saat ini telah bergerak sedemikian cepat dan dinamis didukung kemajuan teknologi.

Hal ini untuk menciptakan struktur perbankan yang kuat dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga diharapkan, kontribusi perbankan terhadap perekonomian nasional lebih maksimal.

Saat ini Bank Pembangunan Daerah NTT atau lebih dikenal Bank NTT memiliki modal inti Rp 1,7 Triliun. Sebuah perjalanan panjang sejak Bank NTT didirikan pada 16 Juli 1962 hingga tahun 2019.

Butuh waktu 57 tahun bagi Bank NTT sehingga bisa sampai pada modal inti Bank Rp 1,7 Triliun.

Seiring dengan perkembangan ekosistem perbankan saat ini ada sebuah tantangan baru yang mau tidak mau harus dipenuhi jika masyarakat NTT masih ingin melihat bank kebanggaan masyarakat NTT dengan motto ‘Melayani Lebih Sungguh’ masih dikategorikan sebagai Bank umum ataukah dengan sangat terpaksa harus turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang skala pelayanannya juga sangat terbatas?

Direktur Kepatuhan Bank NTT, Hilarius Minggu dalam kesempatan Jumpa Pers bersama awak media di kantor Bank NTT, Kamis (14/5/2020) secara gamblang mengakui target untuk memenuhi PJOK tentang modal inti Rp 3 Triliun sangatlah berat. Pasalnya, masih kekurangan Rp 1,3 Trilun. Jumlah ini wajib dipenuhi hanya dalam jangka waktu 4 tahun. Jadi pada tahun 2024, modal inti Bank NTT harus sudah Rp 3 T.

Angka Rp 1,3 Triliun tentunya bukan angka yang biasa-biasa saja atau hasil dari mimpi semalam. Harus butuh kerjasama dan kerja ekstra agar target itu mampu terpenuhi.

“Ini angka yang sangat berat kenapa karena sejak Bank NTT berdiri tahun 1962-2019 baru mencapai Rp 1,7 triliun. Ini tingal tunggu waktu kurang lebih 4 tahun kita harus kejar lagi Rp 1,3 Triliun,” kata Direktur Kepatuhan Hilarius Minggu yang didampingi Direktur Kredit dan juga Plt Dirut, Hari Alexander Riwu Kaho, Direktur Kepatuhan, Absalom Sine dan Direktur Umum, Johanes Landu Praing.

Menurut Hilarius, jajaran direksi menawarkan beberapa point kepada Gubernur dan para Bupati/Wali Kota dalam rangka memenuhi kekurangan Rp 1,3 triliun.

“Kami menawarkan kepada Gubernur dan para Bupati/Wali Kota selaku pemegang saham agar memberikan tambahan modal setiap tahunnya, Rp 300 miliar. Jika ini dilakukan oleh semua pemegang saham maka target modal inti Rp 3 triliun akan tercapai di 2024 sesuai aturan yang dikeluarkan OJK,” jelas Hilarius.

Berdasarkan keputusan RUPS, Kamis (6/5/2020) Hilirus mengatakan, telah disepakati tawaran yang kami berikan.

“Dari keputusan RUPS ini gubernur selaku pemegang saham pengendali akan bersurat ke semua Pemda, selain itu kami dari Direksi juga akan bersurat ke semua Pemda,” jelas Hilarius.

Selain bersurat, menurut Hilarius, Direksi juga akan meminta kepala-kepala cabang untuk mendekati Pemda dan DPRD.

“Kita berharap di APBD perubahan sudah bisa dilakukan penyetoran dana penyertaan modal,” katanya.

Dalam RUPS juga telah diputuskan, deviden yang selama ini diterima full oleh Pemda, 50 persennya akan disetor kembali sebagai penyertaan modal ke Bank NTT.

“Tetapi apabila sudah hampir tahun 2024 kemungkinan modal tidak akan tercapai maka terpaksa kita akan membuka pihak luar atau investor untuk menyertakan modal ke bank NTT daripada turun status ke BPR,” tandasnya.

Hilarius mengaku ada konsekuensi jika target modal inti bank tidak terpenuhi maka status bank akan turun menjadi BPR (Bank Perkreditan Rakyat).

“Tentunya kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi, sehingga kami sangat yakin akan mampu memenuhi apa yang ditetapkan oleh OJK,” kata Hilarius dengan penuh keyakinan.

