PORTALNTT.COM, LEMBATA – Sebanyak 17 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pokja dinas PU dan PRP kabupaten Lembata mengundurkan diri dari jabatannya.
Surat pengunduran diri tersebut diserahkan langsung kepada Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur di ruang kerjanya, Jumat (6/3/2020).
Sekda Lembata, Paskalis Ola Tapobali saat mendampingi Bupati saat pertemuan bersama PPK dan Pokja di ruang kerja Bupati mengatakan, pengunduran diri ini akan menimbulkan persoalan yang sangat serius.
Menurut Tapobali ada 2 hal yang menjadi kendala penyelenggaraan pemerintah kedepan bila PPK dan Pokja mengundurkan diri yakni, penyerapan anggaran yang rendah karena proyek bakal terhenti dan sudah tentu masyarakat dirugikan.
“Yang kedua adalah terhambatnya pembangunan,” kata Tapobali saat membuka pertemuan antara Bupati Lembata bersama PPK dan Pokja Dinas PUPR kabupaten Lembata.
Sementara Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur mengatakan ingin mendengarkan langsung dari PPK terkait Ikhwal pengunduran diri dengan begitu, bisa jadikan dasar untuk surati Kapolda NTT dengan tembusan ke Kapolri.
“Pengunduran diri itu hak kalian namun, ini tugas sampingan yang penting sebagai ASN jadi kita perlu cari solusi yang baik. Saya mau kalian kerja dengan nyaman,” ucap Bupati.
Menurut Sunur, ketika ada masalah PPK, Pokja dan pengguna anggaran maka ia harus masuk karena ini menjadi masalah yang serius bagi masyarakat.
Pengguna anggaran dinas PU melalui Kabid bina marga, Anton Kohun menjelaskan, bahwa pada tanggal, 28 Februasi 2020 ada 17 orang PPK dan Pokja mengundurkan diri dengan, alasan tidak ada kenyamanan bekerja juga honorarium teramat kecil dan tidak adanya anggaran peningkatan kapasitas pejabat pembuat komitmen.
Kohun mengatakan, ada juga soal dokumen dimana salah satu diktum dalam surat panggilan pihak berwajib untuk lakukan klarifikasi adalah membawa serta dokumen namun inikan bukan kewenangan kami.
PPK dalam kesempatan tersebut mengatakan, yang pertama tolong jangan tulis nama kami karena itu bisa saja menambah ketidaknyaman kami. Berikutnya bukan kami mengabaikan undang-undang namun, bagaimana mungkin proyek yang masih dalam masa pengerjaan pemeliharaan diperiksa pihak berwajib.
Ada juga proyek yang masih dalam LDP (konstruksi dalam pengerjaan) tapi PPK di panggil, juga yang setelah diperiksa BPK tanpa temuan tapi, PPK dan Pokja tetap dipanggil melakukan klarifikasi karena ada pengaduan.
Para PPK dan Pokja yang bergantian menyampaikan alasan mengatakan, ada proyek yang tiga tahun lalu atau lima tahun lalu kami dipanggil untuk di priksa.
Masih menurut para PPK dan Pokja, mereka prihatin karena ada teman-teman di panggil periksa oleh Polda terkait proyek yang ada. Kami juga butuh dampingan dan perlindungan hukum karena, kami menandatangani kontrak mewakili pemerintah daerah.
Para Pokja dan PPK meminta kepada Bupati, kalau bisa APIP diperkuat sehingga ketika ada pemanggilan dari aparat penegak hukum maka APIP lebih dahulu menghadap. Jika tidak ada persoalan maka kami tidak perlu menghadap. Jangan hanya karena ada laporan ini, kami di panggil, nanti semua pengaduhan kami di panggil periksa.
Menanggapi hal tersebut, Bupati Sunur mengatakan, point kenyamanan yang harus kita kedepankan. Lain soal suap atau gratifikasi itu urusan pribadi. Kalau dipanggil untuk klarifikasi ya lakukan itu. Soal dokumen itu kita ada APIP.
Bupati mengatakan karena ini berdampak pada terganggunya pembangunan maka ia akan ambil langkah.
“Ke depan yang harus dilakukan adalah bahwa, begitu ada pemanggilan maka harus koordinasi dengan APIP. Ini sesuai dengan regulasi yang ada. Kalau ada laporan perlu dipertanyakan laporan seperti apa? Dan tentu akan ada pendampingan hukum,” kata Bupati Sunur.
Anggota komisi I DPRD Lembata, Petrus Bala Wukak, yang hadir saat itu mengatakan, ini memang sangat memprihatinkan.
“Langkah konkrit yang dipersiapkan pemerintah hadapi persoalan ini saya kira patut di dukung agar ke depan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab ada kenyamanan,” kata politisi Golkar ini. (PN/mediasurya.com)