Untuk diketahui, ada beberapa perbedaan antara BPR dan Bank Umum. Ulasan di bawah ini akan memberikan gambaran lebih rinci lagi:

1. Syarat Permodalan BPR Jauh Lebih Kecil dibandingkan Bank Umum

Dari sisi permodalan, ada perbedaan mencolok dari BPR dan bank umum ini. Sebuah bank umum konvensional, saat pertama kali didirikan harus memiliki modal sedikitnya Rp3 triliun, sedangkan untuk bank umum syariah minimal senilai Rp 1 triliun, dan untuk Bank Perkreditan Rakyat atau BPR sendiri bervariasi tergantung zona yang dibagi menjadi 4 zona berdasarkan Peraturan OJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang BPR, pasal 5, dimana minimal modal BPR mulai dari 4 miliar (zona 4) hingga 14 miliar (zona 1).

2. BPR punya Layanan Terbatas, Beda dengan Bank Umum

Fokus kehadiran BPR adalah untuk melayani para nasabah dengan kebutuhan layanan perbankan yang masih sederhana, sehingga terbatas dan tidak sekompleks bank umum, contohnya adalah buka tabungan, kredit dengan adanya batasan plafon, dan sebagainya, sedangkan kegiatan bank lain yang kompleks seperti giro, valas dan asuransi tidak bisa dilayani di BPR ini.


3. Beda Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Umum

BPR bisa melayani kebutuhan nasabah dalam hal simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya, melayani kredit, pembiayaan dan penempatan dana, penempatkan dana Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, dan sertifikat deposito. Sedangkan bank umum melayani semua aktivitas BPR ditambah layanan lain seperti menerbitkan surat atas pengakuan hutang, membuat surat pengakuan hutang, menyediakan tempat penyimpanan surat berharga dan barang, kegiatan valuta asing dan kegiatan bank umum pada umumnya. Bank umum, juga melayani transaksi keuangan mulai dari kliring, inkaso, valuta asing dan transfer yang tidak bisa dilayani BPR.

4. Beda Layanan Kredit dan Simpanan di Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Umum:

Bank Perkreditan Rakyat melayani kredit dan simpanan walaupun tidak sekompleks bank umum yang meliputi:

Produk simpanan berupa tabungan dan deposito berjangka
BPR tidak menyediakan produk simpanan giro seperti bank umum.
Ada perbedaan bunga simpanan di BPR jika dibandingkan dengan bank umum
Bunga deposito BPR juga mendapatkan jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maksimal sebesar 8,75%.
kredit yang disediakan terbatas pada kredit tanpa agunan atau kredit untuk karyawan dan kredit usaha kecil.
Nilai plafon kredit yang disediakan juga terbatas tidak seperti bank umum yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
Tidak memiliki layanan kartu kredit.

Sedangkan bank umum melayani kredit dan simpanan yang lebih lengkap dan kompleks yang secara umum meliputi layanan BPR ditambah beberapa produk berikut ini:

Kredit konsumtif seperti KTA, kartu kredit, kredit properti (rumah dan apartemen), kredit kendaraan bermotor.
Kredit investasi dan kredit modal kerja berbagai segmen nasabah.
Simpanan nasabah juga dijamin LPS dengan bunga di kisaran 6,25% untuk deposito rupiah dan 0,25% untuk deposito valas.
Secara umum bunga simpanan BPR relatif tinggi dibandingkan bank umum namun dengan konsekuensi bunga kreditnya juga lebih tinggi dibandingkan bunga kredit bank umum.

5. Jangkauan Wilayah Layanan BPR untuk Kabupaten, Bank Umum Tidak Terbatas

Sesuai dengan tujuan pendirian, BPR lebih fokus pada layanan masyarakat dengan jangkauan relatif terbatas. BPR hanya melayani di tingkat kecamatan atau kabupaten tidak seperti bank umum yang memiliki jangkauan tak terbatas, hingga memiliki jaringan internasional. Hal ini sekaligus berpengaruh pada kondisi fisik kantor, dimana BPR biasanya tidak semegah bank umum. Masyarakat pasti juga sudah tidak asing dengan bank umum, beda halnya dengan BPR yang hanya diketahui oleh masyarakat sekitar lokasi kantor BPR tersebut. (Jefri Tapobali)

Komentar Anda?

Related posts